Elara, seorang ahli herbal desa dengan sihir kehidupan yang sederhana, tidak pernah menyangka takdirnya akan berakhir di Shadowfall—kerajaan kelabu yang dipimpin oleh raja monster. Sebagai "upeti" terakhir, Elara memiliki satu tugas mustahil: menyembuhkan Raja Kaelen dalam waktu satu bulan, atau mati di tangan sang raja sendiri.
Kaelen bukan sekadar raja yang dingin; ia adalah tawanan dari kutukan yang perlahan mengubah tubuhnya menjadi batu obsidian dan duri mematikan. Ia telah menutup hatinya, yakin bahwa sentuhannya hanya membawa kematian. Namun, kehadiran Elara yang keras kepala dan penuh cahaya mulai meretakkan dinding pertahanan Kaelen, mengungkap sisi heroik di balik wujud monsternya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tanty rahayu bahari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4: Perjanjian
Pagi di Shadowfall tidak datang dengan kicauan burung atau sinar matahari emas. Pagi datang dalam bentuk kabut abu-abu yang menempel di jendela kaca, seolah dunia di luar sana telah pudar.
Elara tersentak bangun saat pintu kamarnya dibuka kasar. Dia tertidur di lantai karpet, meringkuk memeluk lututnya sendiri setelah kejadian di taman malam itu.
"Bangun."
Suara itu bukan milik Nyonya Thorne.
Elara mendongak dan melihat Vorian, Sang Tangan Raja, berdiri di ambang pintu. Topeng peraknya berkilau dingin, memantulkan wajah Elara yang kusut dan ketakutan. Dua prajurit berbaju besi hitam berdiri di belakangnya seperti patung kematian.
"Apakah... apakah saya akan dieksekusi?" tanya Elara, suaranya serak. Tenggorokannya kering.
Vorian tidak menjawab. Dia hanya memberi isyarat dengan tangannya yang terbungkus sarung tangan kulit. "Raja memanggilmu."
Jantung Elara mencelos. Dia ingat ancaman Kaelen semalam. Jika aku melihatmu di sini lagi, aku pastikan kau akan menjadi salah satu patung di halaman. Apakah ini akhirnya? Apakah dia melanggar batas kesabaran sang monster?
Elara bangkit, merapikan gaunnya yang kusut sebisa mungkin. Dia tidak punya waktu untuk mencuci muka atau menyisir rambut. Dia berjalan keluar dengan dagu terangkat, mencoba menutupi gemetar di tangannya. Jika dia harus mati hari ini, dia akan mati dengan martabat sebagai putri Oakhaven.
Mereka tidak membawanya ke Ruang Takhta yang megah. Sebaliknya, Vorian membawanya melewati lorong-lorong sempit menuju sebuah ruangan yang lebih kecil dan tertutup di menara utara. Ruang Strategi.
Di tengah ruangan itu, ada sebuah meja batu besar yang dipahat menjadi peta kerajaan Shadowfall. Di atas peta itu, bidak-bidak hitam dan putih tersebar, menandakan posisi pasukan.
Dan di ujung meja, duduk Raja Kaelen.
Pagi ini, dia terlihat lebih menakutkan daripada semalam. Cahaya siang yang suram mempertegas detail mengerikan dari kutukannya. Separuh tubuh kanannya yang membatu tampak retak-retak lebih parah, dan duri-duri hitam di bahunya tampak lebih panjang, menembus jubah beludru hitam yang dia kenakan.
Dia tidak menoleh saat Elara masuk. Dia sedang menatap sebuah objek kecil di atas meja.
"Tinggalkan kami," perintah Kaelen. Suaranya berat, bergema di dinding batu.
Vorian membungkuk hormat, lalu mundur keluar ruangan bersama para prajurit. Pintu berat ditutup kembali, meninggalkan Elara berdua saja dengan sang monster.
Keheningan meregang selama beberapa detik yang menyiksa.
"Maju," kata Kaelen tanpa melihatnya.
Elara melangkah mendekat, berhenti di seberang meja batu. Dia menahan napas saat melihat apa yang sedang diperhatikan Kaelen.
Itu adalah sebuah pot kecil berisi tanah hitam. Di tengahnya, tumbuh sebuah tunas hijau mungil dengan dua helai daun yang rapuh.
Itu adalah tunas yang tumbuh di tempat Elara jatuh semalam. Kaelen pasti menggali tanah itu dan memindahkannya ke pot.
