Yunita, siswi kelas dua SMA yang ceria, barbar, dan penuh tingkah, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis saat orang tuanya menjodohkannya dengan seorang pria pilihan keluarga yang ternyata adalah guru paling killer di sekolahnya sendiri: Pak Yudhistira, guru Matematika berusia 27 tahun yang terkenal dingin dan galak.
Awalnya Yunita menolak keras, tapi keadaan membuat mereka menikah diam-diam. Di sekolah, mereka harus berpura-pura tidak saling kenal, sementara di rumah... mereka tinggal serumah sebagai suami istri sah!
Kehidupan mereka dipenuhi kekonyolan, cemburu-cemburuan konyol, rahasia yang hampir terbongkar, hingga momen manis yang perlahan menumbuhkan cinta.
Apalagi ketika Reza, sahabat laki-laki Yunita yang hampir jadi pacarnya dulu, terus mendekati Yunita tanpa tahu bahwa gadis itu sudah menikah!
Dari pernikahan yang terpaksa, tumbuhlah cinta yang tak terduga lucu, manis, dan bikin baper.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4 — Hidup Serumah dengan Pak Killer
Pagi pertama sebagai “istri rahasia” bukan seperti yang dibayangkan Yunita.
Ia bangun dengan rambut acak-acakan, wajah kusut, dan perasaan campur aduk antara ingin kabur dan ingin memukul seseorang. Terutama orang bernama Yudhistira.
Begitu membuka pintu kamar, aroma kopi dan suara halus halaman koran yang dibalik langsung menyambutnya.
Di ruang tamu, sang suami sedang duduk rapi di meja makan. Rambutnya sudah klimis, kemejanya sudah disetrika, dan wajahnya seperti baru keluar dari iklan sabun muka pria.
Sementara Yunita masih pakai piyama bergambar alpukat.
“Pagi,” sapa Yudhistira tanpa menoleh, masih fokus pada berita di tangannya.
“Pagi apanya,” gumam Yunita. “Kayak ada yang bisa disyukurin aja dari hidupku sekarang.”
“Kalau kamu ngomel pagi-pagi, artinya kamu sehat,” jawab Yudhistira santai sambil meneguk kopi.
“Pak—eh, Mas—eh, Yudis… ah, terserah. Kok Bapak santai banget sih?! Aku tuh baru sadar semalem kalau hidupku resmi berakhir!”
Yudhistira melipat koran perlahan, lalu menatapnya dengan ekspresi datar.
“Hidupmu belum berakhir, Yunita. Baru dimulai. Dan kalau kamu masih pakai piyama itu di meja makan, aku rasa itu tanda kamu belum siap mulai hari.”
“APAAN SIH, INI PAK GURU MODE ON LAGI!” teriak Yunita refleks sambil menutupi bajunya dengan serbet.
Yudhistira tersenyum kecil. “Nanti aku antar ke sekolah.”
“Nggak usah! Aku masih bisa jalan sendiri. Lagian kalau orang lihat kita bareng, bisa-bisa gosip satu sekolah meledak.”
“Tenang saja. Aku akan pura-pura nggak kenal kamu,” balasnya datar.
Yunita mendengus. “Lah, di sekolah emang dari dulu juga Bapak nggak ngaku punya murid favorit!”
“Karena memang kamu bukan favorit, kamu masalah,” jawab Yudhistira pelan sambil berdiri.
Yunita mendengus lebih keras. “Masalah yang Bapak nikahin, loh.”
“Dan itu masalah yang aku terima dengan tanggung jawab,” katanya, menatap Yunita sekilas sebelum mengambil tas kerjanya.
Yunita diam.
Entah kenapa dada kecilnya tiba-tiba ikut sesak.
Kalimat sederhana itu… kok kedengarannya manis, sih?
---
Sepanjang perjalanan ke sekolah, Yunita naik ojek online, sedangkan Yudhistira naik mobilnya sendiri.
Mereka berangkat beda arah, beda waktu, biar nggak ketahuan siapa pun.
Yunita bahkan sengaja turun di depan warung sebelah sekolah supaya tak ada yang curiga.
Begitu masuk gerbang, dunia langsung terasa normal lagi—teriakan teman-teman, bunyi lonceng, dan sapaan khas teman sebangku, Nadia.
“Nitaaa! Gue mimpi lo kemarin bilang dijodohin sama Pak Yudhistira. Terus lo nikah, gitu. Lucu banget sumpah!”
Salsa dan Rara tertawa keras di belakangnya.
Yunita yang baru meneguk susu kotak langsung tersedak.
“ITU BUKAN MIMPI, WOI!” katanya spontan—lalu langsung menutup mulut.
Ketiganya menatap Yunita bengong.
“Lo serius…?” tanya Salsa pelan.
Wajah Yunita memerah. “A-aku cuma bercanda waktu itu. Iya, bercanda. Hahaha.”
Tawanya kaku banget.
Tapi Nadia mendekat, menatapnya dengan curiga. “Lo bohong, kan? Lo nggak beneran…?”
“Ya nggak lah! Mana mungkin guru killer mau nikahin murid barbar kayak gue.”
“Tuh kan,” Rara menyenggol Nadia. “Udah gue bilang, nggak mungkin. Yunita paling cuma drama kayak biasa.”
Tapi dalam hati Yunita menjerit: Kalian beneran nggak bakal percaya kalau gue kasih liat buku nikahnya, ya?!
