Dikhianati dan dijebak oleh suami dan kekasih gelapnya, seorang wanita polos bernama Megan secara tak terduga menghabiskan malam dengan Vega Xylos, bos mafia paling berkuasa di dunia malam. Hingga akhirnya, dari hubungan mereka malam itu, menghasilkan seorang putra jenius, Axel. Tujuh tahun kemudian, Vega yang terus mencari pewarisnya, tapi harus berhadapan dengan Rommy Ivanov, musuh lamanya, baru mengetahui, ternyata wanita yang dia cari, kini telah dinikahi musuh besarnya dan berniat menggunakan kejeniusan Axel untuk menjatuhkan Kekaisaran Xylos. Bagaimana Vega akan menghadapi musuh besarnya dan apakah Megan dan putranya bisa dia rebut kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black _Pen2024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14: Perang Senyap dan Pengawasan Xylos
Keesokan harinya, Megan mengikat kotak kayu berukir elang itu rapat-rapat dengan kain lusuh dan menyembunyikannya di bawah papan lantai yang paling longgar di gudang. Di sampingnya, ia juga menyembunyikan liontin 'V' yang terasa seperti belenggu perak di tangannya. Liontin itu adalah bukti tak terbantahkan: dia berada di bawah perlindungan—atau lebih tepatnya, pengawasan—Vega Xylos.
“Tunggulah. Aku kembali.” Tiga kata itu terngiang-ngiang, menjadi melodi ancaman di tengah rutinitas kerasnya. Megan tahu, kepulangannya tidak akan membawa keselamatan, melainkan klaim kepemilikan. Dia harus memanfaatkan waktu ini, waktu di mana dia tersembunyi, untuk memperkuat dirinya, baik fisik maupun mental.
Ia menamai janin di perutnya dengan nama ‘Axel’ dalam hati. Nama itu terasa tajam dan kuat, sebuah benteng identitas yang ia ciptakan sendiri, jauh dari bayangan 'Warisan Sang Xylos' yang dingin. Axel adalah miliknya, dan dia akan berjuang sampai mati untuk menjaganya tetap demikian.
Pekerjaan di Peternakan Bunga Api adalah terapi siksaan. Megan harus bangun jam empat pagi, membersihkan kotoran ternak, memerah susu sapi, dan menyiangi kebun kopi Ibu Rosa yang luas. Otot-ototnya menjerit, tangannya melepuh, dan rasa lelah memaksanya tidur nyenyak setiap malam. Kelelahan fisik ini adalah berkat, karena itu membatasi waktu yang ia miliki untuk tenggelam dalam ketakutan dan depresi.
Ibu Rosa, konsisten dengan perannya sebagai majikan yang dingin namun adil, tidak pernah bertanya lagi tentang masa lalu Megan. Ia hanya fokus pada pekerjaan dan menjaga kerahasiaan. Meskipun demikian, Megan selalu waspada, menguji batas-batas kerahasiaan mereka.
“Bu Rosa,” kata Megan suatu sore, saat mereka sedang menampi biji kopi kering di teras, “Apakah Anda sudah mengirim surat-surat itu ke Jakarta? Saya lupa memintanya kembali.”
Ibu Rosa berhenti menampi, matanya yang redup menatap tajam. “Kau tidak pernah menulis surat apa pun, Neng. Kau tidak punya kontak dengan dunia luar, dan itu yang terbaik. Ingat perjanjian kita. Kau di sini adalah pekerja, bukan penghubung. Kita hanya berkomunikasi dengan alam dan ternak.”
Megan mengangguk, puas dengan jawaban itu. Ibu Rosa setia pada narasi yang mereka sepakati. Namun, kesetiaan Ibu Rosa bukanlah pada Megan, melainkan pada bayaran mahal Vega Xylos.
Beberapa minggu berlalu. Perut Megan mulai menunjukkan pembengkakan yang samar, sulit disembunyikan di balik pakaiannya yang longgar dan kusam. Dia menjadi semakin paranoid. Setiap suara dahan patah, setiap bayangan yang bergerak di tepi hutan, terasa seperti utusan Vega yang datang untuk mengintai.
