Caroline Damanik Dzansyana, hanya gadis malang berprofesi sebagai koki dessert di sebuah restoran Itali, dia diberatkan hidup karena harus membiayai rumah sakit ibu angkatnya yang koma selama satu tahun terakhir ini karena sebuah kecelakaan tragis.
Lalu, di suatu hari, dia dipertemukan dengan seorang wanita berwajah sama persis dengannya. Dia pikir, pertemuan itu hanyalah kebetulan belaka, tetapi wanita bernama Yuzdeline itu tidak berpikir demikian.
Yuzdeline menawarkan perjanjian gila untuk menggantikan posisinya sebagai istri dari pewaris Harmoine Diamond Group dengan bayaran fantastis—300 Milyar. Namun, Caroline menolak.
Suatu malam, takdir malah mempertemukan Caroline dengan Calvino—suami dari Yuzdeline dan menimbulkan kesalahpahaman, Calvino mengira jika Caroline adalah istrinya, sehingga dia menyeretnya masuk ke hidupnya.
Sejak saat itu, Caroline tidak pernah bisa kembali ke hidupnya. Bagaimanakah kisah selanjutnya? Apa yang akan Caroline lakukan untuk kembali ke hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Teriablackwhite, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28—PPMITMC
Seruan Caroline cukup tinggi, membuat semua mata tertuju padanya. Jelas yang paling pertama adalah Sari yang ada di dapur bersama beberapa pelayan.
Pelayan lain dari beberapa ruangan terlihat keluar, sepertinya mereka terkejut dan ingin memastikan ada keributan apa—termasuk Calvino dan Kiara serta Mario yang datang bersamaan.
Mereka berkumpul di jarak lumayan jauh dari keberadaan dapur, mereka menahan diri untuk memastikan Caroline tidak terkejut akan kedatangan mereka semua.
Sedangkan gadis itu sendiri terdiam, kaku di sudut dapur. "Akhirnya dia keluar dari persembunyiannya, aku memang harus bertemu dengannya, aku mau nanya, kenapa dia menghilang dan kenapa dia gak balik-balik," keluhnya bersuara tipis nan lembut.
Seruan tinggi bukan karena gadis itu terkejut, melainkan karena dia merasa lega sekaligus tak mengerti, mengapa wanita itu bisa ada di coffee shop miliknya.
Hanya saja Hanna mendengkus, lemah. Ada sesuatu yang membuat pelukis muda itu tak bersemangat. "Wanita itu gila, Oline, aku sempat berdebat dan dia mengaku, kalau dia yang mengajukan surat pengunduran diri kamu di restoran itu," terang Hanna menggerakkan giginya.
Si al! Hati Caroline berdecak.
Hatinya seolah mengeras karena hal itu. Di saat bersamaan, oksigen yang dia butuhkan entah ke mana, seakan rumah sebesar itu tidak menyediakan oksigen yang cukup.
Sembari mengerutkan dahi, gadis itu mengepalkan tangan. "Dia bener-bener udah gila. Suaminya emang bener-bener di luar nalar Han, dia itu sedang membalas dendam sama orangtuanya, melalui istrinya, gila, gak, sih?" gerutu Caroline mengeratkan permukaan dahi sampai mengkerut, tajam.
"Pantesan aja istrinya pengen kabur," sahut Hanna, masih terkesan kesal.
"Ya! Dan ..., sekarang dia malah melarikan diri, lalu? Aku di sini? Terus kehilangan pekerjaan juga, ini terlalu sadis untukku Han ...," rengek Caroline memahat ekspresi wajahnya dengan kerutan, memelas.
Sembari menyibak rambut ke belakang, gadis cantik bermata almond itu menggigit bibir, bernapas untuk menciptakan ketenangan, pula mereda rasa kesal hati.
Sempat bergerak sedikit dari posisinya, lalu dia menggaruk kepalanya yang memang terasa gatal, saking frustasinya gadis ini. "Sekarang kamu pikirkan cara untuk meninggalkan rumah itu, sebentar aja, kalian harus meluruskan banyak hal," saran Hanna dari seberang panggilan telepon.
