NovelToon NovelToon
Married By Mistake (Terpaksa Menikahi Sahabat)

Married By Mistake (Terpaksa Menikahi Sahabat)

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintamanis / Konflik etika / Pernikahan Kilat / Persahabatan / Romansa
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: Moira Ninochka Margo

"Aku hamil, Fir, tapi Daniel tidak menginginkannya,"

Saat sahabatnya itu mengungkapkan alasannya yang menghindarinya bahkan telah mengisolasikan dirinya selama dua bulan belakangan ini, membuatnya terpukul. Namun respon Firhan bahkan mengejutkan Nesya. Firhan, Mahasiswa S2, tampan, mapan dan berdarah konglomerat, bersedia menikahi Nesya, seorang mahasiswi miskin dan yatim-piatu yang harus berhenti kuliah karena kehamilannya. Nesya hamil di luar nikah setelah sekelompok preman yang memperkosanya secara bergiliran di hadapan pacarnya, Daniel, saat mereka pulang dari kuliah malam.

Di tengah keputus-asaan Nesya karena masalah yang dihadapinya itu, Firhan tetap menikahinya meski gadis itu terpaksa menikah dan tidak mencintai sahabatnya itu, namun keputusan gegabah Firhan malah membawa masalah yang lebih besar. Dari mulai masalah dengan ayahnya, dengan Dian, sahabat Nesya, bahkan dengan Daniel, mantan kekasih Nesya yang menolak keras untuk mempertahankan janin gadis itu.

Apa yang terjadi?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moira Ninochka Margo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

EMPAT Serpihan—Firhan II

            AKU memandangnya dengan wajah yang masih defensif. Ia menatapku masih dengan senyuman lebar, lalu menyesap juice melonnya. Hari ini, aku dan Dian berada di sebuah Restoran. Dan dengan lahap, gadis itu memakan makanan yang sudah sedari tadi sengaja di pesan sebelum aku tiba. Sebenarnya, aku tak ingin melakukan ini, terlebih saat gadis di hadapanku ini jelas mengartikan berbeda. Namun, aku ingin meminta tolong padanya untuk menemani keseharian Nesya, mengingat Daniel saat ini berusaha untuk menemui istriku.

Kulirik sekilas jam yang melekat di pergelangan tangan milikku, telah menunjukkan pukul tujuh malam. Setelah berdehem dan mengubah posisi duduk, Dian memandang sejenak dengan senyum lebar. Helaan napas perlahan keluar dari mulutku sembari memutar mata.

Entah apa yang ada di pikiran gadis ini.

"Kamu tidak makan?" tanya Dian yang mulai bersuara sambil masih memandangku lekat setelah garpu sejenak berada di mulutnya. Mata gadis ini menatap bingung dan cemas ke arahku.

"Aku tidak lapar, Dian. Sudah kubilang, aku hanya ingin bicara saja,"

"Baiklah, aku mendengarkan. Tapi, aku ingin, kamu juga makan?"

"Dian? " erangku yang masih berusaha sabar, memandang ia dengan agak kesal.

"Apa? Dari dulu kamu tidak pernah mendengarku! Hanya Nesya, Nesya, dan Nesya! Terus— "

"Ini bukan saatnya membahas itu, Dian," Aku menyela sembari memandang dengan tatapan dingin. Kutekan keras rahang dan mulut agar semakin sabar lagi menghadapi gadis keras kepala ini yang penuh obsesi dan ambisi dengan kegilaanya.

Dian merengut lalu menyimpan garpu dan sendoknya di piring dengan kesal, hingga piring mengeluarkan bunyi.

Aku mengusap rambut, lalu menyusupkan jemari di rambut dan meremasnya penuh frustasi, kemudian mendesah. "Maaf, bukan itu maksudku. Tapi, ayolah, bukan saatnya membicarakan itu, Dian," rayuku memandang penuh pengertian.

Mata Dian kini menoleh memandangku. "Kita membicarakan tentang Nesya, kan?"

