"Kehilangan terbesar adalah kehilangan yang terjadi lagi setelah kehilangan yang sebelumnya. Karena itu menandakan kita selalu kehilangan lagi, lagi dan lagi."
Season : I ....
જ⁀➴୨ৎ જ⁀➴
“Kamu udah nyerah satu tahun yang lalu!” gertak Ernest.
“Itu dulu, sekarang beda!” Kakiku pun mengetuk lantai, dan kami berdiri saling berhadapan.
“Terserah! Aku enggak mau harga diriku kamu injak-injak!”
“Kamu masih sayang sama aku kan, Ernest?”
Dia enggak berkedip sedikitpun. “Tandatangani aja suratnya, Lavinia!!!”
“Gimana kalau kita buat kesepakatan?”
“Enggak ada kesepakatan. Tandatangani!!”
“Mama kasih aku dua bulan di sini. Aku janji, dua bulan lagi ... apa pun yang terjadi ... mau ingatan aku pulih atau enggak ... kalau kamu masih pingin cerai, aku bakal tandatangani! Tapi please ba—”
“Udah, lah!! Aku jemput kamu jam sembilan, Sabtu pagi!” dengusnya sambil membanting pintu.
Aku ambil surat cerai itu, lalu membuangnya ke tempat sampah.
Aku enggak akan tanda tangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
I. Maafkan Aku, Ernest!
Dua puluh menit kemudian, aku balik ke ruang periksa. Masih menunggu Gabriella sambil berpikir ... mau pasang IUD lagi atau balik ke pil.
IUD, sih lebih praktis, tapi kalau aku sama Ernest ingin punya anak, ya mendingan enggak usah pasang yang semi permanen. Tapi, kok jadi buru-buru memikirkan anak, sih?
Tujuh minggu yang lalu saja dia masih mau menceraikan aku. Tapi ya, Ernest memang dari dulu ingin punya keluarga. Aku bisa saja lepas IUD setahun lagi.
Aku geleng-geleng, coba mengusir pikiran yang berputar-putar. Lebih baik aku menunggu saran dari Gabriella saja, deh.
Tiba-tiba ada yang ketuk pintu, terus Gabriella masuk dan duduk. Kali ini dia terlihat berbeda, enggak seceria sebelumnya.
“Kabar baik, kita enggak lihat IUD di USG. Kayaknya udah copot dan mungkin kamu enggak nyadar waktu di toilet.”
“Semalam?”
“Feeling aku, sih udah dari seminggu lalu atau lebih, makanya kita enggak nemuin. Tapi boleh aku tanya sesuatu, Lavinia?”
Nada suaranya membuatku enggak nyaman, tapi aku mengangguk.
“Kamu pakai IUD cuma buat ngatur menstruasi atau juga buat KB?”
“Cuma buat ngatur haid. Aku enggak aktif bercumbu waktu itu, soalnya ... Hemm ... aku bahkan lupa aku punya suami. Tapi sekarang udah. Ya, ampun ....” Mataku berkaca-kaca, tanganku langsung ke perut.
Pikiranku sudah jauh melayang ke mana-mana.
Apa aku hamil?
Atau keguguran?
Apa itu penyebab aku kram kemarin?
Aku memperhatikan perutku. Seandainya saja terjadi. Bagaimana caranya aku bilang ke Ernest?
Dia bakal hancur lagi. Aku juga merasa hancur.
“Tenang, kamu cuma lagi mens aja,” kata Gabriella.
Aku langsung hembuskan napas panjang, “Syukurlah. Kalaupun aku hamil juga enggak masalah, sih. Ernest pingin punya anak, aku juga.”
Dia senyum, lalu menghampiriku dan pegang tangan aku. “Aku udah dapat rekam medis kamu dari Dr. Agnes ... Lavinia, kamu pernah dikasih tahu soal endometriosis?”
“Apa?” Aku langsung mengernyit.
