Pernikahan seharusnya membuka lembaran yang manis. Tapi tidak bagi Nayara, dia menyimpan rahasia kelam yang akhirnya merenggut kebahagiaannya.
Suaminya membencinya, rumah tangganya hampa, dan hatinya terus terjerat rasa bersalah.
Hingga suatu hari sumber masalahnya sendiri datang dan berdiri dihadapannya, laki-laki yang kini memperkenalkannya sebagai sopir pribadi.
“Sudah aku katakan bukan. Kamu milikku! Aku tidak akan segan mengejarmu jika kau berani meninggalkanku.”
Apakah Nayara akan mempertahankan rumah tangganya yang hampa atau kembali pada seseorang dimasa lalu meski luka yang ia torehkan masih menganga dihatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Laila_Anta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
Tiga hari berikutnya, Nayara kembali lagi ke rumah ibunya Dev. Seorang anak kecil memanggilnya atas permintaan ibu Dev.
Kini mereka berdua duduk di teras depan rumah. "Neng, tadi pagi ada tukang pos memberikan ini." Ibu Dev mengeluarkan sebuah amplop di dalam saku bajunya. "Sepertinya ini balasan surat dari putra ibu."
Senyum merekah terpancar jelas di wajah cantik Nayara. Meski hatinya sedikit kecewa, karena yang ia bayangkan Dev sendirilah yang datang bersama lamaran yang sudah ia mimpikan.
"Bukalah, Neng. Kalau boleh, ibu juga ingin tau apa isi surat tersebut," pinta ibu Dev.
Gadis itu mengangguk. Tentu, jika semua sesuai harapannya, ibu Dev juga harus tahu.
Nayara membuka amplop dengan debaran jantung yang menguat. Bibirnya mengulas sebuah senyuman manis, tangannya pun gemetar.
Ibu Dev tersenyum lembut menyaksikan sikap Nay. Ia begitu berharap gadis inilah yang akan menjadi pendamping putranya kelak.
Saat membaca kata demi kata yang tertulis di kertas, tangan Nayara bergetar hebat. Ujung matanya memanas. "Ini tidak mungkin," lirihnya.
Berkali-kali gadis itu menggeleng berharap semua tulisan yang ia baca adalah salah. Ia mencoba kembali membacanya dari awal. Tetap saja tulisan itu tidak ada yang berubah, kata-katanya masih sama.
"Ada apa Neng? Apa yang terjadi?" Ibu Dev terlihat begitu khawatir. "Apa kata putra ibu? Apa terjadi sesuatu padanya?"
Gadis itu masih mengunci mulutnya. Hanya suara isak tertahan yang terdengar. Kertas itu terjatuh karena tangannya melemah. Seolah kertas itu sebuah beban berat.
Ibu Dev mengambil kertas yang kini tergeletak di lantai. Membacanya. Kedua matanya membulat dengan mulut yang terbuka. "Ini pasti salah. Putra ibu tidak mungkin melakukan hal ini." Dan Ibunya Dev pun menggeleng karena ketidak percayaan nya.
Jeritan kini keluar dari mulut Nayara. "Kenapa dia begitu tega. Kenapa dia melakukan hal ini padaku, Bu." Gadis itu menangkupkan wajah dengan kedua tangannya.
"Tidak Nak. Ibu yakin ini ada yang salah. Ibu percaya pada putra ibu. Dia tidak mungkin melakukan hal ini. Cintanya begitu besar padamu, Nak." Ibu Dev merengkuh tubuh Nayara.
"Hiks, dia sudah mengkhianati janjinya. Dia ingkar, dia jahat." Gadis itu seolah tuli dengan perkataan ibunya Dev. Hanya rasa sakit yang mendominasi nya saat ini.
"Ibu janji akan mencari tau. Kenapa Dev bisa menulis surat seperti ini."
Nay bangun dari kursi. "Kamu mau kemana, Neng?" tanya ibu Dev cemas.
Dengan langkah gontai gadis itu meninggalkan ibu Dev yang masih duduk termangu ditempat.
"Neng, sebaiknya kamu tinggal disini. Jangan pulang dulu. Sebentar lagi akan turun hujan," seru ibu Dev memanggil karena Nayara semakin menjauh.
Pendengarannya seolah tuli, ia tidak mendengar namanya dipanggil berkali-kali oleh ibunya Dev.
"Kenapa ini bisa terjadi. Apa yang sudah kamu lakukan, Nak. Kenapa kamu malah menyakiti dan menyia-nyiakan gadis yang kamu cintai," lirih ibunya Dev meremas surat yang kini masih berada dalam genggamannya.
Hujan deras mengguyur perkebunan teh sore itu. Rintik-rintik yang turun kian lama berubah menjadi deras, menyatu dengan air mata Nayara yang tak terbendung. Jalanan berliku di antara hamparan hijau basah seakan ikut menyerap perih yang mengoyak dadanya.
