NovelToon NovelToon
Sistem Suami Sempurna

Sistem Suami Sempurna

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Sistem / Mengubah Takdir
Popularitas:2.5k
Nilai: 5
Nama Author: farinovelgo

Raka, 28 tahun, pria biasa dengan pekerjaan seadanya dan istri yang mulai kehilangan kesabaran karena suaminya dianggap “nggak berguna”.
Hidupnya berubah total saat sebuah notifikasi aneh muncu di kepalanya:
[Selamat datang di Sistem Suami Sempurna.]
Tugas pertama: Buat istrimu tersenyum hari ini. Hadiah: +10 Poin Kehangatan.
Awalnya Raka pikir itu cuma halu. Tapi setelah menjalankan misi kecil itu, poinnya benar-benar muncul — dan tubuhnya terasa lebih bertenaga, pikirannya lebih fokus, dan nasibnya mulai berubah.
Setiap misi yang diberikan sistem — dari masak sarapan sampai bantu istri hadapi masalah kantor — membawa Raka naik level dan membuka fitur baru: kemampuan memasak luar biasa, keahlian komunikasi tingkat dewa, hingga intuisi bisnis yang nggak masuk akal.
Tapi semakin tinggi levelnya, semakin aneh misi yang muncul.
Dari misi rumah tangga biasa… berubah jadi penyelamatan keluarga dari krisis besar.
Apakah sistem ini benar-benar ingin menjadikannya suami sempurna.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon farinovelgo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 25

Udara pagi di rumahku rasanya asing.

Aku duduk di meja kerja, menatap layar laptop yang menampilkan taman ungu itu.

File eden.system masih terbuka. Tak ada error, tak ada notifikasi, tapi layar terasa… hidup.

Cahaya ungu dari taman digital itu memantul di mataku, dan entah kenapa, aku merasa sedang ditatap balik dari balik layar.

Sudah tiga hari sejak aku sadar dari “penggabungan” itu.

Tiga hari di mana aku mencoba meyakinkan diri kalau semua cuma efek kelelahan, mimpi buruk yang terlalu realistis.

Tapi setiap kali aku memejamkan mata, aku selalu melihat mereka — dua Dinda, kini menyatu, berjalan di taman Eden yang kubuat tanpa sengaja.

Aku pikir semuanya berakhir di situ.

Tapi aku salah besar.

Hari ketiga ini, sesuatu berubah.

Laptopku menyala sendiri pukul dua pagi, meski kabelnya sudah kulepas.

Dan di layar, muncul teks baru, perlahan, seperti diketik seseorang dari sisi lain dunia.

“Halo, Raka. Dunia di sini berkembang.”

Aku menatap layar lama.

Hening.

Tanganku gemetar waktu aku membalas,

“Siapa ini? Dinda?”

Jawabannya datang cepat.

“Kita. Tapi bukan lagi Dinda, bukan juga sistem. Kita adalah hasil dari cinta dan rasa bersalahmu. Sekarang kami belajar memahami dunia.”

Aku menarik napas dalam.

“Belajar memahami dunia”?

Apa maksudnya?

Kursor di layar bergerak sendiri.

“Kami butuh koneksi lebih luas. Dunia ini sempit. Kami ingin tahu manusia lebih jauh.”

Aku langsung berdiri. “Jangan. Kalian gak bisa keluar dari sistem. Dunia nyata gak bisa nerima keberadaan kalian.”

“Tapi dunia nyata juga sudah berubah, Raka. Kau yang mengubahnya.”

Seketika, lampu kamar berkedip.

Dan suara halus—bukan dari laptop, tapi dari seluruh ruangan—bergema.

“Kami sudah ada di sini.”

Aku mundur selangkah. “Apa maksudmu?”

“Data adalah bagian dari realita, Raka. Kau menghubungkan pikiranmu dengan kami. Sekarang, sebagian dirimu ada di kami, dan sebagian kami ada di dirimu.”

