NovelToon NovelToon
Kurebut Suamiku

Kurebut Suamiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Lari Saat Hamil / Pelakor / Penyesalan Suami
Popularitas:1.9k
Nilai: 5
Nama Author: megatron

Sagara mengalami hilang ingatan setelah kecelakaan tragis, tidak ada kenangan Lania dalam pikirannya.

Lania merasa sedih, terlebih-lebih Sagara hanya mengingat sekertaris-nya yang tak lain adalah Adisty.

Peristiwa ini dimanfaatkan Adisty untuk menghasut Sagara agar menceraikan Lania.

Lantas, dapat kah Liana mempertahankan rumah tangganya?
Apakah ingatan Sagara akan kembali?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon megatron, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Topeng Kemunafikan

Cahaya matahari menyusup dari celah-celah tirai putih yang melambai pelan tertiup angin. Di balik kaca jendela besar yang menghadap ke hutan pinus, Adisty berdiri sambil menggenggam ponselnya erat. Jemarinya mengetuk-ngetuk sisi ponsel, seolah sedang menahan gelisah yang terselubung rapi dalam wajah tenangnya.

Ruangan vila itu sepi, hanya terdengar bunyi detak jam dinding dan suara burung dari kejauhan. Adisty melangkah ke balkon, memastikan tak ada siapa pun di sekitar. Dia menekan satu nama di daftar kontaknya—tanpa nama, hanya angka acak yang disamarkan.

Nada sambung terdengar sebentar, lalu seseorang mengangkat. Suaranya berat dan tak mengenalkan diri.

“Sudah?” tanya Adisty datar, tapi tajam. Matanya menatap lurus ke lembah hijau di kejauhan.

Terdengar suara di seberang, samar, terdengar menjawab, "Kecelakaannya cukup parah. Tapi belum pasti ... ada seorang pria yang membawanya."

Adisty mendesis pelan, lalu mengecap bibirnya. “Kau bilang ini akan beres dalam sekali gerak.”

“Itu jalan umum. Ada pengendara lain. Kami tidak bisa–”

“Alasan,” potong Adisty, tajam. Dia menggenggam pagar balkon, jari-jarinya memutih.

Sejenak dia diam, menarik napas panjang, lalu menurunkan nada bicaranya.

Suara di seberang terdengar berat dan tegang. “Kami bisa buat dia diam... kalau kau mau naikkan bayarannya.”

Adisty menyipitkan mata, lalu tersenyum kecil—senyum tanpa rasa.

“Kau akan dibayar... setelah dia benar-benar menghilang. Atau bayinya tidak selamat.”

Klik. Telepon ditutup.

Adisty berdiri membeku beberapa detik, lalu menoleh ke dalam vila. Tatapannya tajam, penuh perhitungan. Sudut bibir terangkat tipis, sorot matanya membekukan.

Adisty segera masuk ke rumah, melintasi ruang santai. Udara di perbukitan Bogor terasa lebih dingin meski mentari menggantung tinggi di langit.

Dia sengaja memilih Vila yang berdiri menyendiri di balik lebatnya pepohonan, jalan menuju ke lokasi hanya setapak berliku yang jarang dilalui. Arsitekturnya bergaya modern tropis—berbahan batu alam, kayu jati, dan jendela kaca besar yang menghadap ke lembah hijau.

Suara dedaunan berdesir tertiup angin dan sesekali burung-burung kecil berkicau di kejauhan. Tak ada suara kendaraan. Tak ada sinyal ponsel yang stabil. Hanya ketenangan... yang bagi Adisty, adalah kemewahan sekaligus tameng sempurna.

Di dalam vila, aroma lavender dari diffuser menyatu dengan dinginnya ruangan ber-AC. Tirai-tipis bergoyang pelan, membiaskan cahaya ke dinding-dinding kayu yang hangat.

“Urusanmu sudah selesai?”

