NovelToon NovelToon
Jerat Cinta Tuan Mafia

Jerat Cinta Tuan Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Kriminal dan Bidadari
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: Qwan in

Dewi, seorang pelayan klub malam, tak sengaja menyaksikan pembunuhan brutal oleh mafia paling ditakuti di kotanya. Saat mencoba melarikan diri, ia tertangkap dan diculik oleh sang pemimpin mafia. Rafael, pria dingin dengan masa lalu kelam. Bukannya dibunuh, Dewi justru dijadikan tawanan. Namun di balik dinginnya Rafael, tersimpan luka dan rahasia yang bisa mengubah segalanya. Akankah Dewi bisa melarikan diri, atau justru terperangkap dalam pesona sang Tuan Mafia?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 4

Dari ruang kendali yang tersembunyi jauh di bawah tanah vila, Rafael duduk diam di kursi kulit hitamnya. Hujan di luar masih terdengar samar, hanya seperti bisikan alam yang tak bisa menyentuhnya. Di hadapannya, lima layar menampilkan wajah-wajah mereka yang kini terkurung. Clara, Matteo, Dewi. Luka, darah, air mata. semua terekam jelas oleh kamera pengawas.

Ia tidak tersenyum. Tidak juga marah. Hanya datar. Seperti telah melewati titik di mana emosi masih punya bentuk. Tangannya yang bersarung kulit menggenggam gelas kristal berisi anggur merah yang tak disentuh. Warnanya mirip darah.

Mereka bilang aku gila, pikirnya.

Tapi siapa yang waras di dunia yang dibangun di atas pengkhianatan?

Rafael berdiri pelan. Setiap geraknya tenang, terukur. Langkahnya membawa tubuhnya ke depan kaca besar yang memantulkan bayangan samar dirinya. Ia menatap refleksi matanya. Dingin. Gelap. Mata yang telah kehilangan sesuatu yang dulu pernah membuatnya manusia.

“Aku pernah percaya pada kalian,” gumamnya, nyaris tak terdengar.

Pada Matteo. adik yang ia lindungi sejak kecil. Pada Clara, wanita yang dulu menatapnya seperti dewa, sebelum berani memalingkan mata ke orang lain. Dan Dewi… ah, Dewi.

Kau adalah pertanyaan, sekaligus jawabannya, batinnya.

Ia kembali ke konsol, jari-jarinya menyentuh tombol pemutaran ulang. Tayangan ketika Clara berbisik pada Matteo malam itu, ketika mereka merencanakan pelarian, muncul di layar. Sekali lagi ia tonton. Bukan karena ia meragukan isinya. Tapi karena ia ingin mengingatkan dirinya: tidak ada yang benar-benar bisa dipercaya.

Tiba-tiba, layar di tengah menunjukkan Dewi yang menatap langsung ke kamera. Bukan karena ia tahu Rafael sedang menonton, tapi karena kebetulan sorotan matanya menembus lensa.

Rafael membeku sesaat.

Ada sesuatu dalam tatapan itu. Ketakutan, tentu. Tapi lebih dari itu: amarah. Perlawanan.

Dia masih punya nyali, pikir Rafael. Dan nyali itu… bisa jadi senjata, atau peluru terakhir sebelum kematian.

Ia menekan tombol komunikasi. Suaranya dingin, masuk ke speaker di sel.

“Bagaimana rasanya?”

Ketika Dewi membalas dengan teriakan “Kau iblis!”, Rafael hanya tersenyum tipis. Ada luka di dadanya, tak bisa disangkal. Tapi ia menekannya rapat-rapat, mengubahnya jadi alasan untuk lebih kuat.

Bukan aku yang mulai permainan ini, Dewi. Tapi aku yang akan mengakhirinya.

Lalu ia menatap harimau-harimau di balik kandang kaca. Hewan-hewan yang ia rawat dengan tangan sendiri, sejak mereka masih anak-anak. Mereka tak pernah berbohong. Tak pernah menusuk dari belakang. Mereka lapar, buas, tapi setia.

“Lihat mereka,” gumamnya pada dirinya sendiri. “Binatang… tapi lebih jujur dari manusia.”

Rafael menarik napas panjang. Pandangannya kembali ke layar yang menyorot Dewi, yang kini tengah menangis diam-diam. Tak ada jeritan. Tak ada lagi sumpah-serapah. Hanya diam. Dan dari diam itu, Rafael tahu. luka itu mulai menancap. Luka yang dalam.

“Sekarang kau mulai mengerti,” bisiknya.

Ia menekan satu tombol lain. mengaktifkan suara auman dari kandang, cukup keras untuk mengguncang dinding sel mereka.

Bukan untuk menyiksa.

Tapi untuk mengingatkan: kematian bisa datang kapan saja. Dan kalau tidak hari ini, mungkin esok.

Atau saat Rafael memutuskan mereka cukup menyesal untuk mati.

...

Bau logam dingin dari ruangan bawah tanah bercampur dengan aroma anggur dan keringat lama yang menempel di dinding. Rafael berdiri di hadapan layar, namun pikirannya telah melayang jauh dari tempat ini. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling, ke seluruh ciptaan yang ia bangun: lorong-lorong tersembunyi, kamar-kamar penyiksaan, kandang-kandang binatang buas yang ia latih dengan tangannya sendiri.

Semuanya tidak terjadi dalam semalam.