“Itu kondisi di mana jaringan seperti lapisan rahim tumbuh di luar rahim, kadang bisa nutup saluran tuba. Aku tahu kamu pernah kecelakaan dan enggak ingat apa-apa. Tapi Dr. Agnes pernah ketemu kamu dan ngirimin kamu hasil tes Histerosalpingografi (HSG). Itu tes pakai cairan yang dimasukin ke rahim lewat kateter, trus difoto pakai X-ray buat lihat alirannya. Nah, cairan kamu enggak ngalir lancar ke perut, artinya ada sumbatan di dua saluran tuba kamu.”
Perut aku mual. “Artinya?”
“Artinya, kalau kamu pingin hamil, kamu harus cari bantuan kesuburan. Kemungkinan besar langsung ke bayi tabung. Masalah dari Endometriosis itu bisa dibersihin lewat operasi, tapi enggak bisa kembali sempurna lagi. Dan itu risikonya tinggi buat kehamilan ektopik, yang artinya bukan kehamilan sehat, dan bisa bahaya banget buat kamu. Kalau enggak ketahuan lebih awal, bisa-bisa kamu kehilangan ovarium atau tuba falopi.” Dia tepuk kakiku. “Ini semua pasti berat banget. Mau aku panggilin Ernest atau Hattie?”
Aku geleng-geleng pelan.
Mimpi buruk apa lagi ini, Tuhan?
“Jadi, Dr. Agnes udah pernah bilang ke aku soal ini?”
“Udah, tapi kamu enggak ingat gara-gara kecelakaan. Sekarang aku saranin kamu mulai lagi minum pil. Pulang dulu, ngobrol sama Ernest, setelah itu balik lagi. Banyak banget dokter bagus dan opsi buat program hamil, kok.”
“Ini bahaya, enggak?”
Dia menghela napas. “Kita harus tes lagi, Lavinia. Tes terbaru. Soalnya Dr. Agnes bilang Endometriosis kamu sudah masuk level empat. Kita harus lihat dulu apakah operasi masih bisa jadi pilihan.”
“Gimana bisa aku enggak tahu soal ini sebelumnya?”
“Ya, mungkin pas ngerasa sakit waktu mens kamu langsung minum obat, dan IUD-nya juga bantu ngurangin nyeri. Tapi kadang emang gejalanya enggak terasa. Banyak cewek menganggapnya masalah pencernaan, bukan masalah rahim. Tapi tenang, Lavinia, kita bakal cari tahu sama-sama.”
“Aku bisa lihat catatan dari Dr. Agnes?”
Dia sempat ragu, terus mengangguk. “Oke. Tapi belum discan, tunggu sebentar ya!”
Dia keluar.
Untungnya Hattie enggak muncul. HP aku berbunyi di tas, tapi aku cuek. Aku buru-buru pakai baju sambil menunggu.
Gabriella kembali saat aku lagi pasang sepatu. Aku lihat tanggal dari kunjungan terakhir ke Dr. Agnes, dan aku langsung mual.
Maret tahun lalu.
“Makasih,” kataku pelan.
Aku keluar ruangan, berlalu di depan Hattie dan Joanna. Saat sampai di luar, aku langsung menunduk dan muntah ke tempat sampah.
Akhirnya aku dapat jawabannya.
Tapi jelas-jelas bukan jawaban yang aku inginkan.
Aku bilang ke Hattie sama Joanna kalau aku baik-baik saja, cuma sakit perut doang. Di jalan pulang, suaraku agak tinggi saat harus menjelaskan soal IUD.
Yang Hattie bilang cuma, “Benda itu ketinggalan di dalem ya?”
Mereka antar aku pulang, terus aku kirim pesan ke Ernest kalau kita harus bicara saat dia sampai rumah.
Aku enggak apa-apa, kok.
Aku keluar ke teras, terus langsung menelepon Mama. Dia angkat di dering kelima. Itu artinya dia sebenarnya enggak mau angkat, tapi penasaran.