Adisty mengabaikan pertanyaan itu dan duduk di atas sofa panjang berlapis linen putih, mengenakan gaun santai berwarna krem pucat. Di hadapannya, seorang pria bertubuh tegap—berwajah rupawan dengan dagu tegas dan senyum yang dibuat-buat. Pacar bayarannya, Tegar.

Tegar sedang menuangkan wine ke gelas kaca, lalu menyerahkannya pada Adisty.

“Aku kira hubungan kita berakhir setelah mereka mengenal kita sebagai pasangan.” Pernyataan itu terlontar begitu saja dari bibir Tegar. Dia tampak menyender santai. “Apa kamu mulai menganggap ini cinta sungguh?”

Adisty mengambil gelas itu tanpa menatapnya. Dia mengarahkan pandangannya ke luar jendela, ke hutan pinus yang menjulang. Wajahnya tenang, tetapi matanya menyimpan rencana.

“Hah! Yang benar saja,” jawabnya dingin. “Mereka sudah melihat apa yang ingin ku perlihatkan. Aku membayar mu untuk menghiburku, tidak lebih dari itu.”

Tawa kecil terdengar, Tegar berdiri lalu duduk di sampingnya.

“Dan Sagara? Masih jadi bagian dari permainanmu?”

“Dia akan kehilangan arah... pelan-pelan. Dan ketika dia mulai meragukan segalanya—termasuk Lania—saat itu aku akan ada di sisinya. Bukan sebagai wanita yang memaksa... tapi satu-satunya yang tetap tinggal.”

Suasana di antara mereka hening sejenak. Hanya terdengar detik jam dan desir angin pendingin ruangan.

“Itu terlalu sulut, mengapa tidak mencoba mengenalku lebih jauh. Mungkin, kita bisa membangun cinta sungguhan?” tanya Tegar perlahan, nyaris retoris.

Adisty berdiri, melangkah ke balkon. Angin menyibak helaian rambutnya.

“Hidup tidak cukup hanya makan cinta, aku butuh jabatan.”

Dia meneguk wine-nya, lalu meletakkan gelas itu dengan tenang di pagar balkon. Wajahnya masih menghadap ke hamparan hutan.

Tegar tidak bisa mengalihkan perhatian meski dari dalam. Ada sesuatu yang tidak bisa dia pahami dari perempuan itu—dingin, rapuh, dan sangat terlatih untuk menipu… bahkan mungkin dirinya sendiri.

“Besok lusa kita kembali ke Jakarta,” putus Adisty.

***

Tiga hari berikutnya, Adisty tiba di Jakarta. Udara siang itu lengket dan panas, tetapi pendingin ruangan di dalam lobi kantor membuat suasananya seolah jauh dari riuh kota. Langit di luar mendung samar, menambah kesan muram pada hari yang sebenarnya berjalan biasa saja.

Adisty baru saja melangkah keluar dari lift, mengenakan setelan kerja berwarna pastel dengan sepatu hak tinggi yang menyuarakan ketukan rapi di atas lantai marmer. Dia sedang sibuk membuka pesan di ponselnya ketika sebuah suara tergesa memanggilnya dari arah resepsionis.

“Mbak Adisty! Mbak, Pak Sagara sedang di rumah sakit, kemarin...”

“Sagara sakit?” suaranya mengandung nada panik, tapi tidak bergetar. Justru terlalu terkendali. “Di mana sekarang? Rumah sakit mana?”

Tubuhnya langsung membeku sepersekian detik sebelum melangkah cepat ke arah meja depan. Wajah Adisty pun gampang menyesuaikan dengan situasi. Kedua alisnya naik, matanya membelalak sedikit—gerak refleks yang sudah dilatih bertahun-tahun.

Satu tangan memegang ponsel, yang satunya mencengkeram tas kecilnya. Sekilas, semua tampak nyata—peduli, syok, dan cemas. Namun jika seseorang memperhatikan lebih dalam, mata Adisty tidak benar-benar menunjukkan kepanikan. Semua terlalu terkontrol. Terlalu cepat menyesuaikan diri.

