Sejak kematian ayahnya yang misterius, Elina diam-diam menyimpan dendam. Saat Evan—teman lama sang ayah—mengungkapkan bahwa pelakunya berasal dari kepolisian, Elina memutuskan menjadi polisi. Di balik ketenangannya, ia menjalankan misi berbahaya untuk mencari kebenaran, hingga menyadari bahwa pengkhianat ada di lingkungan terdekatnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Jmn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pelabuhan yang menyala
"Apa anda yakin ingin pergi sendiri, Tuan?" tanya Rio dengan nada hati-hati.
Evan menatapnya tajam, sorot matanya dingin bagai pisau. "Kau pikir aku lemah, hah?"
"Bukan begitu, Tuan, tapi—"
"Diam. Urus saja urusanmu," potong Evan datar.
Tanpa memberi kesempatan Rio bicara lagi, Evan melangkah pergi, membiarkan bawahannya berdiri kaku dengan wajah khawatir.
Mobil hitam itu melaju kencang membelah jalanan sepi malam. Lampu kota memantul di kaca depan, menyoroti rahang Evan yang mengeras. Tak ada ekspresi di wajahnya, hanya ketenangan yang terasa menakutkan. Dalam waktu singkat, ia berhenti di depan sebuah kedai mie sederhana yang masih buka. Beberapa pengunjung duduk santai, tidak menyadari badai yang baru saja tiba.
Evan turun dari mobil, langkahnya mantap, pandangannya tajam menyapu ruangan saat memasuki kedai.
"Mau mie ayam, Tuan?" sapa seorang Ibu paruh baya ramah.
Evan tidak langsung menjawab, matanya mengamati dapur terbuka di belakang meja kasir, lalu beralih ke menu di dinding.
"Mie ayah dan soda lemon," ujarnya akhirnya.
Ibu itu tertegun. "Maaf, Tuan, kami tidak menjual soda lemon. Kalau mau, toko sebelah—"
Evan meletakkan segepok 100 Ribu di meja. "Tolong belikan untuk saya."
Ibu itu menatap uang di tangannya, ragu dan ketakutan. "Tuan ini... terlalu banyak."
"Ambil saja," potong Evan singkat, lalu duduk di kursi dekat jendela.
Beberapa pengunjung mulai berbisik. Ada yang menatap, ada pula yang pura-pura tak peduli. Tapi Evan tahu—mereka bukan pelanggan biasa. Jari-jarinya mengetuk meja perlahan, ritmenya stabil, seperti detak jam sebelum badai.
Senyum tipis muncul di wajahnya.
Dan detik berikutnya—
Brugh!
Sebuah bayangan yang menerjang dari belakang. Evan menunduk cepat, membalikan tubuh, dan menendang keras perut pria itu hingga terlempar menabrak meja. Kursi berjatuhan. Tanpa ragu, Evan menarik belati dari balik jasnya—kilatan logam dingin menyambar udara.
Darah mulai berceceran. Satu, dua, tiga orang tumbang hanya dalam hitungan detik. Suara dentingan sendok jatuh bercampur jeritan pendek.
Evan melangkah santai di antara tubuh-tubuh yang mengerang, lalu menendang bahu salah satu pria yang masih sadar. Ia menarik kerah baju pria itu, mendekatkan belati ke lehernya.
"Di mana Raden sekarang?" tanyanya dingin, nyaris berbisik.
“S-saya... saya tidak tahu...”
Kress—
Belati itu menggores kulitnya perlahan.
“Katakan... atau malam ini kepalamu saya kirim ke laut.” Suara Evan tetap datar, tapi tatapannya menusuk.
“Di pelabuhan timur!” jawab pria itu akhirnya dengan suara gemetar.
Evan menatapnya beberapa detik—lalu melemparkannya ke lantai seperti sampah. Ia menendang meja hingga terbalik, meninggalkan ruangan penuh darah dan kekacauan.
Tanpa menoleh ke belakang, Evan keluar dari kedai. Lampu neon di atas pintu berkelap-kelip, menyoroti bayangan punggungnya yang perlahan menghilang di kegelapan malam.
