Cole Han, gangster paling ditakuti di Shanghai, dikenal dingin dan tak tersentuh oleh pesona wanita mana pun. Namun, semua berubah saat matanya tertuju pada Lillian Mei, gadis polos yang tak pernah bersinggungan dengan dunia kelam sepertinya.
Malam kelam itu menghancurkan hidup Lillian. Ia terjebak dalam trauma dan mimpi buruk yang terus menghantuinya, sementara Cole justru tak bisa melepaskan bayangan gadis yang untuk pertama kalinya membangkitkan hasratnya.
Tak peduli pada luka yang ia tinggalkan, Cole Han memaksa Lillian masuk ke dalam kehidupannya—menjadi istrinya, tak peduli apakah gadis itu mau atau tidak.
Akankah Lillian selamanya terjebak dalam genggaman pria berbahaya itu, atau justru menemukan cara untuk menaklukkan hati sang gangster yang tak tersentuh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
Malam itu, Lillian berendam di dalam bathtub marmer putih di kamarnya. Air hangat bercampur busa sabun memenuhi permukaan, menutupi tubuhnya yang lemah. Namun kehangatan itu sama sekali tidak bisa menenangkan hatinya. Kedua matanya merah, menahan tangis yang berulang kali ia usap dengan punggung tangan.
Bayangan kejadian malam itu kembali menyeruak ke dalam pikirannya—saat pria asing merenggut kesuciannya dengan cara yang brutal, meninggalkan luka di tubuh sekaligus jiwanya.
"Siapa dia... kenapa harus aku yang menjadi sasarannya?" gumam Lillian lirih, suaranya pecah. Air matanya bercampur dengan busa putih yang mengambang. "Aku dikhianati oleh pria yang aku cintai... dan di malam yang sama aku malah dipaksa melayani orang yang bahkan tidak aku kenal."
Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan, bahunya berguncang karena tangis. "Menjijikkan sekali..."
***
Di sisi lain, di sebuah mansion mewah di perumahan elit, suasana sangat berbeda. Lampu gantung kristal berkilau redup, aroma asap rokok memenuhi ruangan pribadi yang luas. Cole Han, pria berwajah dingin dengan sorot mata tajam, duduk di kursi kulit hitamnya sambil memegang cerutu yang separuh terbakar.
Ia mengenakan jubah tidur longgar, bagian atasnya terbuka, memperlihatkan dada bidang dengan otot six pack yang terukir jelas. Di depannya, Julian, tangan kanan sekaligus asisten setia Cole.
"Bos, informasi mengenai gadis itu sudah dapat," kata Julian sambil menyerahkan sebuah map berisi dokumen.
Cole mengambil map itu dengan gerakan santai namun penuh wibawa. Ia membuka lembar pertama, menatap sebuah foto seorang gadis cantik yang tersenyum anggun di sana.
"Lillian Mei, 22 tahun... seorang fotografer terkenal di China?" ucap Cole pelan, alisnya sedikit terangkat.
"Benar, Bos," jawab Julian cepat. "Gadis itu cukup terkenal dan berbakat. Ia sering memotret artis dan model ternama, hasil karyanya banyak disukai berbagai kalangan."
Cole menyipitkan mata, tatapannya tajam meneliti foto Lillian lebih lama daripada seharusnya. Bibirnya melengkung tipis, entah dalam senyum samar atau sekadar ekspresi mengingat sesuatu.
"Lillian Mei... nama ini tidak asing. Di mana aku pernah mendengarnya?" ucapnya dingin.
Julian segera menjelaskan dengan tenang, "Bos, Lillian Mei adalah putri dari Anthony Mei dan Lucy Wen. Lucy adalah ibu tirinya. Sejak kecil Lillian memang dimanjakan oleh kedua orang tuanya, tapi ia sangat mandiri. Kesuksesan kariernya murni hasil kerja keras sendiri, tanpa bantuan ayahnya. Dan satu lagi—dia baru saja putus dengan tunangannya. Kejadian itu terjadi di klub malam tempat kita berada tadi."
Cole menurunkan map, matanya menyipit. "Tunangannya? Siapa dia?" tanyanya datar, namun nadanya penuh tekanan.
Julian menunduk sedikit. "Bos, tunangannya adalah Tuan muda kedua. Saat pertunangan itu berlangsung, Anda sedang berada di luar negeri. Oleh sebab itu, Bos dan Lillian Mei belum pernah bertemu sebelumnya."
Cole terdiam sesaat, lalu menghembuskan asap rokok panjang-panjang. Senyumnya berubah dingin. "Pantas saja... namanya tidak asing. Aku tidak menyangka dia adalah calon adik iparku."
Julian melanjutkan dengan nada hati-hati, "Bos, saya juga baru mendapat informasi, Tuan muda kedua sedang dirawat di rumah sakit. Akibat perselingkuhannya terbongkar, membuat Lillian marah dan melukainya dengan botol."
Cole terkekeh pelan, nadanya penuh ejekan. "Berselingkuh? Itu memang sifat Will. Anak itu selalu suka bermain dengan wanita. Aku tahu, dia tidak pernah bisa lepas dari mantan kekasihnya."
Julian menambahkan dengan suara lirih, "Selain mantannya, Tuan muda juga berhubungan dengan seorang mahasiswi, Bos."
Cole menegakkan tubuhnya, meletakkan rokok di asbak kristal. Tatapannya gelap, suaranya tegas dan dingin. "Dia bermain di luar tanpa memikirkan nama baik keluarga. Semua orang tahu Will hanyalah Tuan muda manja yang tak berguna."
