NovelToon NovelToon
Dinikahkan Diam-diam Dengan CEO

Dinikahkan Diam-diam Dengan CEO

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / CEO / Percintaan Konglomerat / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: nonaserenade

“Gue gak akan pernah sudi nerima lo sebagai suami gue!”

“Saya tidak keberatan, Maha. Bagaimanapun kamu tidak menganggap, saya tetap suamimu.”

“Sialan lo, Sas!”

•••

Maharani tidak pernah meminta untuk terlibat dalam pernikahan yang mengikatnya dengan Sastrawira, pewaris keluarga Hardjosoemarto yang sangat tenang dan penuh kontrol. Sejak hari pertama, hidup Maha berubah menjadi medan pertempuran, di mana ia berusaha keras membuat Sastra merasa ilfeel. Baginya, Sastra adalah simbol patriarki yang berusaha mengendalikan hidupnya.

Namun, di balik kebencian yang memuncak dan perjuangannya untuk mendapatkan kebebasan, Maha mulai melihat sisi lain dari pria yang selama ini ia tolak. Sastrawira, dengan segala ketenangan dan kesabarannya, tidak pernah goyah meski Maha terus memberontak.

Apakah Maha akan berhasil membuat Sastra menyerah dan melepaskannya? Atau akankah ada simfoni tersembunyi yang mengiringi hubungan mereka, lebih kuat daripada dendam dan perlawanan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nonaserenade, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

3. Karena Kamu Adalah Istri Saya

"Mau mampir ke restoran dulu?" tawar Sastra, mencoba mencairkan suasana, berpikir mungkin istrinya yang mungil itu sedang lapar.

Namun, Maha menggeleng dengan wajah yang jelas-jelas tidak bersahabat. "Pulang. Gue mau pulang!" jawabnya tegas, nada suaranya menunjukkan bahwa dia tidak ingin berkompromi.

"Ya sudah, nanti di rumah go food aja ya," ucap Sastra, tetap terlihat tenang.

Maha menghela napas panjang, merasa lelah dengan cara Sastrawira yang selalu berusaha berbicara lembut. "Berisik! Gue mending turun aja deh. Kepala gue pusing denger ocehan lo!" balas Maha dengan nada sensitif, meskipun Sastra baru saja mulai bicara lagi setelah beberapa waktu perjalanan yang sunyi.

Sastra memilih untuk tidak menanggapi lebih jauh, meski sesekali dia melirik Maha lewat kaca, menyadari betapa jelas ketidaknyamanan yang terpancar dari wajah istrinya.

Setelah sekitar lima belas menit berkendara dengan kecepatan sedang, mobil Sastra akhirnya sampai di pekarangan rumah Maha. Namun, pemandangan di depan rumah segera menarik perhatian mereka. Ada keributan yang cukup besar, dan Maha langsung keluar dari mobil untuk melihat apa yang sedang terjadi. Pandangannya langsung tertuju pada sebuah mobil polisi yang terparkir di depan rumahnya. Di ambang pintu, dia melihat ayahnya, Wirastama, dengan kepala tertunduk dan tangan terborgol. Serta para wartawan yang hadir untuk meliput penangkapan Wirastama.

"Papa..." Maha berteriak, suaranya pecah karena shock. Dia tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Pertanyaan-pertanyaan langsung membanjiri pikirannya, Apa yang terjadi? Kenapa papa ditangkap polisi?

Dengan langkah tergesa-gesa, Maha mendekati polisi yang sedang menggiring papanya. "Pak Polisi, kenapa tangkap Papa saya?" tanyanya dengan nada panik, hampir tidak bisa mengendalikan emosinya.

Salah satu polisi menoleh kepadanya, raut wajahnya serius. "Maaf, Dek. Ayah mu sedang diselidiki terkait dugaan penggelapan dana perusahaan."

Maha merasa bumi seakan runtuh di bawahnya. "Apa...penggelapan?" katanya nyaris berbisik, tidak bisa percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Wirastama menunduk, tidak kuasa mengangkat wajahnya untuk menatap putri bungsunya, dia sangat malu pada Maha.

Sementara itu, Sastawira berusaha menjaga Maha dari belakang. Maha memandang Sastra dengan mata yang berkaca-kaca, mencari pegangan dalam situasi yang terasa seperti mimpi buruk.

