NovelToon NovelToon
I Want You

I Want You

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Romantis / Office Romance / Cintapertama
Popularitas:4.5k
Nilai: 5
Nama Author: Mapple_Aurora

Pengkhianatan yang dilakukan oleh tunangan dan kakak kandungnya membuat Rada mengambil keputusan untuk meninggalkan New York dan kembali ke Indonesia.

Pernikahan yang gagal membuat Rada menutup hati dan tidak ingin jatuh cinta lagi, tapi pertemuan dengan Gavin membuatnya belajar arti cinta sejati.

Saat Gavin menginginkan sesuatu, tidak ada yang bisa menolaknya termasuk keinginan untuk menikahi Rada. Ia tahu hati Rada sudah beku, tetapi Gavin punya segala cara untuk menarik wanita itu ke sisinya.



Cerita ini murni ide penulis, kesamaan nama tokoh dan tempat hanyalah karangan penulis dan tidak ada hubungannya dengan kehidupan nyata.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mapple_Aurora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 20

Senja mulai menuruni langit Jakarta, memantulkan cahaya oranye ke jendela butik yang perlahan mulai sepi. Kedua mama mereka akhirnya berpamitan lebih dulu, dengan alasan ingin langsung menuju rumah untuk membahas dekorasi dan undangan. Tinggallah Gavin dan Rada di pelataran depan butik.

Rada menurunkan masker kain kecilnya, menghela napas panjang. Ia sudah sangat lelah seharian fitting baju, mendengar komentar ini-itu, dan menahan diri agar tidak melempar pandangan mematikan ke arah Gavin setiap kali pria itu berbicara datar seolah mengatur segalanya.

“Aku pulang sendiri saja, terima kasih,” ucap Rada sambil menatap layar ponselnya, memesan ride-hailing.

Namun baru beberapa detik, ponselnya direbut halus dari tangannya. Gavin dengan santai menekan tombol cancel order, lalu memasukkannya ke saku jas. “Jangan keras kepala. Aku antar.”

Rada memutar mata. “Aku tidak mau merepotkanmu.”

Gavin mengangkat alis sedikit, ekspresinya tetap tenang. “Kau pikir aku tega membiarkan calon pengantinku jalan sendirian di jam segini? Kalau sesuatu terjadi, Mama bisa membunuhku sebelum kau sempat menikahiku.”

Nada suaranya seperti bercanda, tapi Rada tahu betul alasan itu hanya cara Gavin agar ia tidak sadar kalau sebenarnya pria itu memang perhatian. Dan karena terlalu malas berdebat, Rada akhirnya mendesah dan melangkah masuk ke mobil hitam milik Gavin dengan wajah pasrah.

Mobil meluncur tenang di jalanan ibukota yang mulai dipenuhi lampu. Beberapa menit mereka terdiam, hanya suara musik lembut dari radio yang mengisi ruang.

“Kamu bisa turunkan aku di depan apartemen.” kata Rada akhirnya membuka suara.

“Terlalu cepat,” jawab Gavin santai tanpa menoleh.

“Maksudmu?”

“Aku lapar,” katanya datar. “Dan aku yakin kamu belum makan juga. Aku tidak mau menikah dengan wanita yang pingsan di altar pernikahan karena maag.”

Rada menatapnya dengan ekspresi tidak percaya. Lagipula pernikahan mereka itu Minggu depan, tidak hari ini.

“Kamu selalu punya alasan aneh untuk mengatur orang lain, ya?” Dengus Rada.

Gavin menahan senyum, matanya tetap fokus ke jalan. “Bukan alasan, hanya logika.”

Beberapa menit kemudian, mobil berhenti di depan sebuah restoran mewah dengan lampu kristal besar di pintu masuk. Pelayan segera membukakan pintu, menyapa Gavin dengan hormat, jelas mengenalinya sebagai pelanggan penting.

“Gavin, ini restoran yang—”

“Tenang,” potongnya cepat. “Makanannya enak. Dan kamu butuh makan, Rada.”

Rada sempat ingin menolak, tapi aroma dari dalam restoran langsung membuat perutnya mengeluarkan bunyi pelan yang memalukan. Gavin menatapnya sekilas dengan senyum kecil di sudut bibir.

“Lihat? Tubuhmu juga setuju denganku.”

“Diam,” desis Rada dengan wajah memerah.

Mereka lalu masuk ke dalam restoran yang didominasi nuansa emas lembut dan kaca bening. Musik jazz mengalun pelan, membuat suasananya elegan dan hangat. Gavin memesan meja di dekat jendela besar yang menghadap ke langit senja Jakarta, sementara Rada hanya duduk sambil menghela napas. Ia tidak ingin mengaku bahwa suasana ini sebenarnya cukup menyenangkan.

