Harin Adinata, putri kaya yang kabur dari rumah, menumpang di apartemen sahabatnya Sean, tapi justru terjebak dalam romansa tak terduga dengan kakak Sean, Hyun-jae. Aktor terkenal yang misterius dan penuh rahasia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mae_jer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Harin menatap Hyun-jae dengan wajah pucat pasi.
"Oppa bilang apa?!" suaranya meninggi, serak habis menangis. Matanya masih bengkak
"O-oppa mau ke tempat kerjaku sekarang? Nggak, nggak mau. Aku belum siap! Aku belum mikir gimana cara jelasin dan belum punya duit buat bayar rugi. Masa aku jual ginjal."
Hyun-jae tersenyum tapi lebih terlihat seperti dengusan kecil. Gadis ini sungguh menarik dengan segala tingkah random dan cerobohnya.
"Kau tidak bisa menghindar dari masalah yang kau buat. Kalau kau menghindar hari ini, kau akan langsung di tuntut. Tunjukkan jalannya, Harin."
"Tapi Oppa…" Harin menatapnya, suaranya lirih,
"Aku takut di marahin, diteriakin, di bilang penipu. Apalagi ini hari pertama aku kerja.
"Aku bilang tunjukkan jalannya." nada Hyun-jae kali ini lebih rendah, penuh tekanan. Tidak ada ruang untuk perdebatan.
Harin menutup wajah dengan kedua tangannya, menahan tangis lagi. Lalu, dengan berat hati ia mengangkat telunjuknya ke arah jalan keluar.
"Lewat sini. Dua blok lagi belok kiri… nanti ada ruko kecil warna oranye, itu kantornya."
Sopir segera mengikuti petunjuk Harin. Sepanjang perjalanan, jantung Harin berdegup cepat. Tangannya berkeringat, menggenggam ujung tas delivery kosong yang tadi jatuh. Ia ingin sekali kabur, lompat keluar dari mobil, berlari entah ke mana. Tapi tatapan tajam Hyun-jae menahannya seperti belenggu.
Tak lama kemudian, mobil berhenti di depan sebuah ruko sederhana dengan papan nama kusam bertuliskan Joko Delivery. Lampu di depan sana berkelip, menambah muram suasana.
Harin langsung menunduk. Ia tetap diam di tempatnya, tidak berani masik.
Hyun-jae menoleh perlahan, lalu menyunggingkan senyum samar. Ia meraih topi hitam dari jok belakang, mengenakannya. Lalu ia memasang masker hitam dan kacamata gelap. Transformasi singkat itu membuatnya nyaris tak dikenali. Hari yang mulai gelap membantu penyamarannya.
"Ayo turun, aku akan menemanimu masuk."
Harin menatapi penampilan Hyun-jae, terpaku sebentar, tapi kemudian menggeleng menolak turun.
"Nggak mau, nggak berani. Jantungku lemah, kalau diteriakin terus pingsan gimana?" katanya mencari-cari alasan.
"Aku bilang ayo turun," tangan besar Hyun-jae terulur, menarik pergelangan tangan Harin dengan tegas.
Mau tidak mau, Harin melangkah turun dengan terpaksa, menyeret kakinya seperti orang yang berjalan menuju eksekusi.
Begitu mereka masuk, aroma minyak goreng bercampur plastik menyambut. Di dalam, seorang pria setengah baya dengan perut buncit dan wajah masam duduk di belakang meja. Matanya langsung melebar begitu melihat Harin.
"Kau!" suaranya meledak.
"Baru hari pertama kerja sudah bikin masalah besar! Kenapa pesanannya tidak sampai-sampai? pelanggan menelpon ke sini sambil marah-marah, kau sebenarnya niat kerja atau tidak sih?!"
Harin langsung menunduk, tubuhnya gemetar.
"M-maaf, pak. Aku …" ia berdiri takut-takut dan mendempetkan dirinya di sebelau Hyun-jae. Tangannya melingkar di lengan kekar pria itu. Makhlum, dia perempuan yang terlahir dari keluarga berada, papanya bahkan tidak pernah berbicara dengan nada setinggi itu padanya. Hari beberapa bulan ini mereka cekcok karena sang papa menikah lagi bahkan ingin menjodohkan dia.
Hyun-jae yang berdiri di sampingnya menatap tenang. Ia lalu melangkah maju, suaranya dalam dan mantap meski tertutup masker.
"Motor, mana motorku?!" Tanya si bos.
Harin tidak menatap lelaki tua itu, ia justru mendongakkan wajah ke Hyun-jae seolah meminta pertolongan.
"Motornya hilang di curi orang."
pria itu yang mewakili Harin bicara. Si bos yang mendengar melotot lebar, wajahnya keliatan mau meledak karena amarah.
"Apa?!"
"Jangan khawatir, aku akan bertanggungjawab untuknya. Berapa kerugian semuanya?"
Harin heran tidak percaya ketika Hyun-jae mengatakan kalimat itu. Bos itu juga menoleh, heran dengan pria asing yang berpenampilan misterius. Tapi dari pakaiannya, ia terlihat seperti orang kaya. Ia sedikit lebih lega mendengar kata ganti rugi. Pria paruh baya itu menatap Hyun-jae dan Harin bergantian. Aneh, kalau punya pacar sekaya itu kenapa dia harus kerja?
"Aku yang akan tanggung jawab. Sebutkan saja angkanya." ucap Hyun-jae lagi, suaranya tetap datar.
"Tiga puluh juta."
Harin melotot. Tiga puluh juta itu nggak sedikit. Emang harga motor butut yang dia pakai tadi segitu mahalnya? Kayaknya nggak deh.
Dia mau angkat suara keberatan, tapi Hyun-jae sudah mengeluarkan dompet tipis dari jaketnya, lalu mengambil kartu platinum. Ia meletakkannya di atas meja.
"Gesek sekarang. Anggap lunas."
Bos itu melongo. Kartu mahal, platinum berkilat, jelas bukan milik orang sembarangan. Dengan terbata ia mengambilnya, lalu bergegas ke mesin EDC. Transaksi berjalan mulus.
"Su-sudah masuk, pak." kata kasir yang membantu. Ia juga sering mencuri-curi pandang ke Hyun-jae seperti ingin mencari lihat seperti apa wajahnya. Seperti dia kenal.
Bos itu menatap Hyun-jae dengan campur aduk antara lega dan kagum.
"Kalau begitu, selesai. Anak ini …" ia menunjuk Harin,
"Aku pecat! Aku tak butuh pekerja ceroboh!"
Harin menggigit bibir, ia sudah pasrah. Hyun-jae angkat suara.
"Dia memang tidak cocok bekerja di sini. Tempat seperti ini bukan untuknya." setelah mengatakan itu Hyun-jae menarik tangan Harin keluar dari sana.
Lelaki tua buncit itu menggaruk kepalanya keterangan sekaligus bingung. Anak jaman sekarang memang aneh-aneh.
Sementara itu, Harin masih diam seperti orang bodoh. Bahkan begitu mereka sudah tiba di dalam mobil. Sampai mobil itu berjalan, ia masih diam, duduk di sebelah Hyun-jae sambil terus menatap laki-laki itu dengan ekspresi bengong. Pria itu sudah melepaskan topi, kacamata dan masker hitamnya. Ia tenang sekali seperti tidak terjadi apa-apa.
"Oppa, kenapa mau bantuin aku? Kita kan baru kenal."
Hyun-jae menoleh ke samping, menatapnya.
"Aku tidak membantumu dengan gratis." katanya.
Alis Harin terangkat.
"Mulai besok kau akan bekerja sebagai asistenku."
"Hahh?!"