"Tanah di istana ini sudah mati selama sepuluh tahun," Kaelen akhirnya bicara. Dia mengangkat wajahnya, menatap Elara dengan mata heterokromianya—satu abu-abu, satu merah menyala. "Tidak ada yang bisa tumbuh di sini. Bahkan rumput liar pun menjadi abu saat menyentuh tanah."
Dia menunjuk tunas itu dengan jari telunjuk batunya yang tajam. "Tapi ini... ini hidup."
Elara menelan ludah. "Saya... saya tidak sengaja, Yang Mulia."
"Tidak sengaja?" Kaelen mendengus. Dia berdiri, tubuhnya yang tinggi menjulang mendominasi ruangan. Dia berjalan memutari meja, mendekati Elara perlahan. Suara langkah kakinya berat, seolah dia membawa beban dunia di pundaknya. "Kau memiliki Life Magic. Sihir Kehidupan."
"Hanya sedikit," cicit Elara. "Sangat lemah. Hanya cukup untuk menyembuhkan bunga layu atau luka gores kecil."
"Lemah?" Kaelen berhenti tepat di depan Elara. Hawa dingin yang mematikan memancar dari tubuhnya. "Penyihir agung dari menara timur mencoba menumbuhkan pohon di sini dan gagal. Mereka mati karena kelelahan. Tapi kau... kau menumbuhkan ini hanya dengan sentuhan pantatmu saat terjatuh?"
Elara merasakan wajahnya memanas karena malu. "Itu... itu kasar sekali, Yang Mulia."
Kaelen tidak peduli. Dia mencengkeram tepi meja batu hingga batu itu retak di bawah jarinya.
"Kau berbahaya," desisnya. "Sihirmu bertentangan dengan kutukanku. Jika kau tetap di sini, energi kita akan berbenturan. Itu bisa membunuhmu, atau meledakkan istana ini."
"Atau..." sela Elara, keberanian entah dari mana muncul lagi. "Itu bisa menyembuhkan Anda."
Tawa Kaelen meledak, keras dan menyakitkan. "Menyembuhkan aku? Lihat aku, gadis kecil!"
Dia merentangkan tangannya lebar-lebar.
"Aku bukan sakit flu. Aku dikutuk oleh Dewa Kematian! Separuh jiwaku sudah ada di dunia bawah. Apa yang bisa dilakukan gadis desa dengan sihir tanaman hias melawan kekuatan dewa?"
"Anda tidak tahu jika tidak mencoba!" seru Elara. Dia terkejut dengan suaranya sendiri yang meninggi.
Kaelen terdiam. Ekspresinya berubah dari marah menjadi dingin. Sangat dingin.
"Aku sudah mencoba," katanya, suaranya turun menjadi bisikan yang mengerikan. "Seratus penyembuh. Lima puluh penyihir. Dua puluh pendeta suci. Kau tahu di mana mereka sekarang? Di taman patung. Mereka mencoba menyentuhku dengan sihir mereka, dan kutukan ini memakan mereka hidup-hidup."
Kaelen membalikkan badan.
"Vorian!" teriaknya.
Pintu terbuka instan. Vorian masuk.
"Siapkan kereta," perintah Kaelen tanpa menoleh. "Kirim gadis ini kembali ke desanya. Atau buang dia di hutan perbatasan. Aku tidak peduli. Singkirkan dia dari pandanganku sebelum makan siang."
Elara membeku. Dipulangkan?
Jika dia pulang sekarang, tanpa hasil, tentara kerajaan akan tetap memungut pajak dua kali lipat. Desanya akan kelaparan. Mila, adiknya, tidak akan punya masa depan. Dan Nenek Hestia akan mati tanpa obat-obatan mahal yang dijanjikan istana.
"Tidak," kata Elara.
Langkah Kaelen terhenti. Vorian juga berhenti, tampak kaget.
"Apa katamu?" Kaelen menoleh perlahan.
"Saya bilang tidak," Elara mengepalkan tangannya di sisi tubuh. Kukunya menancap ke telapak tangan hingga sakit. "Saya tidak mau pulang."
"Kau menolak kebebasanmu?" tanya Kaelen, matanya menyipit berbahaya. "Kau memilih mati?"
"Saya memilih untuk bertaruh," kata Elara, melangkah maju satu langkah. "Beri saya waktu. Jika para penyihir agung itu gagal, mungkin itu karena mereka menggunakan kekuatan kasar. Sihir saya berbeda. Sihir saya tidak melawan, tapi... membujuk."
