"Setelah bertahun-tahun diabaikan dan diperlakukan tidak adil oleh keluarganya sendiri, senja Aurelie Wijaya anak kandung yang terlupakan memutuskan untuk bangkit dan mengambil alih kendali atas hidupnya. Dengan tekad dan semangat yang membara, dia mulai membangun dirinya sendiri dan membuktikan nilai dirinya.
Namun, perjalanan menuju kebangkitan tidaklah mudah. Dia harus menghadapi tantangan dan rintangan yang berat, termasuk perlawanan dari keluarganya sendiri. Apakah dia mampu mengatasi semua itu dan mencapai tujuannya?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ariyanteekk09, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 12
“Nja, jadi lo ikut balapan nanti malam?” tanya Dinda, suaranya bersemangat.
Senja menggigit bibirnya, ragu. “Gue belum tau, Din. Eyang gue kan ada di rumah, jadi gue nggak bisa pergi malam sesuka hati lagi.”
Nadira mengangguk mengerti. “Nanti kabarin gue kalau lo mau ikut. Biar kita bisa datang langsung ke tempatnya.”
Dari balik pintu kelas, Hendra memperhatikan ketiga gadis itu. Kalimat “balapan liar” dan nama Senja menyatu dalam benaknya. Senja? Gadis pendiam yang selalu di rumah itu? Mustahil! Keraguan menggerogoti pikirannya. Hendra beringsut pergi, diam-diam, menyimpan rasa penasaran yang membuncah.
“Lo mau kemana habis ini, Nja? Mau pulang atau mampir kemana dulu?” tanya Dinda.
Senja menghela napas. “Maunya sih mampir ke rumah gue, liat motor-motor gue yang lagi dimodifikasi. Tapi kalau gue telat pulang, Oma pasti terus-terusan hubungin gue. Jujur, gue males banget pulang ke rumah itu.”
Mentari mulai tenggelam. Pelajaran tambahan telah usai. Sekolah tampak sunyi dan sepi.
“Pulang sana, kayaknya mau hujan nih,” usir Nadira.
Senja tertawa kecil, menakut-nakuti kedua sahabatnya. “Kok ngusir? Emang kalian nggak mau pulang? Lihat, sekolah udah sepi banget, nanti ada hantu yang berkeliaran!” Ia langsung masuk ke mobilnya.
Nadira dan Dinda buru-buru menyusul, meninggalkan sekolah yang semakin gelap. Senja tertawa renyah, menginjak pedal gas, meninggalkan dua sahabatnya yang masih sedikit ketakutan.
“Nek, aku mau pulang dulu. Udah sore, nanti aku dicari sama orang tua kalau pulang telat,” pamit Caca pada neneknya, Nunung.
Nunung menatap Caca dengan tatapan waspada. “Ya, cepatlah pulang. Ingat pesan nenek, jangan gegabah mulai sekarang, apalagi Helena ada di rumah.”
Caca mengangguk patuh, memberikan beberapa lembar uang kepada neneknya. Di balik sikapnya yang polos dan penurut, Caca menyimpan rahasia besar. Selain uang dari Rudy, pacarnya, ia juga mendapat uang dari “sugar daddy”. Ia bekerja sebagai sugar baby, sebuah rahasia yang hanya diketahui neneknya.
Caca menginjak pedal gas, membawa mobilnya dengan kecepatan tinggi. Bayangan Helena, yang galak, menghantuinya. Ia harus cepat sampai rumah, menghindari omelan dan amarah Helena.
“Gue harus cepat sampai rumah supaya nggak kena semprot sama nenek tua itu!” gumamnya, suara penuh ketakutan.
Mentari perlahan tenggelam, meninggalkan jejak warna jingga dan merah muda di langit Mataram. Senja dan Caca tiba di rumah megah keluarga Wijaya, sebuah bangunan bergaya kolonial yang berdiri kokoh di tengah kota. Suasana haru senja itu langsung berubah menjadi tegang saat Senja keluar dari mobilnya. Tatapan Caca tajam, menusuk.
"Kenapa kau masih kesal dan marah? Karena mobilku tak lagi milikmu seperti dulu?" ejek Senja, nada suaranya bercampur sindiran dan kemenangan. Ia menatap Caca dengan penuh superioritas. "Aku sudah bilang, kau tak bisa menyaingiku dalam hal apa pun."
Caca mengepalkan tangannya, amarah membara di matanya. "Lihat saja, mobil itu akan tetap jadi milikku! Dan aku akan mengusirmu dari rumah ini. Aku, Caca Wijaya, satu-satunya putri keluarga Wijaya!" teriaknya, suaranya lantang menggema di halaman rumah.
Senja tertawa kecil, suaranya menusuk seperti duri. "Oh ya? Selama ini Tuan Rudy tak pernah memperlihatkan putrinya ke publik. Jangan bermimpi terlalu tinggi, Caca. Nanti kalau jatuh, sakitnya bukan main."
Caca mengayunkan tangannya, hendak menampar Senja. Namun, gerakannya terhenti. Mata Caca membulat sempurna saat melihat Sekar, ibunya, keluar dari pintu rumah. Ekspresi wajah Sekar yang lembut dan penuh kasih sayang langsung membuat Caca mengubah taktiknya.
"Maaf, Nja," ucap Caca, suaranya tiba-tiba berubah menjadi lirih, penuh penyesalan yang dibuat-buat. "Silakan masuk dulu. Aku akan menyusul."