“Pesan apa saja yang kamu suka,” kata Gavin sambil menyerahkan buku menu. “Kecuali kopi. Aku tahu kamu tidak bisa tidur kalau minum itu malam-malam.”

Rada mendongak perlahan. “Kamu tahu?”

Gavin menatapnya sekilas, lalu kembali menatap menu di tangannya. “Aku perhatikan.”

Kalimat itu sederhana, tapi cukup untuk membuat dada Rada terasa aneh — ada sesuatu yang bergetar halus di antara keterpaksaan dan kenyamanan yang tidak ingin ia akui.

Musik jazz di restoran mengalun lembut, menenggelamkan bunyi riuh kota yang berpendar di balik jendela kaca. Rada dan Gavin duduk berhadapan di meja yang diterangi cahaya lilin ramping berwarna gading. Aroma steak dan saus lembut memenuhi udara. Suasana elegan, tenang, dan nyaris terlalu nyaman bagi dua orang yang hubungan mereka dimulai dari kesalahpahaman.

Rada memotong daging di piringnya perlahan, berusaha menahan diri agar tidak terlalu memikirkan pria di depannya. Gavin terlihat tenang seperti biasa, mengenakan kemeja hitam sederhana dengan lengan digulung hingga siku. Sesekali pandangannya naik, memperhatikan Rada tanpa suara.

Saat suasana mulai terasa hangat, ponsel Rada tiba-tiba berdering. Getarannya menggetarkan meja halus, memecah momen hening di antara mereka.

Rada melirik layar ponselnya. Nomor baru. Tanpa perlu berpikir dua kali, wajahnya langsung berubah jengkel. Ia menghela napas panjang, lalu dengan cepat menekan tombol block number sebelum panggilan berhenti.

Gavin menatapnya dalam diam. “Kenapa tidak kamu angkat?” suaranya datar, tapi matanya tajam mengamati perubahan ekspresi di wajah Rada.

“Telepon tidak penting,” jawab Rada cepat, berusaha mengalihkan pandangan sambil menusuk potongan sayuran di piringnya.

Namun Gavin tetap menatapnya. “Sampai harus kamu blokir langsung?”

Rada menelan ludah, lalu tersenyum tipis tanpa menatapnya. “Beberapa hal… tidak pantas untuk diangkat lagi. Kadang, lebih baik tidak memberi kesempatan kedua.”

Jawabannya singkat, tapi ada getir di ujung kata-katanya.

Gavin tak berkata apa-apa lagi, hanya mengalihkan pandangan ke luar jendela. Namun dari sorot matanya, terlihat jelas bahwa ia menyimpan rasa penasaran dan juga kekesalan yang sulit dijelaskan.

Ia tidak tahu siapa yang menelpon, tapi sesuatu dalam nada Rada membuat dadanya terasa berat. Ia ingin bertanya lebih jauh, namun menahan diri. Ia tahu Rada bukan tipe yang suka diinterogasi, apalagi soal masa lalunya.

Beberapa menit kemudian, pelayan datang membawa minuman. Rada mencoba menenangkan diri, menyandarkan punggung ke kursi. Tapi pikirannya terus berputar, berapa lama El akan terus mengganggu?

Gavin menatapnya lagi, kali ini dengan nada lebih lembut. “Kamu terlihat lelah. Setelah ini aku antar pulang, oke?”

Rada mendesah. “Aku bisa pulang sendiri.”

“Aku tahu,” jawab Gavin, senyum samar muncul di wajahnya, “tapi aku tetap akan mengantar.”

Rada tidak membantah. Ia hanya mengalihkan pandangan, menatap ke arah lilin di meja yang bergoyang pelan mencoba menyembunyikan debar yang tidak seharusnya muncul.

Setelah selesai makan keduanya kembali ke mobil, Rada duduk dalam diam, ia hanya ingin diam saja sekarang.

Lampu jalan menyorot lembut melalui kaca depan mobil, menciptakan pantulan samar di wajah Rada yang bersandar di kursi penumpang. Sejak keluar dari restoran, ia tidak mengucapkan sepatah kata pun. Tangannya terlipat di pangkuan, matanya terpejam seolah tidur padahal Gavin tahu, itu hanya cara Rada menutup diri dari percakapan apa pun.

Mobil melaju tenang di bawah langit malam Jakarta yang mulai lengang. Gavin melirik sekilas ke arah Rada, melihat rambutnya yang sedikit jatuh ke wajah, lalu segera mengalihkan pandangan kembali ke jalan. Ia menahan diri untuk tidak mengatakan apa pun, tidak ingin memperburuk suasana. Tapi di dalam hati, ia merasa gelisah. Siapa pun yang menelpon tadi, jelas membuat Rada tidak tenang.