Sore itu, saat kabut mulai turun dan Megan baru saja selesai memberi makan kelinci, sebuah mobil hitam legam yang asing muncul di jalan setapak. Mobil itu tidak seperti kendaraan biasa, melainkan SUV mewah dengan kaca gelap, terlalu mahal untuk jalanan desa terpencil itu.
Jantung Megan mencelos. Ia bersembunyi di balik tumpukan jerami, mengintip melalui celah sempit. Mobil itu berhenti sebentar di depan gerbang, tidak masuk. Kemudian, pintu belakang mobil terbuka, dan sebuah kotak kardus coklat diletakkan dengan hati-hati di samping gerbang. Mobil itu langsung pergi, tanpa menunggu siapa pun keluar.
Ibu Rosa, yang baru keluar dari rumah dengan cangkul di tangan, berjalan ke gerbang dengan ekspresi bingung. Ia mengambil kotak itu dan kembali ke teras. Megan perlahan keluar dari persembunyiannya.
“Apa itu, Bu?” tanya Megan, berusaha agar suaranya terdengar normal.
“Entahlah. Kiriman. Tidak ada nama pengirim,” gumam Ibu Rosa sambil membuka kotak itu. Di dalamnya, ada dua barang: sebuah selimut bayi rajutan wol berkualitas tinggi berwarna krem, dan sebuah paket kecil bertuliskan huruf asing yang tampak seperti obat-obatan impor.
Megan berjalan mendekat dan membaca label pada paket obat-obatan itu. Itu adalah vitamin prenatal yang sangat mahal, merek yang hanya dijual di apotek-apotek eksklusif di ibu kota, vitamin yang jelas tidak akan pernah mampu dibeli oleh Ibu Rosa, apalagi Megan sendiri.
“Saya tidak memesan ini, Bu. Ini pasti salah kirim,” kata Megan, suaranya tercekat.
Ibu Rosa menatap selimut wol yang halus itu, lalu menatap Megan dengan ekspresi yang sulit diartikan. “Salah kirim? Di desa ini? Tidak ada mobil seperti itu yang salah kirim, Neng. Mereka tahu persis ke mana mereka pergi.”
Ibu Rosa mengeluarkan sebuah kartu ucapan kecil dari dalam paket vitamin. Kartu itu terbuat dari kertas linen tebal. Di bagian depan, tidak ada inisial, hanya gambar ukiran elang yang sama persis dengan yang ada di kotak kayu Megan.
“Baca ini,” perintah Ibu Rosa, menyerahkan kartu itu. Tangannya tidak gemetar, tetapi matanya menunjukkan rasa takut yang mendalam.
Megan mengambil kartu itu. Tulisan tangan di dalamnya elegan, tajam, dan dominan—sangat mirip dengan tulisan ‘Tunggulah. Aku kembali.’ di jurnal.
“‘Jaga asupan vitamin dan istirahat yang cukup. Kesehatan pewaris adalah prioritas. Laporan perkembangan dikirim setiap minggu kepada Zeno.’ Apa ini?” Megan merasakan gelombang kemarahan memuncak. Mereka tidak hanya mengawasinya, mereka mengatur kesehatannya, dan mereka menuntut laporan!
“Zeno,” Ibu Rosa berbisik, memejamkan mata. “Itu nama tangan kanan Sang Xylos. Aku pernah mendengarnya. Dia adalah bayangan Vega Xylos. Mereka tidak main-main, Neng. Mereka tidak hanya membiayai perlindunganmu, mereka juga memantau setiap denyut jantung bayimu.”
Megan menggenggam kartu itu erat-erat hingga kertasnya kusut. Ia mendongak ke arah hutan pinus yang diselimuti kabut, ke arah tempat mobil itu menghilang. Rasa takut yang selama ini bisa ia tekan dengan kerja keras, kini kembali menghantamnya dengan kekuatan penuh.