Polisi membawa Wirastama menuju mobil patroli, dan Maha hanya bisa melihat dengan putus asa. Perasaan tak berdaya menyelimuti dirinya, seolah dunia tiba-tiba runtuh. Sastra yang berdiri di sampingnya dengan cepat merangkulnya, berusaha memberikan rasa aman di tengah kekacauan yang baru saja meledak dalam hidup Maharani.

Belum selesai dengan penangkapan papanya, sebuah mobil lain berhenti di depan rumah. Kali ini, petugas dari pihak bank turun dengan wajah serius. Maha merasa semakin terhimpit saat salah satu dari mereka mendekat, membawa selembar surat yang tampak resmi. Media kembali menyoroti mereka dengan gila-gilaan.

"Kami dari pihak bank. Kami sangat menyesal harus memberi tahu Nona bahwa berdasarkan penyelidikan yang sedang berlangsung, ditemukan adanya penggelapan dana perusahaan yang melibatkan Pak Wirastama," ujar petugas bank dengan nada tegas.

Maha tertegun, jantungnya seakan berhenti sejenak mendengar berita ini. "Apa maksudnya? Apa hubungannya dengan rumah ini?" tanyanya, suaranya bergetar.

Petugas bank melanjutkan, "Sebagai akibat dari tindakan tersebut, seluruh aset atas nama Pak Wirastama termasuk rumah ini telah dibekukan dan akan disita sementara waktu hingga proses hukum selesai. Kami di sini untuk menyampaikan pemberitahuan resmi terkait hal itu."

Maha merasa seolah dunia runtuh di hadapannya. Bukan hanya ayahnya yang ditangkap, tetapi juga seluruh hartanya kini terancam hilang.

"Ini... tidak mungkin. Semua ini tidak benar..." Maha bergumam lemah, berusaha mencerna apa yang baru saja didengarnya.

Sastra mengeratkan pelukannya, "Maha, kita akan cari jalan keluar dari semua ini. Saya janji," ucapnya pelan, mencoba menenangkan Maha yang kini hampir limbung dalam pelukannya, tidak sadar dia berada dalam cengkraman Sastra.

Beberapa waktu bersiap-siap, akhirnya Maha selesai berkemas seluruh pakaian serta barang-barang kenangan dari almarhumah ibunya ke dalam koper, tanpa membawa sepeserpun harta benda bernilai uang yang turut disita oleh pihak bank.

Meski barang-barang yang Maha bawa tidak memiliki nilai materi, bagi Maha, kenangan bersama ibunya jauh lebih berharga dari segalanya. Dengan hati yang berat, ia meninggalkan rumah yang dulu penuh kehangatan, kini tak lagi memiliki apa-apa selain kenangan.

Akhirnya, Maha terpaksa ikut bersama Sastrawira dalam mobilnya. Dengan pikiran yang kacau dan perasaan yang campur aduk, Maha mencoba menghubungi kakaknya yang sedang berkuliah di luar negeri. Beberapa panggilan tidak diangkat hingga akhirnya, pada panggilan keenam, Saraswati baru mengangkat telepon dari adik bungsunya.

"Mbak, Papa ditangkap polisi," ucap Maha, suaranya bergetar sebelum akhirnya pecah dalam tangisan. Dia tidak peduli bahwa Sastra duduk di sampingnya, mendengar semua ini.

"Gue udah lihat beritanya di televisi. Papa bikin malu gue di sini, Maha. Tapi gue gak bisa biarin berita ini ngehancurin gue," jawab Saraswati dari balik telepon. Suaranya datar, tanpa ada tanda-tanda kesedihan.

"Lo gak sedih? Lo gak merasa kehilangan?" tanya Maha, tak percaya dengan respon kakaknya.

"Buat apa? Papa pantas masuk sel, dia kriminal, Maha."

"Gue tau Mbak, tapi dia tetep papa kita. Lo... Lo sadar gak sih lo tuh yang seharusnya paling sakit dan menderita denger papa kayak gini!" Maha memekik keras dari balik ponselnya, tidak percaya bahwa kakaknya bisa sekejam ini terhadap Wirastama, yang selalu menomorsatukan Saraswati dan melakukan segala upaya agar anak kebanggaannya itu selalu bahagia dan mendapatkan apa yang ia mau.

Sastra diam-diam menatap Maha dengan cemas, tapi tetap diam, membiarkannya menyelesaikan percakapan di telepon.

