Heera Zanita. Besar disebuah panti asuhan di mana dia tidak tahu siapa orang tuanya. Nama hanya satu-satunya identitas yang dia miliki saat ini. Dengan riwayat sekolah sekedarnya, Heera bekerja disebuah perusahaan jasa bersih-bersih rumah.
Disaat teman-teman senasibnya bahagia karena di adopsi oleh keluarga. Heera sama sekali tidak menginginkannya, dia hanya ingin fokus pada hidupnya.
Mencari orang tua kandungnya. Heera tidak meminta keluarga yang utuh. Dia hanya ingin tahu alasannya dibuang dan tidak diinginkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dian Fauziah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
4
Selesai membersihkan semuanya. Aku berniat untuk masuk ke kamar dan melihat isi kotak itu. Sampai aku melihat Mada tengah duduk dengan kotak yang terbuka. Kotak milikku yang aku sendiri belum melihat isinya.
"Kenapa kamu melihat ini?" Aku langsung mengambil paksa kotak itu.
Mada menatapku. Dia tidak merasa bersalah sekali. Padahal aku merasa kecewa karena dia membuka barang milik orang lain tanpa izin.
"Kamu bisa pergi. Bukan kah sudah cukup untuk istirahat?"
"Aku hanya melihat isi kotak itu. Kenapa kau sangat marah?"
Mada meletakkan uang yang menjadi bayaran masak. Lalu pergi begitu saja tanpa kata maaf. Aku kesal tapi mau bagaimana lagi semua sudah terjadi. Mada juga tidak tahu kalau ini kotak yang berharga untukku.
Sebuah kalung dengan liontin bunga mawar terlihat di dalam kotak itu. Ditengah bunga itu ada inisial namaku, H. Hanya kalung, bagaimana bisa aku menemui orang tua kandungku.
Lama aku menatapnya, tidak tahu harus berbuat apa. Sampai di titik aku memilih memakai kalung itu. Berharap suatu hari akan menemukan petunjuk lain. Entahlah, aku hanya bisa berharap saat ini.
*.*.*.*
"Kenapa kemarin kamu tidak berangkat?" tanya Pak Anton saat aku masuk ke kantor.
Pak Anton adalah pemilik perusahaan bersih-bersih ini. Dulu saat aku kebingungan harus apa, Pak Anton datang di saat yang tepat. Aku diterima kerja di perusahaan ini membuat aku bisa bertahan sampai di titik ini.
"Aku sudah izin sama admin, Pak. Ibu Lia sakit, jadi aku menjenguknya."
Pak Anton mengangguk lalu kembali ke ruangannya. Aku kira akan dimarahi, ternyata hanya di tanya saja. Sampai di kantor aku melihat data klien yang belum mendapatkan orang untuk membersihkan rumah.
"Perumahan Anggrek nomor lima."
Selesai mencatat dan menandai klien itu aku langsung keluar kantor menuju rumah klien. Kali ini aku berjalan kaki karena tidak jauh juga dari kantor. Rambut yang awalnya tergerai aku ikat agar lebih leluasa saat bergerak.
Sampai di depan rumah yang cukup besar aku berhenti. Untuk memastikan kembali aku melihat isi ponselku. Benar. Tanpa ragu aku mengetuk pintu.
Tidak menunggu lama sampai pintu terbuka. Seorang wanita yang sudah tidak lagi muda keluar menemui ku. Pakaiannya terlihat mewah namun dia terlihat sangat ramah.
"Apa kamu yang akan membersihkan rumah?" tanyanya lembut
"Benar, Bu. Saya Heera dari Home Clean."
"Ayo masuk. Maaf merepotkan mu. Aku Melati. Panggil saya Oma Mela."
"Baik, Oma Mela."
Baru masuk rumah aku sudah dikejutkan dengan ruangan yang penuh dengan barang pecah. Mungkin gelas, guci atau hal semacamnya. Sangat berantakan. Bahkan di beberapa titik ada tumpahan air entah jus atau anggur.
Beberapa lukisan dinding juga tampak tergeletak tanpa aturan. Seperti baru saja terjadi kericuhan di dalam rumah ini. Mau kepo, tapi itu bukan pekerjaanku. Aku hanya bekerja untuk membersihkan saja.
"Apa kamu bisa menyelesaikannya dengan cepat?"
"Apa hanya ruangan ini, Oma?"
Tidak mungkin bisa cepat jika satu rumah yang seperti ini. Jadi, lebih baik aku bertanya agar bisa mengira-ira waktu yang aku butuhkan.
"Masih ada satu ruangan lagi. Namun, Oma minta kamu hati-hati ya. Itu ruangan khusus di rumah ini."