“Bagaimana? Bagaimana mereka bisa tahu jadwal saya? Bagaimana mereka tahu saya butuh vitamin ini? Apakah ada kamera di sini?” Megan panik, menoleh ke segala arah, mencari lensa tersembunyi.
Ibu Rosa menarik napas dalam-dalam. “Di dunia mereka, Nak, tidak perlu kamera. Orang-orang di sini miskin. Sebuah senyuman ramah dan selembar uang tunai sudah cukup untuk membeli mata dan telinga siapa pun. Mereka mungkin membayar pemilik warung kopi, atau bahkan anak-anak yang bermain di dekat sini.”
Megan menyadari kengerian situasinya. Tempat persembunyiannya yang terpencil adalah ilusi. Dia terperangkap di dalam sangkar emas yang disamarkan sebagai peternakan. Dia tidak bersembunyi dari Vega Xylos; dia sedang dijaga untuknya.
“Jadi, Anda harus mengirim laporan perkembangan saya kepada Zeno?” tanya Megan, nada suaranya berubah dingin, menuduh.
Ibu Rosa membela diri. “Aku tidak punya pilihan, Neng! Mereka membayar. Mereka mengancam. Jika aku tidak melaporkan, mereka akan berpikir kau melarikan diri, dan mereka akan mengirim tim pencari yang lebih besar. Percayalah, itu akan lebih buruk.”
Megan menatap selimut bayi mewah itu. Warisan. Kata yang begitu meremehkan, mengubah putranya menjadi barang yang diklaim. Dia harus melawan, tetapi bagaimana dia bisa melawan bos mafia global yang bahkan bisa memantau asupan vitaminnya?
“Baiklah, Bu Rosa,” kata Megan, mengambil selimut wol dan paket vitamin itu. “Saya akan meminum vitamin ini. Untuk Axel. Tapi, saya tidak akan memberikannya nama Xylos. Dan Anda tidak akan pernah menyebutkan tentang ‘warisan’ dalam laporan Anda. Katakan saja saya sehat. Dan saya bekerja keras. Jangan berikan detail pribadi apa pun. Ini adalah perang senyap kita.”
Ibu Rosa mengangguk pelan. Mereka telah menjalin aliansi yang canggung, dipersatukan oleh rasa takut yang sama terhadap kekuatan tak terlihat yang mengawasi mereka.
Megan kembali ke gudangnya, menyembunyikan selimut itu di bawah tumpukan kain. Ia menelan pil vitamin pertama itu dengan rasa pahit. Dia kini berada di bawah kendali total Vega Xylos.
Tiba-tiba, ia teringat buku jurnal kulit hitam kosong yang ia sembunyikan. Jurnal itu dimaksudkan untuknya. Mungkin Vega ingin ia menuliskan detail kehamilannya. Sebuah laporan harian.
Megan menarik kotak kayu itu. Ia mengambil jurnal itu dan membukanya. Di halaman pertama, di bawah ukiran "Tunggulah. Aku kembali," Megan mengambil pena tua milik Ibu Rosa dan mulai menulis. Bukan tentang vitamin atau gejala kehamilan. Itu adalah pesan perlawanan pertamanya.
Ia menulis dengan tekanan kuat, hampir merobek kertas:
“Aku bukan Gadis Malammu. Putraku bukan warisan. Dia milikku. Kau bisa mengawasiku, Vega Xylos, tetapi kau tidak akan pernah menguasai pikiranku. Aku akan mempersiapkan diri. Tunggulah aku kembali. Kali ini, bukan kau yang akan berburu.”
Megan menutup jurnal itu dengan senyum getir. Dia tidak tahu kapan utusan Vega akan kembali untuk mengambil laporan. Tapi ketika mereka datang, mereka akan menerima pesan itu. Dia menolak menjadi tawanan yang patuh. Dan perang senyap yang sesungguhnya baru saja dimulai. Megan... siap.