Langkahnya terasa berat, seolah setiap tetes hujan membawa kembali kenangan manis yang kini terasa pahit. Setiap kata yang tertulis masih terngiang, menghantam hatinya lebih keras dari suara petir yang membelah langit.
Nayara meremas dadanya, mencoba menahan sesak yang mencekik. "Mengapa harus aku yang dipermainkan?” bisiknya tertelan hujan. Rambutnya yang basah menempel di wajah, matanya sembab, namun ia terus melangkah di jalan tanah perkebunan itu.
Hujan memang mampu menyembunyikan air mata, tapi tidak bisa menghapus luka yang terlanjur tertanam. Di tengah sunyi perkebunan teh, Nayara merasa dirinya sekosong dan sehitam langit yang sedang menangis bersamanya.
Kakinya lemas. Berkali-kali lututnya terjatuh membentur batu jalanan. Darah mengalir tersapu air hujan. Tapi bahkan rasa sakitnya tidak ia rasakan, karena luka yang sebenarnya ada di dalam hatinya. "Kak, kamu benar-benar tega menghancurkan hidupku."
Gadis itu masuk ke dalam rumah dalam keadaan basah kuyup. "Ada apa ini Neng. Apa yang terjadi?" Tentu saja semua orang rumah terlihat begitu khawatir.
Ibu Nayara merengkuh tubuh menggigil putrinya. "Ambilan handuk, De," pintanya pada anak laki-lakinya.
Ayah Nayara yang masih bisa terlihat tenang meski hatinya begitu getir melihat kondisi putrinya saat ini.
"Duduk dulu. Minum dulu Neng." Beliau memberikan segelas teh hangat ke dalam genggaman tangan putrinya.
"Bawa dia ke kamar. Ganti pakaianmu terlebih dahulu. Setelah itu kita harus bicara," putus pak Jaya.
Gadis itu dibopong ke dalam kamar oleh ibunya. Pak Jaya duduk di kursi usang menarik nafas dalam menatap langit-langit dengan pandangan kosong.
Meski satu katapun belum terucap dari bibir putrinya. Tapi beliau seolah sudah mengetahui situasi, kalau saat ini putrinya sedang mengalami kekecewaan.
Ia tahu kalau putrinya kembali berkunjung ke rumah ibunya Dev. Sejak tadi siang beliau melihat senyum terukir jelas di wajah putrinya. Dan sekarang, senyum itu tergantikan isak kegetiran.
Setelah beberapa saat pak Jaya memasuki kamar Nayara. Terlihat putrinya sudah lebih tenang. Baju dan rambut panjangnya sudah kering.
Beliau menarik kursi kayu dan duduk berdekatan dengan Nayara yang duduk di sisi ranjang. Berkali-kali ibu Nayara menepuk punggung tangan putrinya berusaha mengalirkan ketenangan.
"Bagaimana keputusannya?" Itulah kata pertama yang terlontar dari mulut ayah Nayara.
Gadis itu tertunduk. Air matanya kembali tidak tertahan. "Jangan menangis. Katakan yang sebenarnya. Dengan begitu bapak akan berpikir bagaimana kedepannya."
Nayara menggigit bibir meremas tangannya yang dingin. "Apa dia tidak bersedia melamarmu?" Melihat perilaku putrinya, pak Jaya bisa menebak.
Masih tidak bisa menjawab. "Baiklah kalau begitu. Besok siapkan jamuan. Bapak akan menerima lamaran Den Bian," putusnya.
"Pak," lirih Nay. Akhirnya ia membuka mulutnya. "Nay akan menunggu. Nay tidak bisa menikah dengan laki-laki lain. Nay sangat mencintai kak Dev," ucapnya tertahan. Rasa itu masih jelas terasa meski kecewa meliputinya.
"Jangan bodoh. Kalau kamu masih berharap pada laki-laki yang jelas-jelas tidak bisa menepati janjinya. Bagaimana dia bisa membahagiakanmu, hah?" tegas pak Jaya.
"Bapak sudah memberikan kesempatan padanya. Tapi, apa yang sudah kamu terima darinya? Kekecewaan dan pengkhianatan. Apa kamu masih ingin bertahan dengan rasa sakit itu?"
Perkataan ayahnya telak menancap relung hati Nayara. Tapi kenapa, bahkan saat ini ia tidak bisa membencinya?
Apakah cinta memang sebodoh ini?
"Keputusan bapak sudah bulat. Terima saja takdirmu, Nay. Menikahlah dengan Den Bian. Bapak cuma berharap setelah ini kamu akan berbahagia. Lupakan laki-laki tidak tau diri itu."
Ayah Nayara keluar meninggalkan putrinya yang kini terisak di pelukan Ibunya.