Tersesat Di Hutan Angker

Tersesat Di Hutan Angker

Libur Semester

Hari itu suasana kampus sudah sepi. Hanya suara burung gereja dan angin yang berdesir di antara pohon flamboyan depan fakultas. Raka duduk di tangga depan gedung sambil memainkan botol air mineral yang sudah kosong.

“Jadi, kita mau ke mana nih libur semester panjang gini?” katanya sambil memandang teman-temannya satu per satu.

Nando mengangkat bahu. “Ke rumah aja bosen, bro. Tahun lalu juga begitu. Pengen liburan tapi duit pas-pasan.”

Dimas tertawa kecil.

“Ya jangan ke Bali juga. Cari yang deket-deket aja. Yang penting suasananya beda.”

Di samping mereka, tiga mahasiswi—Citra, Lala, dan Novi—sedang membuka peta digital di ponsel.

“Eh, ini loh,” kata Citra antusias, “aku nemu tempat di forum traveling. Namanya Bukit Arga Dipa. Katanya masih alami banget, belum banyak orang tahu.”

Bukit?” tanya Lala sambil mengerutkan kening.

“Ada jalur pendakian resminya nggak?”

Citra menggeleng.

“Belum resmi sih, tapi banyak yang bilang view-nya keren banget, apalagi pas sunrise.”

Nando langsung semangat.

“Nah! Itu baru asik. Nggak usah jauh-jauh, tapi tetap ada tantangannya.”

Raka sempat ragu.

“Tapi kalau belum resmi, aman nggak Takutnya jalurnya belum jelas.”

“Ah, lo penakut aja,” goda Dimas.

“Kita kan rame-rame, apa yang di takutin?”

Lala dan Novi saling pandang.

“Yaudah deh, sekalian refreshing,” kata Novi akhirnya.

“Tapi jangan lupa bawa peralatan lengkap. Jangan sampai kayak waktu camping di Pantai Watu, yang tenda aja lupa bawa.”

Mereka semua tertawa. Suasana sore itu ringan dan penuh semangat, seolah-olah liburan ini akan jadi petualangan yang menyenangkan.

“Gimana kalau kita ajak Leo juga?” usul Lala sambil menatap teman-temannya.

“Dia kan sering bantuin kita ngerjain tugas. Lagian, kalau ada dia, cowok jadi empat orang, aman kalau nanti ada hal-hal berat di perjalanan.”

Raka langsung menoleh.

“Leo? Yang jurusan Teknik Mesin itu?”

“Iya,” jawab Lala.

“Dia pernah cerita suka naik gunung juga. Katanya dulu sering ikut komunitas pendaki di kotanya.”

Nando mengangguk pelan.

“Boleh juga. Tambah satu orang nggak masalah. Biar lebih rame.”

Citra tersenyum kecil.

“Asal jangan diajak cuma karena kamu suka sama dia, Laa.”

Lala langsung mencubit lengan Citra sambil cemberut.

“Ih, apaan sih! Aku cuma mikir biar aman!”

Mereka semua tertawa lagi, tapi di tengah tawa itu Raka mendadak merasa aneh—entah kenapa, ada firasat kecil di dadanya yang membuatnya tidak nyaman.

“Yaudah, nanti aku yang hubungin Leo,” kata Dimas akhirnya.

“Besok sore kita rapat kecil di kosan Raka buat rencanain perlengkapan, pembagian tugas, sama waktu berangkat.”

Semua setuju.

Sore mulai merambat ke senja. Langit oranye perlahan memudar jadi ungu, dan angin dingin bertiup lewat koridor kampus yang mulai kosong.

Setelah rencana disepakati, mereka pun berpisah. Matahari sudah tenggelam sepenuhnya, meninggalkan semburat jingga terakhir di langit barat. Satu per satu mahasiswa itu berjalan menuju parkiran kampus yang mulai gelap.

“Besok sore di kosanku, jangan telat ya!” teriak Raka sambil menaiki motornya.

“Oke, kapten!” sahut Nando sambil tertawa. Citra dan Novi naik motor bareng Lala karena rumah mereka searah.

Hanya Dimas yang pulang sendirian. Rumahnya memang agak jauh dan berlawanan arah dari teman-temannya, di daerah yang lebih sepi, melewati jalan kecil yang diapit kebun bambu di kanan kiri.

Next Part ya hehe...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!