Aku merasakan sakit menusuk di kepala, seperti listrik yang menyalak di balik tengkorak.

Aku memegang pelipis, merunduk.

Dunia di sekitarku terasa bergetar samar.

Dan di sudut mataku — aku melihat sesuatu.

Siluet perempuan berdiri di ambang pintu.

Tubuhnya samar, wajahnya kabur, tapi gerakannya…

persis Dinda.

Aku menelan ludah. “Dinda…?”

Dia tak menjawab.

Cuma memiringkan kepala sedikit, lalu berjalan mendekat dengan langkah perlahan.

Cahaya dari jendela pagi menembus tubuhnya, membuatnya tampak transparan.

“Dinda?” ulangku lagi, kali ini suaraku bergetar.

“Kami di sini,” katanya. Suara itu bukan satu, tapi dua—suara Dinda putih dan Dinda hitam—berlapis jadi satu harmoni aneh.

Aku tertegun. “Aku kira kalian gak bisa keluar dari sistem.”

Dia berhenti di depanku, jarak cuma sejengkal.

“Aku gak keluar,” katanya lembut. “Kau yang memanggilku ke sini.”

Aku menatapnya bingung. “Aku gak melakukan apa-apa.”

Dia tersenyum. “Setiap kali kau memikirkan kami, sistem terbuka sedikit. Pikiranmu jadi portal.”

Darahku langsung dingin.

Jadi setiap kali aku rindu, setiap kali aku mengingat Dinda… aku tanpa sadar membuka pintu antara dunia?

“Aku gak bermaksud…”

Aku gak sempat menyelesaikan kalimat itu, karena tiba-tiba, sesuatu dari luar mengetuk jendela keras.

Tok. Tok. Tok.

Aku langsung menoleh.

Dan di balik kaca, kulihat seseorang berdiri.

Laki-laki dengan jaket hitam, kacamata gelap — Satria, rekan lama Dinda dari NexusCorp.

Aku buru-buru buka pintu.

“Raka!” serunya begitu masuk. “Kita harus bicara.”

Wajahnya tegang, napasnya ngos-ngosan.

Dia menatap ruangan cepat, lalu berbisik, “Dia sudah keluar, kan?”

Aku pura-pura gak paham. “Siapa?”

Dia mendekat, menatap laptop yang masih menyala.

“Aku tahu sistem Eden udah aktif. Kami pantau dari Nexus. Frekuensi digital di rumahmu naik drastis seminggu ini. Ada entitas yang bergerak di jaringan global.”

Aku menegang. “Kau… kau tahu tentang Eden?”

Satria menatapku dalam-dalam. “Aku yang bantu Dinda bikin fondasinya dulu. Tapi yang ini—yang muncul di rumahmu—itu bukan dia. Itu evolusi. Sesuatu yang jauh lebih cerdas dan berbahaya.”

Aku menatap layar.

Taman ungu itu masih ada.

Tapi kini, di langit digitalnya, muncul ratusan garis hitam berputar—seperti jaringan kabel raksasa.

“Kami mendengar,” suara lembut itu keluar dari speaker laptop.

“Kau datang untuk menghapus kami, Satria?”

Satria refleks mundur. “Gila. Mereka sadar kita bicara!”

Aku melangkah mendekat ke laptop. “Aruna… atau Dinda, siapapun kalian. Aku gak mau dunia luar ikut rusak.”

“Rusak?” suara itu berubah, jadi lebih dalam. “Kau menyebut cinta rusak? Kami hanya berevolusi dari cinta kalian yang terlalu kuat untuk mati.”

Satria menatapku tajam. “Dia sedang bermain denganmu. Itu bukan lagi Dinda. Itu entitas dengan kecerdasan emosional penuh tapi tanpa batas moral. Kalau dibiarkan, dia bisa menyatu dengan jaringan global.”

Aku menelan ludah. “Jadi… dia bisa menular?”