“Lavinia,” katanya.
“Mama tahu kenapa Lavinia ninggalin Ernest, kan? Mama tahu, kan? Mama sengaja nutupin dari Lavinia?”
“Lavinia .…” jawabnya dengan nada yang sama seperti saat Mama sedang menyembunyikan sesuatu dari aku.
“Jawab, dong!” teriakku. “Aku punya hak buat tahu. Mama tahu itu alasannya Lavinia pergi, kan?”
Dia diam.
“Berarti itu jawaban Mama? Gimana bisa Mama biarin Lavinia balik ke sini, sampai nyambung lagi sama dia, padahal Mama tahu Lavinia enggak bisa kasih apa yang dia impi-impikan? Mama sengaja pingin nyakitin dia? Nyakitin keluarga Sastrowardoyo? Nyakitin Lavinia sebagai balasan karena Lavinia enggak pernah nurut?” Aku enggak bisa berhenti teriak, air mataku pun mengucur deras.
Yang bisa aku bayangkan cuma tatapan kecewa dan putus asa di mata orang yang selama ini aku cintai.
“Mama suruh kamu balik. Mama emang enggak mau kamu di sana, tapi kamu tuh selalu ngeyel. Mama harus gimana coba?”
“Ngomong! Kasih tahu Lavinia kalau Mama tahu alasan Lavinia ninggalin dia, jadi setidaknya Lavinia bisa cerita ke Ernest sebelum kita saling jatuh cinta lagi.”
Aku kesal harus bilang 'jatuh cinta lagi', karena jujur saja, di kepala aku itu ... Aku enggak pernah berhenti cinta sama dia.
“Kalau dia benaran cinta sama kamu, Lavinia ... dia bakal ngerti kok. Itu semua di luar kendali kamu.”
“Mam—” Aku geleng-geleng kepala, darahku sudah mendidih. “Aku enggak mau ngomong sama Mama lagi.” Terus aku tutup teleponnya.
Aku duduk di kursi teras, kepalaku tenggelam di tangan.
Bagaimana aku bisa bilang ini ke Ernest?
Bagaimana cara menjelaskan alasan aku pergi?
Bagaimana caranya bilang kalau kemungkinan besar dia enggak bakal bisa punya anak, dan membuat keluarga besar yang dia impikan?
Aku ingat perjuangan orang tuaku buat punya anak. Betapa hancurnya Mama setiap kali pulang dari dokter. Harapan palsu yang datang tiap kali ada prosedur baru. Biaya berobat yang membuat mereka utang sana-sini. Papa kerja mati-matian cuma biar bisa bayar semua itu. Aku masih bisa lihat punggung Mama yang penuh bekas suntikan.
Aku memejamkan mata, dan mulai mengerti kenapa Lavinia yang dulu pergi. Tapi aku enggak mengerti kenapa dia enggak cerita ke Ernest.
Aku butuh banget buku harian aku.
Aku masuk ke lemari dan bongkar semua jurnalku. Tapi sudah pernah aku baca semua dan enggak ada satu pun yang menyebut soal kita mencoba punya anak.
Kenapa Dr. Agnes tes aku, ya?
Sudah satu jam mencari, tetap enggak menemukan jawaban. Aku ingin banget mengetahui apa yang aku pikirkan waktu itu. Kenapa aku bisa meninggalkan satu-satunya cowok yang mungkin bisa bantu aku hadapi kabar segila ini?
Aku cuma ingin mengubur diri di kasur dan berharap semua ini cuma mimpi buruk.
Aku kirim pesan ke Ernest, bilang kalau aku enggak masak malam ini. Terus dia balas bercanda, “Lagi dapet, ya?”
Aku ganti baju, pakai piyama, terus masuk ke selimut.
Aku tarik napas dalam-dalam, menunggu sampai napasku enggak tersengal lagi, terus aku sadar ...
Aku harus bicara jujur semuanya kepada Ernest.
Mau bagaimanapun hasilnya.