Rafael melepaskan sarung tangannya. Luka lama di telapak tangan kiri masih terlihat. bekas luka dari pisau yang pernah ia genggam ketika berusia dua belas tahun. Luka pertama… dan bukan yang terakhir.

KILAS BALIK. 20 TAHUN LALU

Sore itu, langit mendung. Rumah mereka sunyi. Ayahnya, seorang pengusaha kaya dan keras kepala, pulang lebih cepat dari biasanya. Rafael, kecil dan polos, sedang menata meja makan. Ibu sudah di dapur, memasak sup hangat. Matteo bermain di luar.

Tiba-tiba, suara keras terdengar dari ruang tamu.

Suara gelas pecah. Lalu teriakan. Lalu bunyi tamparan.

Rafael lari. Ia melihat ibunya terjatuh di lantai. Ayahnya berdiri di atasnya, dengan wajah merah penuh amarah dan aroma alkohol dari napasnya yang berat.

“Ini salahmu! Kau dan anak haram itu!” bentaknya, menunjuk Rafael.

“Dia anakmu!” ibu berteriak, air matanya jatuh.

“Dia bukan anakku. Lihat wajahnya. Lihat bagaimana dia menatapku. Dia sama seperti kau… pembohong!”

Rafael tak mengerti semua itu. Tapi malam itu, saat ia mencoba menghentikan ayahnya dan malah ditolak dengan sebuah pukulan ke wajahnya sendiri. ia mengerti satu hal: cinta tak menjamin keselamatan.

Beberapa bulan setelah kejadian itu, ibunya ditemukan gantung diri. Ayahnya menikah lagi dengan wanita muda, dan Rafael... diasingkan. Dibuang ke sekolah asrama penuh disiplin dan hukuman fisik. Matteo tetap tinggal di rumah, tumbuh dalam kenyamanan, karena darahnya. kata ayah. “murni.”

KEMBALI KE SAAT INI

Rafael membuka laci kecil di bawah meja konsol. Di dalamnya, tersimpan benda yang selalu ia simpan. foto usang ibunya, dengan senyum lembut dan tatapan penuh cinta. Ia menyentuh permukaan foto itu dengan jari yang gemetar.

“Ma…” bisiknya. “Aku tak sempat melindungi mu. Tapi aku bisa membalas semuanya.”

Semua ini. penjara bawah tanah, harimau buas, kamera yang merekam ketakutan. semua adalah bagian dari balas dendam. Bukan hanya pada Matteo, tapi pada dunia yang menertawakan luka seorang anak kecil. Pada Clara, cinta masa mudanya yang meninggalkannya untuk adiknya sendiri.

Dan, pada Dewi. Orang baru, yang sesungguhnya tidak mengerti apa pun tentang semuanya. Namun Dewi telah menyaksikan, yang seharusnya tidak perlu ia saksikan.

KILAS BALIK. 7 TAHUN LALU

Rafael baru saja kembali dari luar negeri, setelah menyelesaikan kuliah dengan predikat terbaik. Ia muda, ambisius, dan penuh impian. Di pesta ulang tahun Matteo ke-20, ia bertemu Clara. Wanita dengan senyum tenang dan mata tajam. Mereka berbicara, tertawa, berdansa. Untuk sesaat, Rafael merasa hidupnya bisa dimulai kembali.

Namun, seminggu kemudian, ia melihat Clara dan Matteo berciuman di taman belakang vila keluarga.

Hancur. Patah. Dikhianati oleh dua orang yang paling ia percaya.

Clara tak pernah tahu bahwa Rafael melihatnya. Tapi sejak hari itu, ia berhenti berharap. Ia membunuh bagian lembut dalam dirinya. Dan mulai merancang sesuatu yang jauh lebih besar dari cinta. kekuasaan atas rasa sakit mereka.

KEMBALI KE SAAT INI

Rafael berjalan ke dinding samping, tempat sebuah lukisan tergantung. Ia menyingkirkannya, memperlihatkan brankas. Ia memasukkan kode: tanggal kematian ibunya.

Di dalamnya, bukan emas atau uang. Hanya sebuah buku catatan kulit hitam.

Ia membukanya perlahan. Di sana, semua tertulis. Nama-nama. Tanggal. Kesalahan-kesalahan mereka. Pengkhianatan-pengkhianatan kecil yang akhirnya mengarah ke malam ini.

Ia duduk kembali, mengetik sesuatu di komputer. Monitor menampilkan pengaturan waktu. Lima belas menit. Gerbang kandang akan terbuka.

Bukan untuk membunuh. Belum.

Hanya untuk mencium aroma ketakutan mereka lebih dekat.

Ia mematikan satu layar. Hanya menyisakan wajah Clara yang kini menangis sendiri, dalam diam.

“Luka di hatiku… tak pernah sembuh, Clara,” bisiknya. “Tapi aku ingin kau merasakannya. Setiap tetesnya.”

Dan malam terus berjalan. Sementara Rafael. sang algojo diam. terus menunggu saat yang tepat untuk menyelesaikan simfoni dendam yang telah ia bangun sejak masa kanak-kanaknya.

1
Myōjin Yahiko
Bikin nagih bacanya 😍
Silvia Gonzalez
Gokil abis!
HitNRUN
Bingung mau ngapain setelah baca cerita ini, bener-bener seru!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!