Kaelen menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Dia terlihat lelah. Sangat lelah.
"Dan jika kau gagal?" tantang Kaelen. "Jika dalam prosesnya kau berubah menjadi batu? Kau pikir adikmu akan senang menerima patung kakaknya sebagai oleh-oleh?"
Penyebutan adiknya membuat dada Elara nyeri, tapi itu juga memberinya kekuatan.
"Buat perjanjian dengan saya," kata Elara tegas.
Kaelen mengangkat alis. "Perjanjian?"
"Satu bulan," kata Elara. Dia mengacungkan satu jari. "Beri saya waktu 30 hari. Biarkan saya mencoba merawat Anda. Bukan sebagai penyihir, tapi sebagai ahli herbal. Saya akan menggunakan ramuan dan sedikit sihir saya untuk meredakan rasa sakit Anda."
"Dan apa imbalannya bagimu?" tanya Kaelen skeptis.
"Jika saya berhasil menahan penyebaran kutukan itu—walau hanya satu inchi—Anda harus membebaskan Desa Oakhaven dari pajak selama lima tahun. Dan Anda harus menjamin keselamatan adik saya."
Kaelen terdiam sejenak, menimang-nimang tawaran itu.
"Dan jika kau gagal?" tanya Kaelen dengan suara rendah. "Jika dalam 30 hari tidak ada perubahan, atau jika kau mati dalam prosesnya?"
Elara menelan ludah. "Jika saya gagal... Anda boleh melakukan apa saja pada saya. Jadikan saya patung, umpan monster, terserah Anda. Nyawa saya milik Anda."
Ruangan itu hening. Hanya suara angin menderu di luar jendela.
Kaelen berjalan kembali ke arah Elara. Dia berdiri begitu dekat hingga Elara bisa mencium aroma hujan dan abu dari tubuhnya. Dia menunduk, menatap mata Elara dalam-dalam, mencari keraguan. Tapi dia tidak menemukannya.
"Kau bodoh, Elara Vance," bisik Kaelen. "Kau memiliki kesempatan untuk lari, tapi kau malah melompat ke dalam api."
"Mungkin saya memang suka api," jawab Elara, suaranya bergetar tapi matanya tidak berpaling.
Sudut bibir Kaelen yang masih manusia terangkat sedikit. Sangat sedikit. Itu bukan senyuman, tapi seringai tipis tanda ketertarikan.
"Baik," kata Kaelen. Dia mengulurkan tangan kirinya—tangan manusianya. "Satu bulan. Mulai hari ini."
Elara menatap tangan itu. Tangan seorang raja. Tangan seorang pembunuh.
Dia mengulurkan tangannya yang kecil dan kasar, menyambut jabat tangan itu.
Kulit Kaelen dingin seperti es, tapi saat kulit mereka bersentuhan, Elara merasakan sesuatu. Bukan rasa sakit. Tapi getaran halus. Seperti aliran listrik statis yang hangat.
Kaelen juga merasakannya. Matanya membelalak sedikit, dan dia buru-buru menarik tangannya.
"Perjanjian dibuat," kata Kaelen kasar, membalikkan badan membelakangi Elara lagi. "Vorian, siapkan kamar di sayap timur untuknya. Jangan di menara penjara. Dia butuh akses ke dapur dan perpustakaan jika dia ingin bermain dokter-dokteran."
"Baik, Yang Mulia," jawab Vorian, membungkuk dalam.
"Sekarang keluar," usir Kaelen. "Kepalaku sakit."
Elara membungkuk canggung, lalu mengikuti Vorian keluar.
Tepat sebelum pintu tertutup, Elara menoleh sekilas. Dia melihat Kaelen kembali duduk di kursinya, menatap tangannya sendiri—tangan yang baru saja bersentuhan dengan Elara. Dia tampak bingung.
Pintu tertutup dengan suara bam.
Di lorong, Vorian menatap Elara dari balik topengnya.
"Kau baru saja menandatangani surat kematianmu sendiri, Nona," kata Vorian datar.
Elara menghembuskan napas panjang yang sedari tadi ditahannya. Kakinya lemas seketika, dan dia harus bersandar ke dinding agar tidak jatuh.
"Mungkin," bisik Elara. "Tapi setidaknya saya yang memegang pena-nya."
BERSAMBUNG....
Terima kasih telah membaca💞
Jangan lupa bantu like komen dan share❣️