Dia menebak sembari memandang ke dalam mata ini dengan penuh hati-hati yang membuatku mengangguk perlahan, helaan kesalnya terdengar lalu mendecakkan lidah. Mata sipit itu terlihat defensif.

"Lalu, untuk apa aku ada di sini?" tanyaku memandang heran setelah melihat responnya.

"Lalu, untuk apa aku ada di sini?" tanya Dian balik yang meniru kalimatku, namun dengan nada suara yang sama, bukan terdengar seperti mengejek.

"Dian?" lagi-lagi aku mengerang dan mendesah berat.

"Fir, dari dulu aku mencintaimu dan kamu jelas tahu itu! Lalu, mengapa kamu menyiksaku seperti itu? Seharusnya kamu yang menikahiku, bukan—"

"Dian, kamu jelas tahu alasan itu! Jadi, kumohon, jangan memulai. Lagi pula, saat ini aku bahagia dengan Nesya,"

"Bahagia atau menderita? Pura-pura bahagia sedang ia memberimu berbagai masalah-masalah—"

"HENTIKAN! Dian, sudah kubilang, jangan memulai! Aku tidak mencintaimu, bahkan tidak pernah! Kita hanya sebatas teman, tidak lebih, dan kamu jelas tahu itu! Bukankah kamu sudah tahu sejak dulu? Dan aku juga tidak ingin semakin memberimu harapan yang tidak seperti kamu inginkan, lalu apa lagi yang kamu tuntut? Juan, Dian, Juan! Ingat dia, dia mencintaimu tulus," bentakku tak bisa mengontrol di awal kalimat, lalu memejamkan mata dan menghela napas sejenak berusaha kembali membuat diriku tenang, lalu memperjelas dengan menekan setiap kosakata sembari menatap dengan kesal di akhir kalimat. Biar bagaimana pun, dia adalah wanita yang tidak boleh dikasari.

Dengusan kerasnya membuatku lagi-lagi menghela napas yang sekilas melihatnya memutar mata dengan muaknya. "Tapi, aku mencintaimu, seharusnya kamu mengerti itu," nada suara Dian kini terdengar sedih dan putus asa, meski naik satu-oktaf. Dia sepertinya benar-benar hilang akal dan bersikeras meyakinkanku, meski tahu pada akhirnya perasaanku milik siapa.

Benar-benar tidak sehat! Dan inilah yang kutakutkan selama ini terjadi pada pertemanan kami, terlebih dirinya.

Lagi, aku menghela napas untuk menenangkan diri. Kuhembuskan napas dalam-dalam. “Dian—"

"Sudahlah, mungkin memang benar, it's impossible! Jangan menggangguku lagi, Firhan! Yeah, seperti katamu. Demi dirimu, aku akan ingat Juan dan melupakan semua tentangmu. Kamu senang sekarang? Jaga sahabat aku baik-baik, Firhan. Terima kasih." Lirih Dian hampa yang akhirnya mengalah dan mengerti, lalu memandangku di akhir kalimat dengan tatapan pedih dan pasrah dengan senyum simpul—lukanya yang ia paksakan tampak di hadapanku setelah mendengus dan mendesah.

Dian berlalu pergi meninggalkanku yang tengah duduk mematung dengan perasaan bersalah. Sekilas, melihat kedua mata itu berbinar sebelum ia memutuskan untuk pergi. Aku memandang dia sejenak yang perlahan-lahan hilang dari pandangan. Dia pergi dengan sejuta luka.

Tapi, aku bisa apa? Bukannya aku egois dan menyakitinya, mungkin memang itulah yang terbaik untuk dirinya. Dian lebih baik sakit saat ini, daripada mendapatkan luka hanya karwna kepalsuan untuk ketulusannya. Bukankah lebih baik ia sakit sementara daripada sakit selamanya ketika di akhir?

