Agatha Aries Sandy dikejutkan oleh sebuah buku harian milik Larast, penggemar rahasianya yang tragis meninggal di depannya hingga membawanya kembali ke masa lalu sebagai Kapten Klub Judo di masa SMA.
Dengan kenangan yang kembali, Agatha harus menghadapi kembali kesalahan masa lalunya dan mencari kesempatan kedua untuk mengubah takdir yang telah ditentukan.
Akankah dia mampu mengubah jalan hidupnya dan orang-orang di sekitarnya?
cover by perinfoannn
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noveria, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mom
(Tragedi yang terjadi di masa lalu Agatha dan Larast di hari yang sama)
Tepatnya, 5 Januari 2005.
Agatha mengencangkan ikat pinggang judogi nya. Nafasnya pendek-pendek, beradu dengan gemuruh penonton dari SMA-nya dan SMA lawan.
Final Turnamen Judo Nasional tingkat SMA. Bukan hanya gelar juara yang dipertaruhkan, tapi juga janji pada Ibunya, janji seorang pemenang. Sebuah janji yang terasa berat di pundaknya, namun menjadi bahan bakar semangatnya.
Peluit berbunyi, memecah ketegangan. Di hadapannya, bukan sekadar lawan, tapi monster dari SMA B. Seringai meremehkan terukir di wajahnya, seolah merendahkan sekolah dan impian Agatha. Mata Agatha menyipit, tatapannya tajam mengunci lawannya. Dia tidak akan membiarkan lawannya meremehkannya.
Pertarungan dimulai dengan brutal. Lawan mengandalkan kekuatan, mencoba membanting Agatha dengan teknik kasar.
Namun, Agatha bergerak lincah bagai elang di atas matras, kelincahannya menjadi senjata mematikan.
Dia menghindari setiap serangan dengan ketenangan, lalu membalas dengan serangan cepat dan tepat, menghantam lawannya tanpa ampun.
Di balik gemuruh sorak sorai, tragedi membara. Api melalap rumahnya, membuat Ibunya terjebak dalam kobaran api. Kobaran api yang menjulang tinggi seolah menelan semua harapan dan kebahagiaan Agatha.
Peluit terakhir berbunyi, simbol kemenangan melingkar di leher Agatha. Sebuah medali emas yang akan dibawa pulang dan ditunjukkan pada Ibunya. Air mata haru membasahi pipinya. Dia berhasil! Dia menepati janjinya!
Namun, saat tiba di rumah, Agatha hanya melihat puing-puing dan abu sisa kebakaran. Jantungnya berdegup kencang, nafasnya tercekat. Dia berlari mendekat, "Hah? Bagaimana ini terjadi?"
Dering ponsel memecah kebingungannya. Ayahnya meminta Agatha untuk ke rumah sakit saat itu juga. Nada bicaranya terdengar aneh, seperti menyembunyikan sesuatu.
Agatha berlari dengan kencang menuju halte, pergi ke rumah sakit. Pemikiran hal terburuk berulang kali terbesit, namun dia mencoba untuk mengalihkan dengan pemikiran lain. Dia tidak boleh berpikir negatif. Ibunya pasti baik-baik saja.
“Tidak mungkin, ini hanya prasangka ku,” gumamnya, mencoba menenangkan dirinya sendiri.
Tiba di rumah sakit, Agatha segera menghubungi Ayahnya kembali. Ayahnya menjemput di lobby dan mengantarkan Agatha ke ruang jenazah. Di mana ibunya telah berbaring untuk selamanya.
Air mata Agatha langsung tumpah, dadanya sesak. Dia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ibunya terbaring kaku, wajahnya pucat pasi.
“Kenapa Ayah tidak memberitahuku sebelumnya?!” teriak Agatha dengan kesal, suaranya bergetar.
Ayahnya tertunduk dengan wajah yang pucat, bahunya bergetar menahan tangis.
Agatha menarik kedua bahu Ayahnya dengan kuat. “Katakan! Setidaknya… aku ada,” Air mata turun, Agatha mengusap wajahnya dengan kasar. Merasa kesal dengan Ayahnya yang hanya diam. Dia ingin mendengar penjelasan dari Ayahnya.
“Setidaknya aku ada sebelum ibu tiada!” teriak Agatha, hatinya hancur berkeping-keping.
“Ibumu melarang Ayah,” ucap Ayahnya mengangkat kepalanya, matanya merah dan bengkak. “Ibumu tahu itu impianmu, dan waktunya tidak banyak. Ayah…,” jawaban itu tercekat tak berujung. Ayahnya tidak sanggup melanjutkan kata-katanya.
Agatha memeluk tubuh Ibunya yang dingin, “Ibu, bangun! Aku bawakan medali. Ibu ingin ini, kan! Lihat, Ibu!” teriak Agatha, suaranya pecah karena tangis. Dia mengguncang tubuh Ibunya dengan harapan Ibunya akan bangun.
“Ibuuuu!”
Medali emas itu tidak berarti, tidak mampu menukar nyawa ibunya untuk kembali bernafas. Medali itu kini terasa seperti beban berat yang menghimpit dadanya. Kemenangan itu terasa hampa tanpa kehadiran Ibunya.
Peristiwa itu membawa Agatha untuk memenuhi impian terakhir Ibunya. Membawanya dengan jas putih dan menyandang gelar Dokter.
