Di balik gaun pengantin dan senyuman formal, tersembunyi dua jiwa yang sejak lama kehilangan arti cinta.
Andre Suthajningrat—anak dari istri kedua seorang bangsawan modern, selalu dipinggirkan, dibentuk oleh hinaan dan pembuktian yang sunyi. Di balik kesuksesannya sebagai pengusaha real estate, tersimpan luka dalam yang tak pernah sembuh.
Lily Halimansyah—cucu mantan presiden diktator yang namanya masih membayangi sejarah negeri. Dingin, cerdas, dan terlalu terbiasa hidup tanpa kasih sayang. Ia adalah perempuan yang terus dijadikan alat politik, bahkan oleh ayahnya sendiri.
Saat adik tiri Andre menolak perjodohan, Lily dijatuhkan ke pelukan Andre—pernikahan tanpa cinta, tanpa pilihan.
Namun di balik kehampaan itu, keduanya menemukan cermin dari luka masing-masing. Intrik keluarga, kehancuran bisnis, dan bayang-bayang masa lalu menjerat mereka dari segala sisi. Tapi cinta… tumbuh di ruang-ruang yang retak.
Bisakah dua orang yang tak pernah dicintai, akhirnya belajar mencintai?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
Pagi itu, Hotel Raffles Jakarta memancarkan kemewahannya dalam kesunyian yang jarang ada di hari Senin. Restoran hotel yang biasanya dipenuhi tamu bisnis dan diplomat pagi-pagi, kini hampir kosong. Sebagian besar pengunjung check-out lebih awal atau memilih sarapan di lounge pribadi.
Di suite 2101, cahaya matahari menyusup dari balik tirai sheer berwarna krem yang mengalir lembut di jendela besar. Di kamar sisi timur, Lily membuka matanya dengan pelan. Rambutnya sedikit kusut, tapi wajahnya masih tampak cantik dengan cahaya natural yang jatuh di pipi.
Ia bangun, berjalan ke ruang tengah dan mendapati Andre sudah duduk di meja makan kecil dekat jendela, mengenakan kaus putih dan celana santai linen abu-abu. Rambutnya sedikit basah—mungkin habis mencuci muka. Di tangannya, ada secangkir kopi.
“Pagi,” ucap Lily sembari menarik kursi dan duduk di seberangnya.
Andre menoleh. “Pagi. Tidurmu nyenyak?”
“Cukup,” jawabnya sambil menuang teh ke cangkirnya sendiri. “Aku pikir aku akan merasa canggung. Tapi ternyata… aku terlalu lelah untuk berpikir.”
Andre tersenyum tipis. “Kita sama.”
Menu sarapan mereka sudah tersaji sejak sepuluh menit lalu: roti sourdough hangat, scrambled egg lembut, smoked salmon, potongan buah tropis, dan jus segar. Andre makan perlahan, sesekali memperhatikan Lily yang masih mengenakan kaus tidur satin berwarna nude dan celana pendek selutut.
“Aku akan turun berenang,” kata Lily tiba-tiba, memotong keheningan yang tenang. “Katanya kolam renangnya cantik.”
Andre mengangguk. “Aku ikut. Tapi kamu duluan aja. Aku mau telepon tim sebentar.”
Lily berdiri, membetulkan rambutnya yang setengah terikat. “Aku tunggu di bawah, kalau kamu berubah pikiran.”
Andre hanya menatapnya sambil menyeruput kopi.
Begitu Lily masuk ke kamar mandi dan pintu tertutup, Andre menghela napas pelan. Ia tahu ia sedang mencoba untuk tetap tenang, tapi kenyataannya—perempuan itu makin sulit untuk tidak diperhatikan.
...****************...
Kolam renang utama hotel terletak di lantai empat, terpisah dari spa dan gym. Jalur menuju ke sana melewati lorong marmer dengan dinding kaca yang memperlihatkan lanskap taman tropis yang ditata artistik. Beberapa kursi santai rotan modern berjejer di pinggir kolam, sebagian ditutup dengan payung kain putih gading.
Lily turun dengan balutan kimono handuk hotel. Di bawahnya, ia mengenakan swimsuit one-piece berwarna hitam dengan potongan punggung rendah dan detail simpul di bagian samping. Rambutnya diikat tinggi, dan wajahnya bersih tanpa makeup—menampilkan kecantikannya yang alami.
Ia berjalan menuju kolam tanpa banyak perhatian dari staf hotel, yang bersikap sangat profesional. Karena hari itu sepi, hanya ada satu pasangan lansia duduk membaca buku di pojok. Selebihnya, kolam itu seperti milik pribadi.
Lily melepas handuknya dan menaruhnya di kursi. Ia masuk ke kolam pelan, membiarkan tubuhnya beradaptasi dengan suhu air yang dingin tapi menyegarkan. Ia berenang dengan gaya bebas ringan, tidak terburu-buru—hanya ingin menikmati momen tenang.