Tujuanku memang memintanya bertemu denganku hari ini, ingin meminta bantuan untuk menemani Nesya selama aku bekerja. Selain untuk membuat Nesya tak bersedih berlarut-larut dan tidak kesepian, juga untuk melindungi dari Daniel—yang membuat aku bisa merasakan ancaman dalam nada suara Daniel saat tadi ia menemuiku. Sarafku seketika mengejang dan tangan terkepal erat saat ucapan terakhirnya itu seketika melintas di pikiranku. Dengusan tetiba keluar begitu saja.

 

...* * *...

 

Seorang gadis manis, dengan mata lentiknya tengah berdiri tak jauh dari tempatku berdiri sembari tengah menatap wajah ini. Matanya kini perlahan berbinar. Rambut cokelatnya tampak bergoyang di embus angin senja sore ini. Ia masih mematung memandang penuh kerinduan, lalu berhambur memelukku. Isak tangisnya seketika pecah yang wajahnya masih tenggelam di dadaku.

"Kak, ayo pulang? Ayah sakit, Kak, ayah sakit. Sejak kakak meninggalkan kami, ayah sakit-sakitan dan ibu sering melamun, menyendiri. Isti mohon, Kak, pulang demi ayah dan ibu?" rengek adikku ini dengan memelas yang masih menangis dalam dadaku.

Suasana di Parkiran tampak begitu ramai dan mereka memandang kami dengan aneh, penuh tanya. Aku mengelus kepalanya sejenak, lalu menarik masuk ke dalam mobilku. Isti tertunduk sesaat dengan sesegukan. Isak tangis yang bersamaan dengan buliran airmata yang masih mengalir deras di pipi bulat nan putihnya. Saat aku hendak pulang dan berada di parkiran Restaurant, aku bertemu dia dan begitu sedih. Lingkaran hitam di matanya tampak jelas. Sepertinya, ia kurang tidur dan banyak pikiran.

Mobil abu-abuku kini berjalan keluar dari parkiran, menembus jalan-jalan yang sudah sangat disesaki oleh kendaraan-kendaraan. Yang tengah ada di pikiranku saat ini dan mengusik adalah sosok dua orang yang begitu hebat dalam hidupku, adalah ayah dan ibu. Sebelum melajukan mobil ke rumah orangtua kami, aku sempat mengirimkan pesan via messages pada istriku, Nesya.

Tidak butuh waktu lama, kami sampai di sebuah rumah yang sama, yang masih terakhir aku lihat. Tak ada yang berubah, hanya saja, tampak sepi. Tak ada gelak tawa, canda, dan senyuman ibu yang tengah merawat bunga-bunganya—memang wanita paruh baya andalanku itu lebih senang merawat tanaman-tanamannya sendiri dibanding menyewa tukang kebun atau semacamnya—yang tengah berjejer rapi di halaman rumah menghiasi beranda besar ini. Bahkan, pot-pot keramik besar itu kini gersang dengan tanaman layu yang menghias. Mobil telah memasuki pekarangan rumah. Aku menarik napas dalam-dalam dan menatap kelam. Biasanya, raut wajah berseri ibu yang penuh antusias berlari menyambut, lalu memelukku dengan tatapan hangat yang berbinar penuh rindu ketika beliau mengetahui kepulanganku dari rutinitas.

Isti kini menyentuh lenganku dan seketika membuat aku tersentak dan menoleh ke arahnya yang sudah sedari tadi duduk di sampingku. Ia memandang penuh tanya dan tampak hanya balasan senyuman simpul. Kami lalu membuka pintu mobil dan turun, melangkah memasuki rumah besar itu yang kini terasa kelam. Rasanya, keceriaan di rumah ini tak ada lagi. Ibarat rumah tak berpenghuni.

Saat kami melewati ruang tamu utama besar, mataku seketika memutar dan berbinar, kenangan terakhir itu benar-benar mengusik pikiran saat ini. Melewati koridor yang dikelilingi kolam ikan dan pancuran, lalu tepat di pintu kaca putar, kami melewati ruang tengah besar, kemudian di sebelah utara dengan tak berpintu yang dindingnya berubah warna cat berwarna biru garden di ruang tengah keluarga, dan menuju sebelah selatan setelah melintasi sisi kanan yang terdapat escalator dan sisi kiri pintu koridor menuju dapur. Sejenak, aku berhenti memandang pintu besar bercat peach dengan simbol tulisan beraksen Perancis di atas pintu saat telah berada di hadapanku.