Jika mudah untuk pergi dari jangkauan Calvino, mungkin sudah dia lakukan sejak tadi malam, nyatanya tidak sesederhana itu.
Apa yang harus Caroline lakukan? Hal apa yang bisa menjadi sebab perginya gadis ini keluar dari manor dan menyebabkan Calvino hilang perhatian.
Tak sempat bicara lagi, gadis itu segera mematikan panggilan telepon tersebut, dia sadar telah menjadi perhatian banyak orang, lalu dia tersenyum, bingung.
"Gak apa-apa, kalian bisa kembali bekerja," pungkas Caroline menyembunyikan ponsel di belakang tubuh dalam genggaman tangan yang erat.
Sigap, mereka semua meninggalkan area yang menjadi pusat mereka beberapa saat tadi. Tidak termasuk Calvino dan wanita tadi, bersama butler Mario.
Calvino sepertinya penasaran, namun dia berusaha untuk abai. Entah dia abai atau terkecoh oleh Kiara yang sejak tadi berusaha memeluk lengannya.
"Kalau kamu mau bermain golf, silakan hubungiku, Tuan, aku akan jamin kenyamananmu, seperti Tuan besar Harmoine," katanya menawarkan diri.
Senyum cerah, binar mata menggoda, gerak gemulai nan manja. Dari semua gerak-gerik itu, Caroline bisa menyimpulkan jika dia ..., sedang menggoda.
Beralih dari situ, Caroline menebar senyum, menemukan celah untuk membuat dirinya pergi. Kemudian dia tersentak oleh sosok Mario yang ada di sana.
Degh!
Mata Caroline mengerjap, mengedip selama beberapa detik. Jelas dia mengingat wajah itu, namun gadis ini hanya tidak yakin. "Laki-laki itu ...?" seru Caroline menyipitkan mata.
Berdecak, kecil, sambil dia menyilangkan tangan depan tubuh. "Sepertinya aku pernah melihatnya. Bukan satu kali, tapi lumayan sering, di benakku ..., dia ...? Agak, lumayan kurang baik," cetusnya dengan ragu, namun dia mengingatnya.
"Tapi siapa, ya?" Gadis itu termangu, menatap lurus ke arah Calvino.
Mimiknya terkesan tajam. Tegas. Penuh pertimbangan.
Calvino pikir istrinya sedang cemburu. Dengan tatapan kosong nan menghunus itu menjadi jaminan pasti bahwa istrinya tengah cemburu.
Segera dia bermain. Mendekati wanita di sisinya dengan mengeratkan pelukan di sekitar pinggang Kiara. "Fine. Asal ..., kamu siap bermain yang ..., kamu tahu apa itu," katanya dengan tatapan menggoda.
Senyum yang tersungging terkesan nakal, cukup membangunkan ga ir ah Kiara. Wanita itu bergelayut di leher Calvino dan mendekatkan wajah dengan suami dari wanita yang sekarang sedang menonton.
Oh sh it!
Uweeekk ....
Geli. Muak. M*al.
"Uweekk ...." Caroline nyaris muntah karena menonton kemesraan mereka.
Sekujur tubuhnya terasa dijalari oleh akar-akar nakal yang tak diundang, ia datang menyelinap ke tenggorokan dan mengocok perut.
Caroline mencebik sebagai aksi bahwa dia bukan cemburu, melainkan cukup ..., j*jik melihat pemandangan itu. "Oh Tuhan ..., kenapa wanita itu malah menyerahkan dirinya, dasar mu—"
Sebelum ucapan itu berakhir. Terbersit di benaknya, jika ini adalah kesempatan.
Sreet!!
Wajah yang telah beralih ke lokasi lain, segera kembali mengarah pada Calvino dan wanita itu yang semakin menggila, mereka berdekatan dengan sangat intens.
Caroline mengangguk sambil tersenyum. "Ah ..., aku tahu, Nyonya Yuzdeline selalu marah kalau dia lihat pemandangan ini, jadi? Aku harus marah."
Ekhem.
Caroline berdeham, bukan untuk menghentikan mereka, melainkan menyiapkan diri untuk menerjang dan berlaku marah, layaknya seorang istri yang cemburu.
Tak. Tak. Tak.