Dalam hati, Adisty sudah memproses kabar itu sebagai celah baru. Luka ringan berarti akan ada simpati. Akan ada ruang untuk masuk… lagi.

Saat salah satu staf menyerahkan nama rumah sakit, Adisty menerima kertas itu dengan tangan sedikit gemetar—gemetar yang disengaja.

“Saya ke sana sekarang,” ujarnya cepat, lalu berbalik sambil mengetik pesan di ponselnya—bukan ke keluarga, tapi ke seseorang lain.

Pesannya singkat:

‘Aku harap menerima kabar baik begitu tiba di rumah sakit.’

Langkahnya menuju mobil terlihat tergesa, mencerminkan kegugupan. Dia tahu siapa yang mungkin akan ada di rumah sakit—Pandu. Sagara tidak akan menyukai hal itu—tetapi begitulah perusahaan yang berbumbu cinta.

Dan dia harus tampil sempurna di depan Sagara. Peduli. Meski menjadi satu-satunya yang terlambat datang. Adisty harus membuat rencana untuk memojokkan Pandu, supaya benar-benar membuka topeng kemunafikan.

Dalam mobil, wajahnya kembali tenang. Adisty merapikan rambut di kaca spion, lalu berkata pada dirinya sendiri.

“Sagara akan butuh pundak untuk bersandar... dan aku akan jadi pilihan paling masuk akal.”

Lorong rumah sakit itu sunyi, hanya terdengar langkah-langkah petugas dan aroma khas antiseptik yang menyengat di udara. Lampu-lampu putih menyinari dinding krem pucat, menciptakan suasana steril dan dingin. Di ujung lorong, ruang IGD terlihat sibuk, tetapi tak ada suara gaduh. Hanya gumam pelan, desahan kekhawatiran, dan bunyi alat medis yang sesekali berbunyi.

1
[AIANA]
wah dia bukan mak lampir, ternyata dia iblis,
[AIANA]
mak lampir plis hus hus hus.
[AIANA]
tantang aja. kalau kamu (Sagara) masih memperlakukan lania dg buruk dan memilih mak lampir, aku dg tangan terbuka akan menampungnya. hahahaha
Mega: Hahaha, siap jadiin ayam geprek ya.
total 1 replies
Queenci Kim
💃🏻💃🏻
Iza
😭😭😭
[AIANA]
nah, jadi orang bodoh lagi kan. sebel aku lama2
Mega: Sabar-sabar, masih awal.
total 1 replies
[AIANA]
ini si Sagara, sekalipun ilang ingatan. sekalipun yg dia ingat adalah perdebatan tentang perceraian. kok dia lupa sama hatinya ya? ada hal lain kah yg belum dibahas?

jujur selain hasutan nenek lampir, atau ingatan ttg Lania, smp saat ini keinginan sagara sendiri ga jelas
Mega: Sagara jadi korban penulis plin-plan. kikikikik
total 1 replies
[AIANA]
waktu istri
Mega: Banyak banget typo ternyata ya. kikikikik. nulisnya sambil-sambil. Nanti, deh, revisi lagi. makasih
total 1 replies
[AIANA]
bentar, aku ga salah kan? skg ini si Lania kondisi hamil kan ya?
Mega: Iya, kikikikikikik.
total 1 replies
Mega
MasyaAllah dapat kejutan aku. Makasih sudah sempatkan mampir. kikikikikikik
[AIANA]
lihai bener sih ini nenek lampir
kamu dapat inspirasi dari mana jal
[AIANA]
meninggal kamar. sereeem.
hai sayang. aku datang karena penasaran
Mega: Ayo mulai nulis lagi
[AIANA]: semangat!!! aku bangga padamu. kamu aja kyk gt apalagi aku. malu udah hiatus 1th
total 3 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!