Aku menarik napas berat, lalu masuk bersama Isti disertai salam dan ketukan. Ibu yang melihat, seketika berhambur di pelukanku dalam tangis pecahnya. Sejujurnya, rasanya berat dan tak sanggup melihat mereka seperti ini. Lagi-lagi aku memutar mata untuk mencegat airmata ini tetap mengambang di pelupuk mata.

Kamar besar bercat putih ini, masih sama. Lukisan beberapa menempel menghiasi ruangan ini, yang sebagian besar foto-foto wali Allah, lafaz Allah dengan tulisan Arab dengan background biru dan putih bening, dan kaligrafi-kaligrafi islami lainnya yang tak kalah indah. Juga, gambar-gambar kota malam Saudi Arabi dan Masjidil Haram, terlebih bangunan Ka'bah. Selebihnya, beberapa foto keluarga, pernikahan ayah dan ibu dahulu, dan foto berdua mereka yang tampak mesra.

Di sebelah barat, tampak tempat tidur king size dengan motif kuno, namun unik yang dipoles dengan cat tembaga dan emas menyala, dengan paduan seprei berwarna purple fresh. Di atasnya, tengah terbaring lelaki paruh baya tak berdaya yang begitu sangat aku rindukan. Tubuh kokoh yang terakhir kumelihatnya tampak menurun drastis, hingga seolah-olah nyaris tak mengenal siapa lelaki itu. Airmataku seketika menetes.

Tanpa sadar, kaki seketika melangkah mendekat tanpa ada rasa takut dari ancaman-ancaman yang pernah ia lontarkan untukku. Tubuh kurusnya tengah berselimut bedcover tebal berwarna brown yang sungguh, ia tampak rapuh di sana. Mata yang sangat merindukan sosok dirinya, benar-benar membuat aku tidak tahan dan ambruk berlutut di hadapan lelaki ini. Tanganku sudah berada di tangan besar kurusnya yang begitu hangat sembari tertunduk dan seketika airmata mengalir deras.

"Ayah?" lirihku di sela-sela tangis.

"Kau bukan Anakku, jangan memanggilku seperti itu lagi!" Getir Ayah, namun kali ini terdengar bukan amarah dan kebencian, tapi, seperti sebuah kerinduan.

"Ayah?" panggilku lagi-lagi yang semakin terdengar isak tangisku.

Rasanya rindu mengucapkan kata itu, seperti candu yang memikat dan menciptakan sakaw tanpa bisa berhenti.

Suara isak tangis adikku dan raungan pilu ibu kini ikut memenuhi ruangan ini. Aku terkejut, wajah ini terangkat ketika tangan yang tengah di genggam dengan kedua tangan ini tersentak lemah saat menepis tanganku. Wajah ayah berpaling, menelengkan wajah pucat beliau yang tak ingin memandangku.

"Sudah kubilang, kau bukan anakku, kau bukan anakku!" Teriak Ayah dengan nada suara meninggi dan getir yang mengandung sedih.

Aku menatap ayah sejenak dengan raut wajah sedih dan masih penuh linangan airmata, bangkit berdiri yang masih tak lepas dari pandanganku. Lalu, melangkah pergi yang seketika membuat tangis ibu semakin meledak dalam pelukanku yang tengah mencegat aku pergi. Sekilas tadi, aku melihat ada tetesan airmata di pelipis ayah yang seketika mengalir.

"Tidak, Nak, ibu mohon? Ayah, ibu mohon, jangan pisahkan puteraku lagi dariku?" erang ibu memelas sembari memohon padaku sambil memandang penuh linangan airmata, kemudian sekilas mengalihkan mata di akhir kalimat sembari melirik suaminya yang tengah terbaring tak berdaya di atas tempat tidur.