Suara sepatu bermelodi mendekati Calvino dan wanita itu. "Excuse me ...," ucap Caroline bernuansa, gemas.
"Mohon maaf, manor se-mewah ini, haruskah dikotori oleh hubungan terlarang seorang suami dengan wanita ..., ck," papar Caroline melucuti pandangannya pada wanita di pelukan Calvino.
Sorot matanya mengamati Kiara dari ujung rambut hingga ujung kaki. Bukan hanya mata, bahkan ekspresi geli menjadi lautan yang paling nyata terlihat di depan muka.
Kemudian, Caroline mengernyit sambil menaikkan sudut bibir. "Sorry, whore? Prostitute? or..., shameless temptress?" (Maaf, p*lac*r? Pel*cur? Atau..., pengg*da yang tak tahu malu?
Degh!
Gila! Caroline mengatakan kata-kata yang cukup kasar dengan ekspresi tenang dan intonasi suara, tegas.
Apa aku keterlaluan, ya? Apa kata-kata itu terlalu kasar? Batin Caroline mendadak menyesali apa yang sudah dia ucapkan.
Kata-katanya kasar? Sama seperti, Yuzdeline. Hanya saja ..., nada bicara gadis ini yang berbanding terbalik dengan istri sebelumnya.
Calvino diam. Dia sedang membandingkan istrinya yang dulu dengan yang saat ini. Kemudian dia mendengkus, menyematkan senyum, kecil. "Wow! Kamu tetaplah kamu, Yuzdeline, cara bicaramu ..., gak pernah memerhatikan perasaan orang lain," celetuk Calvino menegaskan ekspresi wajahnya.
Lalu, dia melepaskan wanita yang ada di sisinya.
Jika Yuzdeline, setelah mendengar hal itu, dia akan mengamuk dan menghancurkan semua benda yang ada, namun ini adalah Caroline.
Gadis dengan alis tebal alami itu malah tertawa seraya dia melipat tangan di depan dada. "Apakah kata-kataku, salah?" gumamnya melangkah lebih dekat dengan Calvino.
"Wanita mana yang berani mendekati suami orang terang-terangan, kalau bukan seorang wanita kegatalan? Istilah lainnya adalah ..., pe-la-c*r," tekannya lebih tajam dibanding detik yang telah berlalu.
Calvino menggeram. Dia tak begitu menyukai wanita dengan tutur kata kasar seperti ini, namun, di sisi lain, dia memahami mengapa istrinya berkata demikian, dia hanya abai dan tak peduli dengan rasa sakit yang menggerogoti sang istri.
Dia menantang. Melebarkan dada sambil menekuk leher ke kiri satu kali. "Jaga bicaramu, Yuzdeline. Kamu adalah istri dari putra pewaris Harmoine Diamond Group, kamu harus berkata l—"
"Sssttt ...." Sebelum Calvino berhasil menuntaskan ucapan, Caroline telah membungkam lelaki di depannya dengan beberapa jari tangan kanan.
Caroline menyunggingkan senyum menantang pada Calvino yang sesekali dia alihkan pada Kiara. "Ya! Aku paham, dan aku sadar diri. Aku ...?" katanya menunjuk dirinya sendiri.
"Istri yang dijodohkan karena kerjasama bisnis adalah wanita yang pantas direndahkan, diinjak-injak sampai habis, diabaikan, tidak dipedulikan layaknya manusia dibanding wanita yang menyerahkan dirinya untuk disentuh sesuka hati! Mu ra han!" gertak Caroline menebar pandang lebih tajam.
Hidung mengkerut lebih dalam dari bayangan. Pendar mata Caroline berkaca-kaca, berkabut kemerahan.
Kata-kata itu sudah cukup menyakitkan. Caroline mulai merasa bersalah mengatakan hal itu, tapi dia harus melakukannya.
(Jawaban apa yang akan diberikan Calvino? Bagaimana dengan Kiara? Wanita itu jelas merasa sakit hati, nyalinya menciut? Menurut kalian, apa yang akan terjadi selanjutnya?)
To be continued ....
Moga aja Calvino gk kebablasan
nasib mu yuz, anyep bgt