Julian mengangguk pelan, lalu memberanikan diri bertanya, "Bos, hubungan keluarga Han dan keluarga Mei selama ini sangat dekat. Bahkan ada proyek besar yang sedang mereka jalankan bersama. Apakah setelah kejadian ini hubungan itu masih bisa dilanjutkan?"
Cole terdiam sejenak. Ia menyalakan rokok baru, lalu menatap kosong ke luar jendela besar di ruangannya. "Dengan sifat Anthony Mei, dia pasti akan datang bersama gadis itu. Aku ingin melihat apa yang akan dilakukan Will... dan ibunya."
Kemudian ia memadamkan rokoknya dengan gerakan tenang, namun tatapannya semakin tajam. "Batalkan semua jadwal besok. Aku ingin pulang."
"Baik, Bos," jawab Julian, menunduk hormat.
"Sudah lama Bos tidak pulang," batin Julian. "Apakah... karena gadis itu akan datang?"
Keesokan harinya.
Mansion keluarga Han tampak megah dengan interior klasik bernuansa marmer dan emas. Di ruang tamu yang luas, suasana begitu tegang.
Di salah satu sisi sofa, Will Han duduk dengan balutan perban di kepalanya, wajahnya tampak murung sekaligus kesal. Di sampingnya, ibunya Sammy dengan ekspresi marah, sementara sang ayah, Luwis Han, berusaha menjaga kewibawaannya.
Di seberang mereka, Anthony Mei duduk dengan sikap tenang namun penuh kewaspadaan, ditemani istrinya Lucy Wen yang sudah terlihat menahan emosi. Di sampingnya, Lillian Mei duduk dengan tangan terkepal di pangkuan.
"Apa yang terjadi sehingga Lillian tega melukai Will?!" suara Sammy pecah, nadanya penuh amarah. "Kalian adalah pasangan yang akan segera menikah!"
Anthony mencoba meredam suasana. "Sammy, Lillian akan menjelaskan semuanya."
Luwis menatap ke arah gadis itu dengan sorot mata tajam, berbeda dari istrinya. "Lillian, paman sangat memahami sifatmu. Katakan saja, apa yang sebenarnya terjadi."
Dengan suara bergetar, Lillian mengangkat wajahnya. "Paman... Will bermain dengan wanita lain di club malam. Dia juga tidak mencintaiku. Jadi aku ingin membatalkan pertunangan ini."
"Bermain wanita? Lillian, bukankah seharusnya dirimu bercermin? Andaikan pun Will bermain dengan wanita lain, seharusnya kau bertanya pada dirimu sendiri... apa kekuranganmu sebagai calon istrinya?" kata Sammy.
Lucy langsung menoleh tajam ke arah Sammy, wajahnya memerah karena marah. "Apa maksudmu bicara seperti itu?! Apakah menurutmu putramu tidak bersalah karena berselingkuh? Dia bahkan masih menjalin hubungan dengan mantannya!"
Will mendengus, lalu bersuara lantang. "Itu tidak benar! Lillian hanya merajuk karena aku tidak menemaninya malam itu. Gadis yang kau maksud hanyalah temanku. Aku tidak berselingkuh sama sekali!"
Lillian menatapnya dengan tatapan penuh luka, suaranya meninggi. "Kau tidak berani mengaku?! Bukankah semalam kau bersenang-senang dengan gadis itu dan menghinaku di hadapan mereka?!"
Will mengangkat dagunya dengan angkuh. "Lillian, seharusnya kau jangan selalu mengikatku. Kita memang akan menikah suatu hari nanti, tapi aku juga punya kebebasan. Tidak mungkin aku menjauh dari teman-temanku hanya karena dirimu."
Anthony yang sejak tadi menahan diri akhirnya bersuara tegas. "Will, sebagai seorang pria, kau seharusnya berani mengakui kesalahanmu."
Sammy membalas dengan nada penuh tuduhan. "Kesalahan? Aku rasa justru kalian yang gagal mendidik putri kalian! Belum menikah saja dia sudah berani menyakiti anakku. Bagaimana nanti setelah menikah? Bisa saja nyawa anakku dalam bahaya karena sifatnya!"
Lucy menepuk meja kecil di depannya, nadanya meledak. "Kau adalah ibunya! Kenapa tidak mendidik anakmu dengan benar, malah menyalahkan anakku?! Putramu yang brengsek itu yang seharusnya kau khawatirkan!"
Pertengkaran itu semakin panas, hingga tiba-tiba sebuah suara berat, dingin, dan penuh wibawa terdengar di ruangan.
"Keluarga kita sudah menjadi topik utama media akibat berita yang tersebar... apakah ada yang bisa menjelaskannya padaku?"
Semua kepala menoleh serentak. Dari arah tangga besar, Cole Han muncul dengan langkah tenang namun penuh aura mengintimidasi. Tubuhnya tinggi tegap, setelan hitam yang ia kenakan membuat sosoknya tampak semakin berwibawa. Wajahnya tanpa ekspresi, dingin bagaikan patung, namun tatapannya mampu membuat siapa pun merasa tercekik.
Ia berjalan melewati semua orang tanpa tergesa, lalu duduk di sofa besar, tepat di samping Will. Tatapan matanya menyapu ruangan, dari Anthony, Lucy, hingga akhirnya berhenti pada Lillian.