Mentari Arata Wiradiredja, gadis 19 tahun pewaris tunggal keluarga Wiradiredja—konglomerat yang tersohor bisnis hotel dan resortnya, justru ingin mengejar mimpinya sebagai desainer. Penolakannya membuat hubungannya dengan keluarga kerap tegang.
Hidupnya berubah saat tak sengaja bertemu Dewangga Orlando Danurengga, duda tampan kaya raya berusia 35 tahun yang dingin namun memikat. Pertemuan sederhana di sebuah café menjerat hati mereka, meski perbedaan usia, status, dan restu keluarga menjadi jurang besar.
Di tengah cinta, mimpi, dan konflik dengan kakak-beradik Danurengga, Mentari harus memilih: mengejar cintanya pada Dewangga, atau tunduk pada takdir keluarga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Stacy Agalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Undangan dari langit
Mentari menatap layar ponselnya dengan wajah antara tidak percaya dan terlalu gembira.
Sebuah pesan resmi dari D’Or Mode Indonesia terpampang di sana.
“Selamat pagi, Mentari Arata Wiradiredja. Kami dari D’Or Mode tertarik untuk mengundang Anda mengikuti proyek desain kolaboratif khusus mahasiswa. Mohon konfirmasi kehadiran Anda hari ini pukul 13.00 di kantor pusat D’Or Mode, Jakarta.”
Detik itu juga jantungnya berdegup cepat.
D’Or Mode—perusahaan fashion dan modeling bergengsi di tanah air, bahkan karyanya sering tampil di panggung internasional. Nama yang selama ini hanya berani ia tulis di daftar wishlist karier impian di dinding kamarnya.
Ia sampai memejamkan mata, memastikan itu bukan mimpi.
“Ya Tuhan... D’Or Mode beneran ngundang aku?” desisnya lirih, hampir tak percaya.
Tanpa berpikir panjang, ia segera berlari kecil ke arah lemari, membuka pintu lebar-lebar dan mulai menata pilihan pakaian. Dalam waktu singkat, kamar Mentari yang biasanya rapi berubah jadi arena kecil penuh tumpukan dress, celana bahan, dan kertas sketsa.
“Pakai yang profesional tapi tetap aku banget,” gumamnya di depan cermin, menatap bayangan dirinya yang mengenakan blus putih lembut dengan rok midi krem, dipadukan dengan tas kecil warna pastel. Gaya khas seorang desainer muda yang punya selera halus tapi berani.
Hari itu tidak ada mata kuliah. Jadwal kosong yang biasanya ia gunakan untuk menggambar di studio kini berubah menjadi perjalanan yang mungkin akan mengubah hidupnya.
Sebelum berangkat, ia sempat melihat ke lantai bawah. Seperti biasa, rumah besar itu sunyi.
Ayah dan ibunya sudah berangkat sejak subuh—ada rapat investor di resort keluarga.
Mentari hanya menghela napas pelan. “Seperti biasa…” gumamnya lirih, lalu tersenyum pahit.
Ia tahu, begitulah hidup orang tuanya—penuh urusan, penuh jadwal, tapi jarang sekali penuh waktu untuknya.
Ia mengambil ponsel dari meja, mengetik pesan cepat ke nomor yang hampir setiap hari menemaninya lewat obrolan santai.
“Cakra, kamu nggak bakal percaya. Aku baru dapet undangan interview proyek desain dari D’Or Mode 😭😭😭”
“D’Or Mode?? Serius kamu?”
“Iyaaa 😭😭 Aku sampe gemetar. Itu kan perusahaan fashion paling keren. Aku bahkan tulis di list impianku!”
“Kok bisa mereka tahu kamu?”
Mentari: “Aku juga nggak ngerti. Katanya proyek kolaboratif mahasiswa. Aku belum pernah ikut pameran apapun, lho.”
Beberapa detik hening. Mentari menunggu balasan, tapi Cakrawala belum membalas.
Di seberang sana, di kamar kost-nya yang sederhana di Bandung, Cakrawala duduk terpaku menatap layar ponsel.
D’Or Mode.
Perusahaan fashion besar milik kakaknya — Dewangga Orlando Danurengga.
Ia menggigit bibir bawah, menatap nama “Mentari” di layar chat.
Bagaimana mungkin perusahaan kakaknya tahu soal Mentari? Apalagi gadis itu nyaris tidak pernah muncul di publik, tidak punya portofolio online, dan bahkan sering menolak tawaran tampil di lomba kampus.
Satu-satunya yang tahu sejauh mana bakat Mentari… hanyalah orang-orang di lingkar kampus mereka.
“Mungkin dosen yang rekomendasiin. Kamu kan emang jago banget.”
“Mungkin ya. Aku juga mikirnya gitu. Tapi sumpah, Cak, aku deg-degan banget. Ini mimpi banget buat aku.”
“Hehe, aku seneng banget denger itu. Kamu pantas dapet kesempatan itu.”
Cakrawala menatap layar ponsel cukup lama sebelum akhirnya menghembuskan napas pelan. Ada rasa bangga di dadanya—tapi juga sesuatu yang aneh, seperti firasat bahwa cerita ini akan berubah arah.