"Baik, Bu. Mungkin saya membutuhkan waktu dua atau tiga jam."
"Baguslah. Kamu bisa mulai, saya ingin istirahat dulu."
"Tunggu, Oma. Apa bisa antarkan saya ke ruangan itu. Agar nanti tidak mengganggu waktu istirahat Anda."
"Benar juga. Ayo ikut."
Rumah itu memang besar. Hanya ruang tamu saja yang berantakan, ruangan lain jelas terlihat rapi dan bersih. Disudut rumah, sebuah ruangan dengan pintu kayu mulai terlihat.
Perlahan Oma Mela itu membukakan pintu untuk diriku. Aku melihat di dalam ruangan itu. Bersih dan rapi, jelas tidak perlu untuk di bersihkan. Lalu kenapa aku diminta untuk membersihkannya.
"Oma, sepertinya ruangan ini bersih dan rapi. Kenapa saya diminta untuk membersihkannya lagi."
"Bukan ruangan ini tapi isi almari dari ruangan ini. Tolong buang semuanya, jangan sampai ada yang tersisa."
"Baik, Bu."
Setelah pemilik rumah pergi ke lantai dua. Aku mulai menyiapkan semuanya. Tanpa menunggu lama aku sudah mulai membersihkan ruang tamu. Baru setelah itu aku bisa membersihkan isi almari di kamar itu.
Satu jam berlalu. Keringat membasahi diriku karena benar-benar menguras tenaga. Apa lagi saat mengangkat lukisan yang aku kira ringan. Setelah menyemprotkan pewangi ruangan aku masuk kembali ke kamar yang diminta untuk dibersihkan.
Almari itu penuh dengan baju, sepatu dan banyak yang lain. Bagus-bagus semua, tapi tuan rumah memintaku untuk membuang semuanya. Aku bisa apa, jadi aku mengambil plastik sampah besar untuk mengumpulkannya.
"Kamu siapa?!"
Jantungku rasanya mau lepas saat seorang pria tiba-tiba masuk ke ruangan itu. Tanpa menunggu penjelasan dariku. Dia langsung menarik tubuhku keluar dan melepaskannya begitu saja.
Badanku yang tidak seimbang sampai menabrak sebuah meja dengan vas bunga di atasnya. Benar saja, vas itu terjatuh dan menimbulkan suara gaduh.
"Siapa yang menyuruhmu masuk kesana?"
"Maaf, Pak. Saya diminta untuk membersihkan."
"Aku bertanya siapa yang menyuruhmu!"
"Maaf, Pak. Pemilik rumah ini yang memintaku datang."
Aku hanya bisa menunduk takut. Bukan karena aku salah tapi kemarahan yang membabi buta seperti ini bisa melukai diriku kapan saja. Lebih baik aku berhati-hati.
"Arga. Kamu sudah kembali?" tanya Oma Mela sembari menuruni anak tangga.
"Dia siapa Bu? Kenapa berani masuk ke kamar Heni?"
"Dia petugas bersih-bersih. Ibu yang memintanya datang."
"Sudah aku bilang jangan ada yang masuk ke kamar Heni, Bu."
"Sudah lebih lima belas tahun Arga. Kenapa kau masih mengingatnya."
"Cintaku hanya untuk dia, Bu. Bukan yang lain."
Mendengar semua itu membuat diriku merasa aneh. Aku tidak paham dengan apa yang mereka bicarakan. Heni, cinta, masa lalu.
"Maaf," aku mencoba menginterupsi obrolan ibu dan anak itu.
"Heni. Apa itu kamu?" tanya pria bernama Arga itu sembari memegang bahuku.
"Maaf, Pak. Anda salah orang," kataku sembari melepaskan diri darinya.
Oma Mela juga membantuku untuk menjauh dari pria yang terus memanggilku Heni. Entah karena apa tapi lama kelamaan pria bernama Arga itu hilang kendali. Sampai Oma Mela meminta dua satpam membantunya membawa Pak Arga masuk ke sebuah kamar.
"Maaf, Heera. Kamu jadi melihat semua ini," kata Oma Melati.
Aku hanya mengangguk pelan. Sampai tidak sadar Oma Mela terus menatap ke arah wajahku.
"Maaf, Oma. Apa ada yang salah dariku?"
"Tidak ada. Terima kasih untuk hari ini Heera. Ini terimalah."
"Tidak perlu Oma. Oma sudah membayar ke perusahaan. Tidak perlu lagi memberikan aku uang."
"Terima saja. Lagi pula tanganmu terluka karena Arga."
"Terima kasih, Oma."
"Sama-sama."