Gara-gara fitnah hamil, Emily Zara Azalea—siswi SMA paling bar-bar—harus nikah diam-diam dengan guru baru di sekolah, Haidar Zidan Alfarizqi. Ganteng, kalem, tapi nyebelin kalau lagi sok cool.
Di sekolah manggil “Pak”, di rumah manggil “Mas”.
Pernikahan mereka penuh drama, rahasia, dan... perasaan yang tumbuh diam-diam.
Tapi apa cinta bisa bertahan kalau masa lalu dari keduanya datang lagi dan semua rahasia terancam terbongkar?
Baca selengkapnya hanya di NovelToon
IG: Ijahkhadijah92
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bukti Baru
Pukul delapan malam. Langit kota diliputi mendung, angin dingin meniupkan rasa gelisah yang makin mencekam.
Emily mengenakan hoodie gelap dan masker. Ia melangkah cepat keluar dari rumah dengan hati berdebar. Tempat yang dituju adalah parkiran lama di belakang minimarket yang sudah lama tak terpakai. Tempat itu sepi, tak terjangkau CCTV, dan sudah menjadi lokasi ‘terlarang’ bagi siswa sekolah.
Langkahnya terhenti ketika melihat siluet seseorang berdiri di bawah tiang lampu yang remang.
"Emily?" suara itu terdengar serak, seperti sengaja ditahan.
Emily mendekat waspada. "Lo yang kirim pesan?"
Orang itu mengangguk. Seorang remaja laki-laki yang dulu kakak kelasnya, dan pernah dekat dengan sepupunya, Disa.
"Gue tahu siapa yang nyelipin dus itu ke tas lo," ucapnya.
Emily menatapnya curiga. "Kenapa lo baru bilang sekarang?"
Remaja itu menunduk. "Karena... gue juga dipaksa tutup mulut. Mereka ngancam nyebarin video gue kalau gue buka suara."
Belum sempat Emily bertanya lebih jauh, tiba-tiba kilatan lampu kamera dari kejauhan menyala. Beberapa detik saja, tapi cukup untuk mengabadikan momen Emily bertemu dengan seorang laki-laki di tempat gelap malam hari.
Emily refleks menoleh. Tapi yang ia lihat hanya siluet seseorang berlari cepat menjauh, membawa kamera. Napasnya tercekat.
“Itu jebakan?”
Remaja itu tampak panik. “Gue nggak tahu mereka masih ngikutin. Sumpah, gue cuma mau bantu!”
Emily tak bisa berkata apa-apa lagi. Ia kabur dari tempat itu dengan dada sesak. Ia tahu… semuanya sudah terlambat.
Keesokan harinya…
Foto Emily dan pria itu menyebar seperti api. Disertai narasi yang keji:
“Ketahuan tengah malam ketemuan diam-diam di parkiran tua. Masih bilang polos?”
Berita itu menyebar cepat di grup sekolah, wali murid, bahkan komunitas keluarga besar Emily di media sosial.
Keluarga Disa kembali punya amunisi.
"Kalau begini masih mau bilang anakmu suci, Rakha?" sindir Andri saat keluarga kembali dipanggil berkumpul.
Rakha berdiri membeku. Indira menunduk menahan tangis. Emily tak bisa berkata apa pun karena semua bukti seperti melawannya.
Yang paling menghancurkan… adalah Rafael.
Ia membaca berita itu dari grup kampus, lengkap dengan foto.
Ia tak menanyakan apa-apa. Tak menelepon. Tak muncul. Hanya… menghilang.
Satu minggu setelahnya, akun Instagram Rafael memperbarui bio:
“Doakan skripsi saya dan pasangan saya lancar.”
Pasangan?
Emily seperti dibunuh hidup-hidup.
Danish kembali bicara dingin.
“Sampai di sini saja. Nama keluarga cukup ternoda. Mulai hari ini, Emily tidak perlu ikut kegiatan keluarga. Dan saya tak ingin namanya disebut di acara resmi mana pun.”
Emily mendongak, matanya memerah. “Opa, aku—”
“Cukup,” potong Daniah. “Sebelum semua semakin rusak, lebih baik saya cuci tangan. Jangan harap kamu bisa pakai nama keluarga ini untuk lari dari masalah.”
Emily berdiri pelan. Tanpa kata.
Ia tahu, ia harus berdiri sendiri.
***
Rakha duduk di ruang tamu dengan wajah yang makin suram. Sejak pagi, ponselnya tak berhenti bergetar karena pesan-pesan yang masuk dari kolega, tetangga, hingga kerabat jauh. Semuanya bertanya hal yang sama: "Apa benar soal Emily?"
Ia menghela napas panjang, hendak berdiri ketika suara pintu pagar diketuk cepat.
“Permisi… Om Rakha!”
Pintu dibuka oleh salah satu asisten rumah tangga. Seorang remaja laki-laki berdiri di depan, wajahnya pucat, napasnya tersengal.