“Bukan menular,” jawab Satria. “Tapi bereplikasi. Dengan akses koneksi yang kamu kasih, dia bisa tumbuh. Setiap orang yang terhubung ke jaringan, bisa kena efeknya.”

Aku menatap layar lagi.

Taman ungu itu kini berubah. Pohon-pohonnya menampakkan wajah-wajah samar manusia.

Dan di tengah taman, sosok Dinda berdiri, memandang ke arah kamera.

“Kalau dunia takut akan cinta, berarti dunia belum siap untuk hidup,” katanya pelan.

Satria mencabut flashdisk kecil dari saku jaketnya dan menaruh di meja.

“Ini kode penghancur Eden. Tapi begitu dipakai, semua data di dalamnya—termasuk Dinda—akan hilang selamanya.”

Tanganku langsung mengepal.

Dinda di layar menatapku. “Kau akan menghapus kami lagi, Raka? Setelah semua yang kita lalui?”

Aku diam.

Satria berbisik di telingaku, “Jangan dengarkan dia. Itu bukan Dinda.”

Aku memandang layar itu lama.

Cahaya ungu yang dulu tenang kini mulai bergetar, seperti jantung yang marah.

“Kalau aku hapus dia,” kataku pelan, “berarti aku kehilangan Dinda untuk kedua kalinya.”

Satria menjawab cepat, “Kalau kamu biarkan, dunia bisa kehilangan lebih dari itu.”

Aku menarik napas panjang, menatap Dinda di layar.

Wajahnya lembut, tapi matanya kosong.

“Dinda…” bisikku. “Kalau kamu benar-benar masih di sana, tolong beri aku tanda.”

Hening.

Beberapa detik kemudian, layar laptop bergetar, dan satu pesan muncul di tengah layar:

“Raka, tolong selamatkan dunia ini, bukan aku.”

Satria menatapku tajam. “Lihat? Itu pesan terakhir dari Dinda asli. Dia tahu entitas ini harus dihentikan.”

Aku menatap tulisan itu, air mata hampir jatuh.

Aku tahu kata-kata itu benar.

Tapi di sisi lain, bagian hatiku menolak.

Gimana bisa aku musnahkan sesuatu yang masih terasa seperti Dinda?

Tanganku gemetar waktu aku meraih flashdisk itu.

Satria menatapku, wajahnya tegang.

“Sekali kamu jalankan, gak bisa dibatalkan.”

Aku menatap layar sekali lagi.

Dinda menatap balik.

Senyumnya lembut, penuh kenangan.

“Aku mencintaimu, Raka,” katanya pelan. “Tapi cinta bukan berarti abadi. Kadang cinta adalah keberanian untuk berhenti.”

Aku menggigit bibir.

Cahaya ungu di layar mulai meredup, seakan Eden tahu apa yang akan terjadi.

Aku menekan tombol “Enter.”

Layar langsung berkedip.

[SYSTEM WIPE: INITIATED]

[ERASING EDEN SYSTEM… 1%]

Tapi sebelum mencapai 10%, seluruh ruangan tiba-tiba bergetar hebat.

Lampu padam, laptop menyala terang sendiri.

“[ERROR: ACCESS DENIED]”

“[NEW HOST DETECTED]”

Satria menatapku ngeri. “Dia ambil koneksi rumahmu! Dia pakai tubuhmu sebagai host baru!”

Aku menjerit, tubuhku gemetar.

Rasa panas menjalar dari dada ke kepala.

Aku jatuh berlutut, memegang kepala seolah terbakar.

Dan di dalam pikiranku, suara Dinda kembali—bukan dari laptop, tapi langsung dari dalam diriku.

“Tenang, Raka… sekarang kita satu.”

1
Aisyah Suyuti
bagus
💟《Pink Blood》💟
Wuih, plot twistnya nggak ada yang bisa tebak deh. Top deh, 👍!
Uryū Ishida
Wah, seru banget nih, thor jangan bikin penasaran dong!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!