"Ratu drama," gumam Senja, lalu masuk ke dalam rumah tanpa menoleh. Ia melihat ibunya dengan tatapan penuh kasih sayang.
"Kamu baru pulang, sayang," kata Sekar dengan suara lembut, menyapa Senja. "Ayo masuk. Mami sudah menyiapkan makanan kesukaanmu."
Sekar sama sekali tidak menggubris Caca yang masih terpaku di tempatnya terjatuh lebih tepatnya tempat dia menjatuhkan dirinya. Ia membiarkan Caca menikmati dramanya sendiri.
Senja mengerutkan kening. "Mami, kenapa tidak menolong Caca? Dia jatuh, Mami."
Sekar tersenyum, matanya berkaca-kaca. "Tidak perlu, sayang. Biarkan saja. Yang perlu kamu tahu, dia bukan anak kesayanganku. Kamu, anak kesayanganku. Mami sudah sadar sekarang. Maafkan Mami, ya." Sekar memeluk Senja erat, air matanya mengalir deras.
"Mami tidak usah menangis, aku tidak apa-apa kok. Aku anak yang kuat," balas Senja, membalas pelukan ibunya. Mereka berdua masuk ke dalam rumah, meninggalkan Caca yang masih terdiam di halaman.
Caca menggeram kesal. "Apa? Mami tidak menolongku? Malah masuk bersama Senja? Ini tidak bisa dibiarkan! Aku harus tetap menjadi kesayangan Mami Sekar!" Ia bangkit, wajahnya memerah menahan amarah, lalu bergegas masuk ke dalam rumah, bertekad untuk merebut kembali kasih sayang ibunya.
Tiba di dalam rumah mewah bergaya Eropa itu, Helena, nenek Senja, langsung menjewer telinga Senja dengan kesal. "Senja Aurelia Wijaya! Kenapa kamu baru pulang jam segini? Kemana saja kamu seharian?" suaranya lantang, bergema di ruang tamu yang luas.
"Aku tidak keluyuran, Eyang Mommy," bantah Senja, berusaha melepaskan jepitan tangan Helena.
"Tapi apa, Senja? Kakak kembarmu sudah pulang sejak siang, kamu malah pulang sore!" Helena memotong pembicaraan Senja, suaranya masih keras.
"Astaghfirullah, Eyang Mommy! Dengar dulu penjelasan saya!" Senja sedikit meninggikan suaranya, berusaha agar neneknya mendengarkan. "Aku pulang terlambat karena ada jam tambahan dari guru. Kalau Eyang tidak percaya, tanya saja kepada mereka." Senja menunjuk ke arah Radit dan Galih., saudara kembarnya yang duduk di sofa, mengamati pertengkaran tersebut dengan tenang.
"Benar itu, Eyang Mommy," kata Radit, menguatkan penjelasan Senja. "Kami tahu karena salah satu teman kami satu kelas dengan Senja." Galih mengangguk setuju.
Helena melepaskan jepitan tangannya dari telinga Senja. "Oh, begitu. Maafkan Eyang, kalau begitu." Helena memeluk Senja erat, menunjukkan rasa sayangnya.
Senja melepaskan pelukan Helena, lalu pamit untuk naik ke atas membersihkan diri. Meskipun sudah dimaafkan, sikap dingin Senja masih terpancar jelas. Hanya kepada Helena dan Surti, pembantu rumah tangga yang sudah lama bekerja di keluarga Wijaya, Senja menunjukkan sedikit kelembutan. Ia masih menyimpan jarak dengan anggota keluarganya yang lain.
"Radit, Galih, besok setelah pulang sekolah, antar Eyang Mommy ke supermarket," perintah Helena, nenek dari ketiga cucu tersebut, suaranya tegas namun lembut.
"Siap, Eyang! Tapi belikan kami cemilan yang banyak, ya!" pinta Galih, mata berbinar penuh harap.
"Bagaimana kalau kita ke mal saja, Eyang? Mumpung Eyang Mommy di sini, kita puas-puasin belanja," usul Senja, suaranya terdengar lebih ceria daripada biasanya. Ia ikut bergabung dengan keluarga di ruang tamu, kehadiran Helena sepertinya sedikit mengubah suasana hatinya. Jika Helena tidak ada, Senja pasti akan memilih berdiam diri di kamarnya.
"Boleh juga. Oke, besok kita ke mal," putusnya Helena, setuju dengan usul Senja.
Tiba-tiba, ponsel Senja berdering, sebuah pesan masuk dari Nadira, temannya, menanyakan apakah Senja akan ikut balapan liar malam ini.
"Eyang, aku boleh keluar malam ini?" tanya Senja, nada suaranya sedikit gugup.
"Mau kemana kamu?" Helena menatap Senja dengan pandangan curiga.
"Mau ikut balapan, hadiahnya gede, loh," bisik Senja di telinga Helena, suaranya hampir tak terdengar.
"Apa Senja? balapan liar? Jadi, kamu masih ikut balapan sampai sekarang? Bukannya kamu bilang sudah tidak lagi?!" Helena tiba-tiba berteriak, suaranya menggema di ruang tamu.
Semua orang di sana terkejut. Mereka tidak menyangka bahwa Senja, cucu kesayangan Helena yang terlihat pendiam dan kalem, ternyata seorang pembalap liar.
Senja menepuk jidatnya. Rahasianya terbongkar. Kini, semua orang tahu bahwa ia masih terlibat dalam balapan liar. Ekspresi wajahnya bercampur antara malu dan menyesal.