“D’Or Mode, ya, Kak…” gumamnya, memandang foto kakaknya di pigura kecil di atas meja. Foto itu diambil tiga tahun lalu—Dewangga berdiri tegap dalam jas abu-abu, menatap kamera dengan sorot mata yang dingin tapi berwibawa.
“Jangan bilang ini idemu…”
Sementara itu, Mentari sudah melangkah keluar rumah. Udara pagi di Bandung terasa segar, langit biru bersih seolah ikut merestui langkahnya. Ia menatap ponselnya sekali lagi, membaca ulang pesan dari D’Or Mode—masih tak percaya bahwa kesempatan sebesar itu bisa datang begitu saja.
Di dalam hati, ada semangat baru, tapi juga rasa gugup yang tak bisa dijelaskan.
Ia tidak tahu bahwa undangan itu bukan sekadar tentang proyek desain.
Bahwa di ujung perjalanannya menuju Jakarta, seseorang sedang menunggu—pria yang secara tidak sengaja pernah ia tabrak, dan yang kini diam-diam telah menariknya masuk ke dalam dunianya.
Dan begitulah, siang itu, Mentari Arata Wiradiredja memulai perjalanan pertamanya menuju kantor pusat D’Or Mode, tanpa menyadari bahwa langkah kecilnya itu adalah awal dari babak baru yang akan mengguncang hidupnya.
_____
Bangunan kaca itu menjulang megah di kawasan pusat bisnis Jakarta Selatan. Logo D’Or Mode yang berkilau di dinding depan membuat siapa pun yang datang ke sana otomatis meluruskan punggung.
Mentari turun dari mobil dengan napas yang sedikit tercekat. Map berisi beberapa contoh desain ia dekap di dada.
Hari itu seharusnya menjadi salah satu hari paling berharga dalam hidupnya. Tapi entah kenapa, perasaan aneh terus berdesir di dadanya. Seperti ada sesuatu yang akan terjadi.
Ia menyebut namanya pada resepsionis, lalu diarahkan menuju ruang CEO di lantai sebelas. Langkahnya mantap, tapi telapak tangannya dingin.
.....
Begitu pintu ruang CEO terbuka, aroma kopi hitam bercampur wangi kayu memenuhi ruangan. Di ujung meja panjang, duduk seorang pria berjas abu gelap—punggung tegap, tatapan tenang.
Mentari sontak berhenti di ambang pintu.
Tidak mungkin…
Dewangga mendongak dari dokumen yang tengah ia baca. Sekilas, ia tampak tidak terkejut. Namun sudut bibirnya sedikit naik, samar—seolah memang sudah menanti pertemuan itu.
“Silakan duduk, Mentari,” ucapnya tenang, nada suaranya dalam dan stabil seperti biasanya.
Mentari tersadar beberapa detik kemudian, buru-buru menunduk sopan. “T-terima kasih, Pak.”
Ia duduk di kursi seberang, berusaha menjaga ekspresi seprofesional mungkin. Tapi dalam dadanya, detak jantungnya kacau.
Dewangga membuka berkas di depannya. “Saya sempat melihat salah satu sketsa milikmu… kebetulan terselip di meja cafe tempo hari.”
Mentari menelan ludah. Jadi sketsa ku yang hilang itu dibawa sama dia...
“Desainmu menarik. Ada konsep dan keberanian di sana.” Tatapannya berpindah pada Mentari, menelusuri wajah muda yang kini berusaha keras terlihat tenang. “Kami sedang mencari desainer muda untuk proyek capsule collection musim depan. Apakah kamu bersedia bergabung sementara dalam tim desain kami?”
Mentari terdiam. Kata-kata itu seperti mimpi. D’Or Mode—perusahaan fashion ternama yang bahkan dosen-dosennya kagumi—menawarkannya proyek nyata?
“Bersedia, Pak,” jawabnya mantap, meski suaranya bergetar sedikit. “Tentu saja saya bersedia.”
Dewangga menutup map di tangannya pelan, lalu bersandar. “Baik. Tapi saya perlu kamu tahu, proyek ini bukan hal ringan. Kami akan bekerja cepat dan detail. Saya ingin tahu, seberapa jauh kamu siap menanggung konsekuensinya?”
Mentari mengangkat dagu. “Saya terbiasa bekerja keras, Pak. Saya tidak takut belajar.”
Tatapan keduanya bertemu—untuk pertama kalinya tanpa sengaja. Ada jeda aneh di sana, sesaat yang terasa lebih panjang dari seharusnya.
Dewangga tersenyum samar. “Baiklah, Mentari. Selamat datang di D’Or Mode.”
Ia berdiri, mengulurkan tangan. Mentari menyambutnya dengan gugup. Sentuhan singkat itu cukup untuk membuat hatinya kehilangan ritme.
Saat keluar dari ruangan, napas Mentari sedikit bergetar. Bukan hanya karena kebahagiaan diterima di perusahaan impian, tapi karena satu hal yang tak bisa ia sangkal—pertemuannya dengan pria itu bukan kebetulan.
Dan entah kenapa, firasatnya berkata… hubungan mereka baru saja dimulai.