•●•
Di pelabuhan yang diselimuti kabut malam, suara perkelahian terus menggema di antara tumpukan kontainer dan kapal bersandar. Valencia dan Alaric masih bertarung sengit melawan para pengawal Raden yang datang silih berganti. Nafas mereka memburu, langkah cepat, denting logam dan teriakan kesakitan berbaur menjadi satu.
“Al, fokus!” seru Valencia sambil menendang keras seorang pria yang hampir menghantam Alaric dari belakang.
Alaric terhuyung, peluh bercucuran di wajahnya. Nafasnya berat. “Mereka… nggak habis-habis…” gumamnya lemah.
Sementara itu, Valencia masih tegak berdiri—pandangannya dingin, gerakannya cepat dan terarah. Ia memutar tubuh, menepis serangan lawan, lalu menyabetkan tendangan keras ke arah dada musuh hingga terlempar ke tumpukan kayu. Namun dari ekor matanya, Valencia melihat Alaric diserang bertubi-tubi.
“Al!” serunya lagi. Ia berbalik, menghunus belati pemberian Evan dari balik jaketnya. Dengan satu ayunan cepat, sret! belati itu menggores lengan salah satu pengawal, darah mengucur hangat mengenai lengannya.
Tanpa ragu, Valencia terus bergerak—menebas, menusuk, dan menghindar. Setiap gerakannya presisi; dingin, tanpa ampun. Genangan darah mulai terbentuk di lantai besi pelabuhan. Tubuh-tubuh bergelimpangan, beberapa mengerang kesakitan, sebagian tak bergerak lagi.
Setelah memastikan sekitar aman, Valencia berlari ke arah Alaric yang terjatuh.
“Al… sadar, Al!” serunya, menahan tubuh Alaric yang hampir tumbang.
Alaric menatap sayu, suaranya serak, “Val… panggil bantuan… c-cepat…”
Baru saja Valencia meraih ponselnya, bruk! tendangan keras menghantam punggungnya. Ia terjatuh ke tanah, ponselnya terlempar. Valencia menoleh cepat—menatap sosok pria berjas merah dengan luka di perut, namun masih berdiri tegak. Raden.
Raden menatapnya sinis, lalu pandangannya turun ke ID card di dada Valencia.
“Valencia…” gumamnya, senyum miring muncul di wajahnya. “Jadi sekarang kau detektif...”
Belum sempat ia melanjutkan ucapannya, Valencia langsung menendang dada Raden dengan kekuatan penuh, lalu menusukkan belatinya ke perut pria itu tanpa ragu. Ia tak ingin Raden sempat membuka rahasianya di hadapan siapa pun.
Alaric yang menyaksikan interaksi itu dari kejauhan menatap tajam, pikirannya berputar cepat. Ada sesuatu yang janggal di matanya — seolah Valencia dan Raden saling mengenal.
Dalam hati, ia bertanya-tanya, apa mereka pernah punya hubungan sebelumnya?
Raden menahan rasa sakit, darah mengucur dari luka di perutnya, namun senyum miring itu tak juga pudar dari wajahnya. Dengan gerakan cepat, ia merogoh saku jasnya dan menarik keluar stun gun berukuran kecil.
Sebelum Valencia sempat bereaksi, Raden sudah melangkah maju dan menempelkan alat itu tepat di lehernya.
Treck… treck…!
Semburan arus listrik membuat tubuh Valencia menegang hebat, matanya membelalak menahan nyeri sebelum akhirnya seluruh tubuhnya ambruk tanpa daya.
Raden menatapnya puas, bibirnya membentuk senyum miring.
“Pengawal, lakukan sekarang.”
•●•
"Komandan, Valencia dan Alaric dalam bahaya!" seru Cakra melalui alat komunikasi.
Beberapa jam sebelumnya, sinyal dari pelabuhan sempat hilang total, membuat Cakra dan Bayu kehilangan jejak kedua rekannya. Kini, koneksi itu akhirnya tersambung kembali—dan layar di depan mereka menampilkan kekacauan di pelabuhan yang membuat dada Cakra menegang.