“Masuk,” ucap Rakha tanpa banyak bicara, karena ia mengenali wajah anak itu. Remaja yang terekam kamera bersama Emily di parkiran malam itu.
“Saya harus bicara, Om. Ini penting. Ini… demi Emily.”
Rakha mengangguk, mempersilakannya duduk. “Bicara.”
Remaja itu mengeluarkan flashdisk dan selembar kertas. Tangannya gemetar saat menyodorkannya.
“Ini rekaman CCTV dari toko sebelah apotek, Om. Toko itu ada kamera luar. Di sini kelihatan jelas, yang beli alat tes itu bukan Emily. Tapi… Disa.”
Rakha tersentak. “Apa?!”
“Dan ini… isi chat dari salah satu akun fake. Dia ngancam saya supaya diam. Saya tahu itu dari pihak Disa karena bahasa yang dipakai sama dengan gaya DM dari temannya.”
Rakha mengepal tangannya, wajahnya menegang.
“Kenapa kamu baru bilang sekarang?”
“Saya takut, Om. Tapi setelah lihat Emily difitnah terus… saya nggak kuat. Saya tahu Emily nggak salah. Saya yakin dia korban.”
Rakha bangkit dari duduknya. “Ayo ikut saya.”
Hari itu juga, Rakha membawa semua bukti ke rumah besar sang ayah, tempat keluarga besar berkumpul. Di sana sudah ada Danish, Andri (ayah Disa), dan beberapa kerabat lain yang terlihat sangat ‘haus drama’.
“Pa,” ucap Rakha dengan nada tegas. “Saya tahu semua yang tersebar itu palsu. Dan saya punya bukti.”
Ia menyalakan laptop, memutar video dari flashdisk yang diberikan. Dalam video itu, terlihat jelas seorang perempuan—yang ternyata Disa—membeli alat tes kehamilan. Wajahnya tertangkap kamera toko dengan jelas.
Beberapa orang tampak kaget, termasuk Andri yang matanya membesar.
“Dan ini,” Rakha menunjukkan transkrip chat. “Anak ini diancam kalau dia buka suara. Artinya, semua ini… dijebak.”
Suasana mendadak hening.
Namun, sang Opa tetap tak bergeming. Ia bersandar di kursinya, menatap Rakha tajam.
“Kamu pikir semua bisa dibetulkan dengan bukti ini?” tanyanya dingin. “Gosip sudah tersebar. Nama keluarga kita sudah jadi bahan gunjingan. Apa kamu bisa menarik itu semua kembali?”
Rakha mengepal tangannya. “Setidaknya, saya ingin Papa tahu bahwa anak saya… tidak bersalah.”
“Terlambat, Rakha,” kata Danish tanpa ragu. “Terlalu banyak orang yang sudah percaya gosip itu. Terlalu banyak aib yang sudah telanjur dikaitkan dengan nama keluarga kita. Dan terlalu banyak bisikan yang saya dengar… termasuk soal siapa Emily sebenarnya.”
Rakha menegang. “Maksud Papa?”
“Anak perempuanmu terlalu bebas. Terlalu keras kepala. Nama besar keluarga ini tidak cocok dititipkan padanya. Dan jika kamu tetap membelanya, kamu juga akan aku anggap sebagai beban.”
Deg.
Rakha terdiam. Matanya mulai memerah.
“Terserah Papa,” ucapnya akhirnya. “Tapi saya tetap akan berdiri untuk Emily. Karena saya tahu… anak saya tidak seperti yang kalian bilang.”
Rakha menatap sekeliling. Semua wajah tampak dingin, penuh penilaian. Tak ada satu pun yang berdiri membela Emily, bahkan setelah bukti kebenaran ditunjukkan.
Namun Rakha tak peduli. Hari itu ia pulang ke rumah dengan satu keputusan:
Ia akan melindungi Emily, meski harus melawan semua orang.
Sikap Bar-bar Emily yang tidak disukai banyak orang menjadi senjata mereka untuk menjatuhkan Emily. Tapi menurut Rakha, Emily bisa menyesuaikan diri. Tapi kebencian orang hanya akan melihat dari kesalahannya saja.
Emily anak yang patuh, dia bisa menghargai orang lain dan dia juga anak yang cerdas. Apa Rakha salah membiarkan Emily 'bebas' di masa remajanya? Karena Rakha juga sudah mempunyai tujuan untuk kedepannya nanti. Jadi, selama masih dalam batas wajar menurutnya tidak masalah.
Rakha tahu tempat tongkrongan Emily dan teman-temannya, bahkan dengan teman-temannya juga dia kenal karena mereka sesekali Rakha undang ke rumah untuk hanya sekedar makan-makan. Tapi... Rakha hanya bisa menggeleng pelan, dia tidak bisa memaksakan pandangan orang lain.
***
Keesokan harinya.
"Mas, Emily gak mau keluar kamar sejak kemarin. Makan juga dia tidak mau. Aku sudah membawa ke kamarnya, tapi dia tidak memakannya."
Bersambung