Beberapa kali ia membuka mulut, ingin bertanya, tapi akhirnya memilih diam. Hanya suara mesin mobil dan lagu lembut dari radio yang menemani perjalanan pulang.

Setibanya di parkiran apartemen, Gavin mematikan mesin mobil perlahan. “Sudah sampai,” katanya datar, meski suaranya nyaris seperti bisikan.

Rada membuka matanya, menatap sekilas ke arah depan tanpa benar-benar melihat. “Terima kasih,” ucapnya pelan, lalu langsung membuka pintu dan keluar tanpa menunggu tanggapan.

Gavin hanya bisa memperhatikan punggungnya yang berjalan cepat ke arah lift. Cahaya lampu parkiran memantulkan siluet tubuh Rada yang lelah, tapi tetap anggun.

Saat pintu lift menutup di depan matanya, Gavin menunduk, menekan jemari di setir mobil. Ia tahu Rada sedang berusaha kuat, tapi entah mengapa, melihatnya seperti itu membuat dadanya terasa sesak.

“Kamu jelas tidak pernah memilihku, bahkan mungkin tidak akan pernah mencintaiku. Tapi kenapa aku tidak bisa berhenti? Tidak bisa berhenti memikirkanmu? Menginginkanmu? Dan bahkan tidak bisa berhenti mencintaimu?” Gumam Gavin frustasi, tangannya semakin menekan stir mobil.

Sementara itu, di apartemennya, Rada menjatuhkan tas ke sofa begitu masuk. Ia menendang sepatunya asal, lalu berjalan ke kamar. Tanpa menyalakan lampu, ia langsung merebahkan diri di atas ranjang, masih dengan pakaian kerja dan make-up yang sudah sedikit luntur.

Kepalanya terasa berat, bukan hanya karena lelah tapi juga karena pikirannya berputar tanpa henti: El, pernikahan mendadak, dan Gavin.

Ia menatap langit-langit yang gelap, menarik napas panjang, lalu menutup mata. Malam ini Rada berharap bisa tidur tanpa mimpi apapun, tidak ada mimpi tentang ketakutan dan pengkhianatan.

...☆...

Gavin membuka pintu apartemennya perlahan, suara klik kunci terdengar lembut di tengah lorong yang sudah sepi. Lampu ruang tamu menyala otomatis, menyorot interior modern minimalis yang rapi dan nyaris terlalu sunyi. Ia menutup pintu di belakangnya, lalu bersandar sejenak dan membiarkan keheningan menelan pikirannya.

Di dinding sebelah, ia tahu tepat di sisi sana adalah apartemen Rada. Hanya dipisahkan oleh tembok tipis, tapi jarak di antara mereka terasa jauh. Terlalu jauh.

Gavin melepas jasnya dan menggantungnya di rak, lalu berjalan ke dapur kecil. Ia menuangkan segelas air, meneguknya perlahan sambil memandangi jendela besar yang menampilkan pemandangan kota. Lampu-lampu gedung masih berpendar di kejauhan, tapi pikirannya sama sekali tidak berada di sana.

Yang terlintas hanyalah wajah Rada, tatapannya yang tegas namun menyimpan lelah, caranya menahan diri agar tidak terlihat rapuh, bahkan kebiasaan kecilnya menatap ke bawah saat menahan amarah. Semua itu membuat Gavin ingin mendekat… tapi ia tahu ia tidak boleh. Belum saatnya.

Ia menurunkan gelas ke meja, menghela napas berat. “Sebentar lagi kamu akan menjadi milikku,” gumamnya lirih, suaranya nyaris tenggelam di antara dengung pendingin udara. “Tapi aku tidak ingin kamu hanya… terpaksa bersamaku.”

Gavin berjalan ke ruang tengah, duduk di sofa, menatap kosong ke arah dinding tempat apartemen Rada berada. Ia tahu gadis itu masih terjaga. Entah bagaimana, ia bisa merasakannya.

Ia menatap cincin perak kecil yang baru tadi sore dikirim oleh desainer. Cincin pertunangan yang akan digunakan di acara keluarga lusa. Jemarinya menggenggam benda itu erat.

“Aku tidak tahu bagaimana caranya membuatmu percaya lagi pada cinta,” katanya pelan, “tapi aku bersumpah akan membuatmu merasa aman.”

Matanya perlahan tertutup, tubuhnya merosot di sofa. Namun pikirannya masih memutar bayangan Rada. Matanya, suaranya, bahkan cara gadis itu marah pun terasa indah di matanya.

...✯✯✯...

1
Lunaire astrum
💯
Lunaire astrum
Bagus juga. Nanti baca lagi, mau ke warung dulu
Ega
Suka sama karakter Gavin🥰🥰🥰
Ega
cowok kyak El nih nyebelin banget deh😏
Adit monmon
cinta dlm diam ya vin🤭
Nda
luar biasa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!