...****************...
Sepuluh menit kemudian, Andre turun dengan kaus longgar dan celana renang biru navy. Ia membawa handuk dan menaruhnya di bangku paling ujung.
Begitu matanya menangkap Lily di dalam air, langkahnya otomatis melambat.
Ia tidak tahu harus kagum pada apa lebih dulu—kelembutan lekuk tubuh Lily, cara bahunya bergerak seiring gerakan tangan saat berenang, atau bagaimana rambutnya membentuk gelombang basah yang menjuntai ke leher. Kulitnya terlihat bersih dan sehat, memantulkan cahaya matahari pagi yang turun dari sela-sela dedaunan taman.
Andre nyaris tidak sadar bahwa ia sedang menatap terlalu lama. Sampai Lily menoleh dan menyapanya dari dalam air.
“Kami beneran ikut,” katanya, tersenyum kecil.
Andre mengangguk, membuang tatapannya sebentar. “Kelihatan menyenangkan.”
Ia melepaskan kaus dan masuk ke kolam, menghampiri Lily dengan tenang. Mereka berenang di jalur masing-masing, tidak terlalu dekat, tapi cukup untuk saling merasakan kehadiran.
Lily menenggelamkan dirinya sesaat, lalu muncul dengan nafas panjang.
Andre menoleh. “Kamu sering berenang?”
“Cukup. Di rumah Ayah ada kolam. Tapi lebih sering renang di tempat umum buat melepas stres,” jawab Lily sambil menahan napas di ujung kolam.
“Kenapa? Kamu stres?”
Lily menyeringai kecil. “Kamu lihat siapa ayahku?”
Andre tertawa pelan. “Poin untukmu.”
...****************...
Beberapa menit setelah mereka berputar beberapa kali, Lily tiba-tiba berhenti dan meringis. Tangannya meraih betis kirinya.
“Ah… kramp,” desisnya.
Andre langsung menghampiri. “Di mana?”
“Betis… kiri. Sakit banget,” ucapnya terbata, tubuhnya mulai turun karena kehilangan keseimbangan.
Tanpa pikir panjang, Andre meraih tubuh Lily dan menariknya ke pelukannya. Ia menahan tubuh Lily dari belakang, menopangnya ke permukaan air, lalu meraih kakinya pelan.
“Relaks… tarik napas. Aku bantu,” katanya, menekan betis Lily dengan gerakan memijat.
Lily meringis, tubuhnya bersandar ke dada Andre yang hangat. Jantungnya berdetak cepat bukan hanya karena sakit—tapi karena kedekatan fisik yang mendadak ini.
Andre merasa tubuh Lily gemetar. Ia menunduk dan berbisik pelan, “Kamu oke?”
Lily mengangguk pelan. “Lebih baik.”
Tapi mereka tidak bergerak. Lily masih dalam pelukan Andre, dan air kolam menyelimuti tubuh mereka dari pinggang ke bawah. Jari Andre menyentuh kulit lembut betisnya, sementara nafas mereka makin berirama.
Lily menoleh pelan, dan wajah mereka hanya beberapa sentimeter berjauhan. Andre tidak bisa menghindar dari matanya—mata yang biasanya tajam, kini tampak rapuh dan terbuka.
Ada jeda.
Ada tarikan yang sulit dijelaskan.
Tapi Andre hanya mengusap pelipis Lily pelan dan berkata, “Kamu harus istirahat sebentar. Kita naik.”
Lily menunduk. “Kamu gak… memanfaatkan momen ini?”
Andre menggeleng. “Kalau kamu tidak rela, tidak ada yang indah dari kedekatan.”
Lily menatapnya sejenak—ada kekaguman yang belum berani disebut cinta. Tapi cukup untuk membuat hatinya hangat.
...****************...
Setelah kembali ke kamar dan berganti pakaian, Lily muncul dengan blus linen putih longgar dan celana kulot sage green. Rambutnya dikeringkan separuh dan disisir rapi.
Ia mengetuk pintu kamar Andre yang terbuka sedikit.
“Kalau kamu gak ada acara siang ini, mau ikut ke museum?” tanyanya.
Andre sedang mengenakan kemeja hitam tipis dan jeans gelap. Ia melirik Lily dan tersenyum.
“Museum? Kita baru nikah kemarin dan kamu ngajak kencan edukatif?”
Lily mengangkat alis. “Daripada bengong dan pura-pura jadi pasangan bahagia di Instagram? Kita cari hal yang nyata.”
Andre menahan tawa. “Oke. Museum mana?”
“Macan. Lagi ada pameran seni perempuan Asia.”
Andre mengambil dompet dan kunci mobil. “Baik, Bu Istri. Oh ya sekalian kita pulang ke rumah.”
Lily pura-pura mendelik. “Rumah mana Pak Suami?”
“Rumah mu? Bukankah itu kesepakatan kita?”
“Haha, jangan tegang aku hanya menggodamu.”
...----------------...