---
Jam pelajaran pertama: Matematika.
Dan tentu saja, gurunya: Yudhistira.
Begitu guru killer itu masuk kelas, semua murid otomatis diam.
Suaranya saja sudah cukup membuat udara menciut.
“Selamat pagi,” ucapnya tegas.
“Selamat pagi, Pak,” jawab seluruh kelas serempak—kecuali Yunita, yang masih sibuk pura-pura mencatat padahal jantungnya berdetak tak karuan.
Tatapan Yudhistira berkeliling, berhenti sepersekian detik di Yunita, lalu beralih lagi seolah tak ada yang aneh. Tapi entah kenapa, Yunita merasa mangsa empuk sedang diawasi elang.
Sepanjang pelajaran, ia nggak berani angkat wajah.
Sampai akhirnya—
“Yunita.”
Deg.
Suara itu… memanggil namanya.
Semua kepala di kelas otomatis menoleh ke arah Yunita yang langsung gugup.
“I-iya, Pak?”
“Kerjakan nomor lima di papan.”
“Eh? Tapi aku—”
“Sekarang.”
Yunita menyeret langkahnya ke depan kelas sambil berbisik dalam hati: Bapak ini mau ngajarin atau mau ngetes mental istrinya sendiri, sih?!
Ia menulis pelan-pelan, tapi sialnya, tangannya gemetar.
Kapur di tangannya patah dua kali.
“Fokus,” kata Yudhistira tanpa menoleh dari mejanya.
“GIMANA MAU FOKUS, PAK?!—eh maksudnya… iya, Pak,” katanya cepat sambil menggigit bibir.
Satu kelas menahan tawa melihat Yunita yang biasanya bawel kini berubah jadi tikus di depan macan.
Begitu duduk, Salsa menepuk bahunya.
“Serius, Nita, gue baru lihat lo setakut itu sama manusia.”
“Lo nggak tahu aja, Salsa… dia bukan manusia biasa.”
“Lah, maksudnya?”
“Dia—”
Belum sempat Yunita menjawab, Yudhistira menatapnya tajam dari depan kelas.
Yunita langsung menutup mulut.
“Gue jelasin nanti,” bisiknya lirih.
---
Sepulang sekolah, Yunita baru benar-benar bisa bernapas lega. Tapi baru beberapa langkah keluar gerbang, klakson mobil membuatnya berhenti.
Sebuah sedan abu-abu berhenti di depannya.
Kaca mobilnya turun dan muncullah wajah Yudhistira.
“Mau kuantar?”
Yunita panik. “Gila, Pak! Jangan di sini! Nanti ada yang lihat!”
“Tapi kamu jalan kaki di bawah panas begini juga bisa pingsan.” ujar Yudhistira
“Ya biar aja! Pingsan lebih aman daripada gosip!” jawab Yunita
“Cepat masuk,” suara Yudhistira tegas.
Yunita menatap kanan-kiri. Beberapa murid mulai memperhatikan.
“Pak, plis… saya naik ojek aja, ya.” mohon Yunita
“Lima detik lagi saya turun dan bukain pintu,” kata Yudhistira tenang.
Akhirnya Yunita menyerah, cepat-cepat masuk ke mobil.
Begitu pintu tertutup, ia langsung menunduk. “Kalau ada yang lihat, aku bakar sekolah.”
“Tenang. Kaca mobil ini gelap.”
“Ya tapi murid bisa hafal pelat nomor, Pak!”
“Berarti aku harus ganti mobil,” jawabnya ringan.
Yunita mendengus. “Bapak ini emang nggak pernah kalah debat ya?”
“Aku guru debat kehidupan,” katanya datar.
“Bapak tuh kalau bercanda bikin stres tau nggak?”
Yudhistira hanya tersenyum tipis.
Dan entah kenapa, senyum itu membuat wajah Yunita ikut panas.
Sesampainya di rumah, Yunita langsung berlari masuk kamar, sementara Yudhistira duduk di ruang tamu.
Beberapa menit kemudian, Yunita keluar sambil membawa buku catatan dan wajah masam.
“Bapak tahu nggak, gara-gara panggil aku ke papan tadi, temen-temen mulai gosip.”
“Gosip apa?”
“Katanya aku disukai guru killer. Gila nggak tuh?”
Yudhistira menahan tawa. “Itu gosip yang cukup menarik.”
“MENARIK DARI MANA?! Itu kabar yang bisa bikin aku dikucilkan satu sekolah, Pak!”
“Kalau kamu memang takut ketahuan, berarti kamu harus belajar akting. Di sekolah kamu murid, di rumah kamu—”
“korban perjodohan,” potong Yunita cepat.
Yudhistira menatapnya tajam. “Istri.”
Kata itu meluncur begitu pelan, tapi cukup untuk membuat wajah Yunita memanas seperti tomat rebus.
“Bapak tuh suka banget ngomong hal memalukan dengan wajah setenang itu, ya?”
“Biasa. Sudah kebal malu karena tiap hari menghadapi murid-murid berisik.”
“Jadi aku berisik, gitu?”
“Lebih dari berisik.”
Yunita memutar bola mata, tapi pipinya tetap merah.
Ia pura-pura sibuk membaca buku, padahal otaknya malah sibuk mengingat cara Yudhistira menyebut kata istri tadi.
bersambung
yo weslah gpp semangat Thor 💪 salam sukses dan sehat selalu ya cip 👍❤️🙂🙏