"Papa udah mengupayakan Lo masuk universitas terkenal disana dan ini balasan Lo kak? Setidaknya lo sedih kek, tapi...lo malah kayak gini. Gak tau terimakasih ya lo kak, udah ambil segalanya perhatian Papa dari gue dan sekarang lo kaya gini sama bokap lo sendiri? Gila lo Mbak!"

TUT...

Sambungan telepon diputus sepihak oleh Saraswati, membuat Maha berteriak frustrasi. Amarahnya memuncak, dan dia hampir saja membanting ponselnya ke lantai mobil jika tidak ditahan oleh Sastra yang sigap meraih tangannya.

"Sial! Lo jahat, Saras!" pekik Maha, suaranya penuh kemarahan dan kekecewaan. Dadanya naik-turun dengan cepat, menahan amarah yang begitu mendalam terhadap kakaknya sendiri, yang seharusnya bisa dia andalkan dalam situasi seperti ini.

Sastra tetap memegang tangannya dengan lembut, mencoba menenangkan Maha yang tengah dilanda badai emosi. "Maha, saya tau ini berat, tapi tenang dulu ya. Kita cari cara buat hadapi ini semua," ucapnya pelan, berharap bisa meredakan sedikit amarah yang berkecamuk dalam diri istrinya.

Namun, Maha hanya menatapnya dengan mata yang basah, dipenuhi dengan kekecewaan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. "Gue cuma punya Papa, Sastra... dan sekarang... semuanya hilang..." Suaranya melemah, berubah menjadi bisikan putus asa.

"Masih ada saya, Maha. I will protect you, I promise."

Sadar Maharani hampir melemahkan dirinya masuk kedalam perangkap om-om pedo ini, akhirnya dia melepaskan tangannya kasar dari genggamannya dan menjauhkan diri dari Sastrawira.

"Lo berusaha ngambil kesempatan dalam penderitaan gue ya? Gue gak se-bego itu Sastra!" Maha berusaha keluar dari mobil Sastra, namun pintunya sudah dikunci dari dalam.

"Saya tidak bermaksud seperti itu, kamu istri saya Maha. Tidak ada kesempatan dalam penderitaan yang coba saya renggut, ayahmu sudah mempercayakan tanggung jawabnya pada saya, maka saya harus menjaga dan melindungi kamu sebaik-baiknya."

Maha menutup telinga nya, tidak ingin mendengar ucapan sok dari Sastra yang berusaha meruntuhkan pertahanan Maharani.

"Buka pintunya Sastra!" Pekiknya lebih keras dari sebelumnya.

Sastra menatap Maha dengan kesedihan yang nyata di mata istrinya, dia tetap menahan diri untuk tidak membuka pintu. "Maha, dengar dulu. Saya hanya ingin memastikan kamu aman. Saya tahu kamu marah, tapi saya di sini bukan untuk memanfaatkan situasi ini. Saya suami kamu, dan itu artinya saya punya tanggung jawab untuk melindungi kamu, terutama sekarang."

Maha menatap Sastra dengan kemarahan yang sulit dibendung, tangannya gemetar saat berusaha membuka pintu yang terkunci. "Gue gak butuh lo, Sastra! Gue bisa urus hidup gue sendiri! Lo bukan pahlawan gue dan lo gak perlu pura-pura peduli!"

Sastra menghela napas, menahan diri agar tidak membuat wanita ini semakin marah. "Saya peduli, Maha. Karena kamu adalah istri saya."

Maha menggigit bibirnya, air mata kembali menggenang di matanya. Dia merasa terpojok, bingung antara rasa marah, takut, dan putus asa. "Lo gak ngerti, Sastra. Lo gak akan pernah ngerti!" serunya, suaranya pecah.

"Gue mau lo buka pintunya sekarang!!" Maha semakin berteriak keras, nyaris menyakiti pita suaranya.

Sastrawira membuka kunci pintu mobilnya, akhirnya membiarkan Maha keluar jika dia mau. "Kalau kamu tetap mau keluar, saya tidak akan tahan kamu lagi. Tapi saya tidak akan biarin kamu sendirian."

Maha menatap pintu yang sekarang bisa dibuka, namun dia ragu-ragu. Bagian dari dirinya ingin lari, tapi bagian lain merasa takut akan kehidupan seperti apa yang akan ia jalani kedepannya.

Akhirnya, Maha keluar dari mobil Sastra, langkah kakinya tak tentu arah, berjalan terhuyung-huyung sambil menarik koper besar. Dia tampak seperti anak sekolah yang baru saja diusir oleh orang tuanya.

Miris. Hidupnya miris.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!