Di Universitas Harapan Bangsa, cinta tumbuh di antara dua insan dari dunia yang berbeda. Stefanus, pemuda cerdas yang hidup serba kekurangan, menempuh pendidikan berkat beasiswa.Di sisi lain, ada Stefany, gadis cantik dan pintar, putri tunggal Pak Arman, seorang pengusaha kaya yang ternyata menyimpan rahasia kelam Ia adalah bos mafia kejam.Pertemuan sederhana di kampus membawa Stefanus dan Stefany pada perasaan yang tak bisa mereka tolak. Namun, cinta mereka terhalang restu keluarga. Pak Arman menentang hubungan itu, bukan hanya karena perbedaan status sosial,hingga suatu malam, takdir membawa malapetaka. Stefanus tanpa sengaja menyaksikan sendiri aksi brutal Pak Arman dan komplotannya membunuh seorang pengkhianat mafia. Rahasia berdarah itu membuat Stefanus menjadi target pembunuhan.Akhirnya Stefanus meninggal ditangan pak Arman.stelah meninggalnya Stefanus,Stefany bertemu dengan Ceo yang mirip dengan Stefanus namanya Julian.Apakah Julian itu adalah Stefanus?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ulina Simanullang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 4: Cinta yang menantang
Senja mulai turun dan cahaya keemasan menelusup di antara dedaunan flamboyan yang sedang berbunga lebat, memantulkan warna merah menyala ke tanah yang sedikit basah oleh hujan sore tadi. Angin membawa aroma tanah dan rumput yang segar, seolah-olah alam ikut bersiap menyaksikan sebuah cerita baru yang akan dimulai.
Di bawah pohon flamboyan yang rindang, seorang pemuda berdiri dengan wajah tegang. Stefanus, mahasiswa sederhana dengan kemeja bersih tapi lusuh, memegang sebuket mawar merah yang ia beli dari sisa gajinya sebagai pelayan kafe. Tangan kirinya berkeringat, dadanya berdegup kencang seperti genderang perang.
Hari ini, ia memutuskan untuk mengatakan sesuatu yang selama ini hanya berani ia simpan dalam hati. Sesuatu yang bisa mengubah hidupnya atau mungkin malah menghancurkannya.
Beberapa meter dari tempatnya berdiri, dari arah gerbang kampus, Stefany berjalan perlahan. Rambut panjangnya tergerai indah, diterpa cahaya senja yang membuat wajahnya tampak berkilau. Senyum kecil menghiasi bibirnya ketika melihat Stefanus menunggunya.
Stefanus menelan ludah. Ia menatap gadis itu mendekat, dan untuk sesaat dunia seperti berhenti berputar.
“Stefany…” suaranya terdengar parau ketika akhirnya gadis itu berdiri di depannya.
Stefany tersenyum. “Nus, kamu kelihatan tegang banget. Ada apa?”
Stefanus menggenggam buket bunga itu erat-erat. “Aku… aku mau ngomong sesuatu. Dari pertama kali ketemu kamu di kampus, hidupku berubah. Aku mungkin cuma mahasiswa miskin yang kuliah karena beasiswa. Aku nggak punya apa-apa. Tapi satu hal yang aku punya… perasaan ini buat kamu.”
Stefany menatap wajah Stefanus dalam-dalam. Ada ketulusan di sana, ada rasa takut juga, tapi yang paling jelas adalah kesungguhan.
Stefanus menarik napas panjang, lalu mengulurkan bunga itu. “Stefany… aku cinta sama kamu. Maukah kamu jadi pacarku?”
Hening sejenak.
Stefany menatap bunga itu, lalu menatap Stefanus. Senyum perlahan muncul di wajahnya. “Kamu pikir aku nggak tahu, Nus? Kamu pikir aku nggak ngerasa hal yang sama?”
Stefanus terkejut. “Maksudmu…?”
Stefany menerima bunga itu, memeluknya pelan. “Iya, Nus. Aku mau jadi pacarmu.”
Detik itu juga, dada Stefanus seperti meledak oleh rasa bahagia. Semua rasa takut lenyap, tergantikan oleh kehangatan yang sulit ia gambarkan dengan kata-kata.
Di bawah pohon flamboyan dengan bunga merah berguguran di sekitar mereka, Stefanus dan Stefany resmi menjadi sepasang kekasih. Senja, angin, dan suara burung-burung sore menjadi saksi bisu kisah cinta yang baru saja dimulai.
Kebahagiaan yang Beradu dengan Tekad
Malamnya, di kamar megahnya di rumah besar keluarga Arman, Stefany memandangi mawar merah itu dengan senyum yang tak kunjung hilang. Ia memutar-mutar tangkai bunga itu di tangannya, membayangkan wajah Stefanus saat menyatakan cinta.
Tapi di balik senyum itu, ada kegelisahan yang perlahan muncul. Sejak awal, ayahnya sudah tahu siapa Stefanus. Seorang mahasiswa miskin, yatim piatu, tinggal bersama pamannya yang hidup sederhana. Ayahnya sudah jelas-jelas berkata bahwa Stefanus tidak pantas untuknya.