Melupakan Judo dan pertarungan.
Sementara, impian lainnya juga tenggelam.
Selepas pulang sekolah seperti biasa Larast bekerja di sebuah Restoran mulai pukul 3 sore hingga 11 malam.
Hal itu dilakukannya untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari dan membayar biaya sekolahnya.
Dia tinggal bersama dengan Ibunya yang seorang tunawicara dan kakak laki-lakinya yang menjadi beban.
Pekerjaannya di bagian dapur sebagai pencuci piring. Di tempat itulah, selain dia mendapatkan uang dia juga bisa menyimpan sisa makanan dari satu piring ke piring lainnya.
Beberapa pengunjung Restoran, rata-rata hanya menikmati makanan satu dan tiga suap. Setelah itu mereka akan singkirkan dan menikmati makanan lainnya.
Larast akan memilih sisa makanan yang masih layak, lalu ia kumpulkan dalam plastik untuk dibawa pulang.
Gajinya sebagai pencuci piring hanya mampu untuk membayar uang sewa rumah dan uang sekolah. Jika beruntung dia masih bisa menyimpan sisa uang untuk membelikan vitamin dan obat untuk ibunya. Jika sial, maka uang itu biasanya akan diambil kakaknya diam-diam. Menggeledah rumah seperti pencuri untuk mengambil uangnya, lalu kabur dan kembali hanya untuk melakukan hal itu lagi.
Malam itu langkahnya gontai berjalan ke arah rumahnya. Tubuhnya lemas, karena hari ini Restoran banyak pengunjung dan dia belum sempat menikmati makan malam.
Sekantong plastik berisi lauk sisa di bawanya.
Saat langkahnya hampir mendekat ke pagar, suara pecahan kaca terdengar. Membuat Larast panik dan segera berlari masuk kedalam rumah.
Di sana, dia melihat kakaknya sedang menodongkan pecahan kaca kepada Ibunya.
“Apa yang kau lakukan?” teriak Larast.
Kakaknya dengan tatapan tajam seperti monster beralih menodongkan pisau ke arahnya.
“Berikan aku uang, cepat!” gertak kakaknya, kemudian menarik tas Larast dan menuangkan semua isi tas Larast. Hingga buku-buku dan peralatan sekolah lainnya berhamburan.
“Aku tidak punya uang!” gertak Larast balik.
“Jangan bohong, bocah sialan! Kau bekerja, dan pasti punya uang!” Kakaknya mencengkram dagu Larast, meninggalkan sayatan kecil.
Ibunya yang bisu, mencoba mencegah perbuatan anak laki-lakinya. Memukul tubuh anak laki-lakinya dengan sekuat tenaga.
“A.. a..” hanya itu yang bisa keluar dari mulut Ibunya.
“Diam! Aku butuh uang!” Kakaknya menendang tubuh Ibunya dengan kuat.
Membuat kepala Ibunya terbentur di lemari. Tanpa mereka ketahui, ada sebuah paku menancap di lemari tersebut. Hingga membuat kepala bagian belakang Ibunya tertusuk dan mengeluarkan darah.
Darah perlahan menggenang di lantai. Membuat kakaknya Larast panik.
“Ah, sialan!” gerutunya lalu meninggalkan rumah.
“Ibuuuuuu!” teriak Larast dengan kuat.
Alasan hidupnya selama ini hanya satu, menjaga Ibunya. Namun, malam itu Larast sudah tidak memiliki tujuan hidup lagi.
Kematian Ibunya bagaikan kematian sebagian jiwanya. Hidupnya mulai tidak jelas, dia keluar dari sekolah dan kehilangan semangat.
Meninggalkan kebiasaannya untuk melewati Gymnasium, hanya untuk mengamati Aries dari kejauhan.
“Aku akan selalu menjadi penggemarmu, sampai kapanpun, Aries.”
Larast hanya melarikan diri dari satu tempat ke tempat lainnya, untuk keluar dari cengkraman kakaknya yang hanya menginginkan uang darinya.
⚔️⚔️⚔️⚔️⚔️⚔️⚔️
Kembali ke masa dimana keduanya mengulang takdir.
2 Bulan Sebelum Tragedi.
Saat ini, dengan nafas terengah-engah. Agatha membuka pintu rumah.
Aroma uap masakan memenuhi rumah, Agatha melempar tasnya. Kemudian berjalan menuju dapur.
“Kamu sudah pulang sekolah?”
Senyum itu dapat Agatha lihat kembali. Agatha memeluk Ibunya dari belakang tanpa rasa malu dan canggung. Menyembunyikan air mata kerinduan hanya mengumpul sampai di pelupuk. Tidak dibiarkan, Ibunya tahu jika dia menangis.
“Ibu.”
“Astaga, kamu buat masalah lagi? Bertengkar lagi? Kan, Ibu sudah bilang daripada kekuatan otakmu untuk memikirkan cara bertarung, kamu gunakan untuk belajar.”
“Omelan Ibu, hal yang paling aku rindukan selama 20 tahun.” batin Agatha.
Bersambung.
Akankah kesempatan kedua ini, dapat mengubah takdir Larast dan Agatha?
eh itu jmnya nyla lgi sprt waktu dia mau pergi ke masa lalu ya .
ada apa iti?