Selina harus menelan pahit kenyataan di kala dirinya sudah bercerai dengan mantan suami hasil perjodohan. Ternyata tak lama setelah itu, dia menemukan dirinya tengah berbadan dua.
Selina akhirnya memutuskan untuk membesarkan bayinya sendiri, meskipun harus menjadi ibu tunggal tak membuatnya menyerah.
Berbeda dengan Zavier. Mantan suaminya yang hidup bahagia dan mewah dengan kekasihnya. Seseorang sudah hadir di hidup pria itu jauh sebelum kedatangan Selina.
Akankah kebenarannya terungkap seiring berjalannya waktu? Belum lagi Selina Kini harus terjebak dengan seorang bos yang sangat menyebalkan.
Ikuti kisahnya!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ara Nandini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25
Selina menatap dirinya di pantulan cermin. Beberapa kali ia menghela napas kasar, dadanya naik turun menahan rasa kesal. Jayden benar-benar sudah keterlaluan membawanya ke pesta pernikahan mantan suaminya sendiri. Meskipun hari itu orang tua Zavier sempat memintanya hadir bersama Ian, Selina memilih diam, tak ada keberanian untuk menolak terang-terangan.
Dan kini, dirinya berdiri di kamarnya, bersiap untuk berangkat bersama Jayden.
Selina merapikan gaun yang membalut tubuhnya. Gaun itu memang indah, potongannya anggun, kainnya sempurna mengikuti lekuk tubuhnya. Harganya jelas sangat mahal, bahkan seumur hidupnya Selina tak pernah membayangkan bisa mengenakan gaun semewah ini. Tapi gaun ini terlalu mencolok, terlalu mewah untuk dirinya yang terbiasa sederhana.
“Mama!! Kata Om Jayden cepet dandannya! Nanti telat!” teriak Ian dari luar kamar.
Selina tersentak. Ia tidak tahu kalau pria itu sudah berada di rumahnya. Tangannya buru-buru meraih tas kecil di atas meja rias, lalu melangkah keluar dengan langkah ragu.
Jayden masih berjongkok di depan Ian ketika Selina membuka pintu kamar. Begitu mendengar suara langkah, pria itu otomatis mengalihkan pandangan. Seketika matanya membesar.
Untuk pertama kalinya, Jayden tak menyangka gaun yang ia berikan sangat pas dan cocok di tubuh Selina. Tubuh wanita itu terlihat sempurna, lekuknya mengikuti potongan gaun yang pas di tubuhnya. Kulitnya yang bersih memantulkan cahaya lampu redup, membuatnya tampak lebih muda—seperti masih gadis yang belum pernah menikah.
Selina bisa merasakan tatapan pria itu menelusuri dirinya dari kepala hingga ujung kaki. Tatapan yang begitu intens, membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menutupi kecanggungan.
“Om! Kedip, Om! Ian tahu Mama cantik!” suara riang Ian mendadak memecah suasana.
Jayden segera mengerjap matanya, tersadar dari lamunannya.
Jayden berdehem sebentar sebelum akhirnya bersuara datar.
“Ayo berangkat sekarang,”
Selina hanya mengangguk. Ia meraih tangan kecil Ian, menggenggamnya pelan, lalu membawanya masuk ke dalam mobil Jayden.
Sepanjang perjalanan, Ian tak henti-hentinya mengoceh, matanya berbinar penuh rasa kagum melihat interior mobil mewah itu. Sesekali, bocah itu menempelkan wajahnya ke kaca, lalu kembali menoleh ke depan dengan semangat.
"Bagus banget om. Apakah mobil ini pernah rusak?"
“Pernah sekali ada orang yang nabrak mobil mahal Om,” ujar Jayden, nada suaranya datar tapi penuh sindiran. Tatapannya sekilas melirik ke arah Selina yang duduk kaku di sampingnya. “Tapi, orang itu malah menangis dan menolak ganti rugi.”
“Oh ya? Sangat tidak bertanggung jawab sekali. Kata Bu Guru, kalau kita melakukan kesalahan kita harus berani minta maaf dan bertanggung jawab. Itu namanya punya harga diri,” kata Ian.
Jayden tersenyum tipis. “Tahu tuh. Om juga sangat marah. Orang itu pergi begitu saja setelah bilang tidak punya uang buat ganti rugi.”
Selina menghela napas panjang. Ia tahu benar ke mana arah pembicaraan Jayden—sindiran yang lagi-lagi tertuju padanya.
“Sudah, jangan banyak bicara. Nanti tenggorokanmu sakit,” ucap Selina akhirnya, menoleh pada putranya dengan senyum lembut.
Ian menurut. Bocah itu mengangguk, lalu bersandar di kursi hingga tak lama mobil berhenti tepat di depan rumah besar Jayden.
Di balik pagar megah, seorang wanita paruh baya sudah menunggu dengan senyum ramah. Begitu mereka turun, Jayden langsung bersuara tegas.
“Jagain dia, Bi. Kalau dia mau makan, minum, atau butuh apa pun, layani.”
Selina berjongkok di hadapan putranya, memeluknya singkat. “Jangan nakal, ya. Mama cuma pergi sebentar kok,” katanya lembut. Ia tidak terlalu khawatir, karena Ian memang sudah benar-benar pulih.
Ian lekas dibawa masuk oleh Bi Imah. Bocah itu menurut saja, meskipun baru pertama kali bertemu dengan wanita paruh baya itu. Tatapannya sempat menoleh sebentar ke arah Selina, sebelum akhirnya menghilang di balik pintu rumah besar Jayden.
“Ayo, nanti kita telat,” kata Jayden memecah lamunan Selina yang masih menatap punggung kecil putranya.
Hampir tiga jam mereka habiskan di jalan hingga akhirnya mobil Jayden melintasi jalan-jalan kota Vienna. Malam sudah pekat, jarum jam menunjuk pukul delapan malam ketika mobil mewah itu berhenti di pelataran sebuah gedung megah, tempat resepsi pernikahan berlangsung.
Selina menghela napas panjang. Matanya terpejam rapat, mencoba menenangkan detak jantungnya yang semakin cepat. Untuk pertama kalinya setelah sekian tahun, kakinya kembali menapak kota ini. Kota yang menyimpan begitu banyak luka. Bayangan masa lalu menyeruak begitu saja, menyesakkan dadanya.
Jayden memperhatikan perubahan raut wajah Selina. Namun, alih-alih mengomentari, ia hanya diam. Lalu setelahnya turun dari mobil.
“Pak Jayden membawaku ke sini… sama saja membuka luka lamaku,” ucap Selina, lirih tapi cukup jelas terdengar.
Jayden memutar tubuhnya, menatap lurus pada wanita itu.
“Jika kamu terus terpaku dan mengingat masa lalu yang menyakitkan, maka kamu tidak akan pernah bisa bahagia,” ucapnya dingin tapi tegas.
“Kamu pasang wajah murung dan sedih seperti itu, sementara mantan suamimu sedang berbahagia dengan kehidupannya. Tunjukkan kalau kamu sudah lebih kuat, kalau kamu bisa berdiri tanpa dia. Untuk apa kamu menangisi dan terus mengingat hal-hal yang sudah lewat? Itu hanya akan membuatmu semakin hancur.”
padahal lembek