Namun malam ini Stefany sudah membuat keputusan. Ia tidak akan lagi bersembunyi. Ia tidak mau cintanya kotor oleh ketakutan.
“Kalau Papa mau marah, biar saja,” gumam Stefany pada dirinya sendiri. “Aku nggak akan mundur.”
Dengan langkah tegas, ia keluar dari kamarnya, menuruni tangga menuju ruang kerja ayahnya.
Pak Arman ada di sana, duduk di kursi besar di balik meja kerja dari kayu mahoni. Pria paruh baya itu sedang membaca laporan bisnis dengan kening berkerut.
“Papa,” suara Stefany memecah kesunyian.
Pak Arman mendongak. “Ada apa malam-malam begini?”
Stefany menarik napas dalam-dalam. “Aku mau bilang sesuatu. Dan Papa harus dengar.”
Pak Arman menyandarkan tubuh di kursinya. Tatapannya dingin, penuh wibawa. “Katakan.”
Stefany menatap mata ayahnya tanpa gentar. “Aku sekarang pacaran sama Stefanus.”
Keheningan panjang menyelimuti ruangan itu.
Pak Arman menatap putrinya dengan sorot mata yang tak terbaca. Lalu perlahan ia berdiri. “Kau ulangi apa yang kau bilang?”
“Aku pacaran sama Stefanus,” ulang Stefany, kali ini dengan suara tegas.
Nafas Pak Arman mulai memburu. Ia berjalan ke arah jendela, memandang keluar beberapa detik, lalu berbalik. “Stefany, bukankah Papa sudah bilang dari dulu? Anak itu bukan siapa-siapa. Anak miskin, tanpa nama, tanpa masa depan.”
“Papa selalu bilang begitu,” Stefany menahan tangis. “Tapi Papa nggak pernah mau kenal dia. Papa nggak pernah tahu kalau Stefanus itu baik, jujur, dan pekerja keras.”
Pak Arman menunjuk Stefany dengan telunjuknya. “Kau pikir cinta bisa memberi dia masa depan? Kau pikir cinta bisa mengangkat derajatnya hingga pantas untukmu?!”
“Papa selalu lihat orang dari uang dan kekuasaan!” Stefany bersuara lantang, matanya berkaca-kaca. “Tapi apa Papa pernah mikirin apa yang bikin aku bahagia?”
Pak Arman memukul meja keras-keras hingga beberapa berkas jatuh. “Selama aku masih hidup, kau tidak akan menikah dengan anak itu!”
Stefany menggigit bibirnya. “Kalau Papa larang, aku tetap sama dia. Aku nggak akan tinggalkan Stefanus, apa pun yang terjadi.”
Wajah Pak Arman memerah. “Stefany! Kau tidak tahu siapa aku! Kau tidak tahu apa yang kau lakukan!”
“Aku tahu, Papa,” Stefany balas dengan suara bergetar tapi tegas. “Aku tahu siapa Papa, tapi aku juga tahu apa yang aku rasakan.”
Pak Arman terdiam beberapa detik, dadanya naik turun menahan amarah.
Tanpa menunggu jawaban, Stefany berbalik pergi, meninggalkan ayahnya yang berdiri kaku di tengah ruangan.
Amarah Seorang Ayah
Setelah Stefany menghilang di balik pintu, Pak Arman menatap ruangan dengan mata berkilat. Ia sudah tahu sejak lama siapa Stefanus. Ia tahu semua tentang latar belakangnya. Dan itulah yang membuatnya muak baginya, Stefanus hanyalah noda di kehidupan mewah putrinya.
“Anak itu berani menantangku…” gumamnya pelan, tapi sarat ancaman.
Ia memukul meja sekali lagi, kali ini lebih keras.
Bagi Pak Arman, ini bukan hanya soal cinta anak muda. Ini tentang harga diri, tentang seorang ayah yang merasa kekuasaannya diremehkan.
Bahagia di Tengah Bayangan Badai
Di sisi lain kota, Stefanus dan Stefany bertemu di sebuah kafe kecil. Lampu-lampu temaram memberi kehangatan di tengah malam yang dingin.
“Aku sudah bilang ke Papa,” kata Stefany pelan sambil menatap cangkir tehnya.
Stefanus menatapnya cemas. “Papa kamu marah, ya?”
Stefany tersenyum getir. “Marah besar. Tapi aku nggak peduli, Nus. Aku nggak mau cinta kita sembunyi-sembunyi. Aku cinta kamu, dan aku berani bilang ke siapa pun.”
Stefanus menggenggam tangan Stefany di atas meja. “Aku takut bikin hidup kamu susah, Stef…”
Stefany menggeleng, menatapnya penuh keyakinan. “Selama kamu ada, Nus, aku nggak takut apa pun.”
Stefanus menatap mata gadis itu. Ada sesuatu yang menghangatkan sekaligus menyesakkan di dadanya.
Di luar kafe, hujan mulai turun rintik-rintik. Dan di kejauhan, badai besar perlahan-lahan mendekat.