"Firhan, kumohon, tolong ibu, Nak?" Mohonnya memelas yang terus berusaha mencoba lagi dengan tatapan begitu hampa dengan aliran penuh airmata dan rapuh.

Oh, Tuhan, kumohon kuatkan beliau.

Aku lagi-lagi memutar mata dan menarik wanita paruh bayaku ini ke dalam pelukan, memeluk ibu begitu erat. Napasku rasanya terhenti dan dada terasa sesak juga bergemuruh. Aku menarik napas dengan susah payah.

Yaa Allah, rasanya tak sanggup melihat pemilik surgaku ini memelas seperti ini. Aku bisa merasakan apa yang tengah ia rasakan, ia menderita karenaku.

Kukecup pucuk kepala beliau dan sekali lagi mendekap begitu erat sembari memejamkan mata. Lalu, setelah melepas dekapan kami, aku menunduk menatap mata teduh yang begitu terluka namun sangat aku rindukan. Kutarik napas dalam-dalam sembari menggenggam bahunya. "Bu, aku tidak akan ke mana-mana, aku masih puteramu dan akan selamanya jadi puteramu! Bagaimana bisa, aku meninggalkan surgaku ini? Meninggalkan tempat indah ini yang memberi banyak keindahan dan cinta di duniaku, bagaimana bisa, Ibu? Aku tidak terbiasa! Ibu masih wanitaku, wanita cantik Firhan di dunia ini," lirihku menatap wanita paruh baya yang telah begitu rapuh dengan berbinar, lalu mengusap airmatanya dan mengecup keningnya, kemudian kembali memeluk dan aku nyaris berbisik di akhir kalimat sembari memutar mata memandang langit-langit.

"Aku janji, Bu, kami janji. Aku, Nesya, dan cucu ibu," lirihku nyaris berbisik seraya masih memeluk beliau, yang mengandung penuh arti dalam nada suaraku. Aku semakin erat memeluknya.

Setelah sejenak menatapnya, aku lalu mengecup pucuk kepalanya sekali lagi sembari mendekap tubuh rapuh ini yang masih bergetar kerana tangisan yang masih belum terhenti, kemudian mendekap adikku, Isti, dan pamit pergi.

Hari ini, rasanya jiwaku kosong. Hidupku seperti hampa. Ibarat sebuah gada telah dihempaskan keras di hidupku. Nesya dan keluarga adalah bagian dari hidupku yang sama-sama berharga dan bukan sebuah hal untuk di pilih.

Kakiku melangkah seolah-olah tanpa jiwa, entah jiwaku hilang ke mana. Menjauh, menjauh pergi perlahan-lahan meninggalkan rumah ini yang dipenuhi penghuni orang-orang yang aku cinta. Langit malam telah tampak gelap. Mobilku dengan cepat melaju menembus kota malam dingin dengan sejuta kesedihan yang tengah melanda dan bergemuruh di benak yang sudah sedari tadi.

Suatu saat, Ibu. Mungkin bukan saat ini, tapi suatu saat! Akan kukembalikan keluarga kita dan menyatu dengan bagian hidupku yang lainnya. Nesya-ku dan cucumu, suatu saat, tapi secepatnya! Desahku berjanji dalam kekelaman jiwaku yang begitu hampa.

 

...* * *...

 

Suara derit pintu terdengar saat membuka pintu rumah dan hendak masuk, kini memecahkan kesunyian sedari aku meninggalkan rumah ayah dan ibu. Ruangan ini agak hangat, ketika melewati pintu besar utama. Setidaknya, menghangatkan tubuhku pada dinginnya malam di luar sana yang telah sedari tadi menembus kulit. Suasana rumah ini begitu sepi, pintu juga tak di kunci. Namun, jika memang Nesya ada di rumah dan tidak ke mana-mana, baru kali ini ia tidak menyambutku ketika tiba di rumah.

Ah, mungkin ia tidur. Tepisku membatin meyakinkan diri sendiri, saat rasa heran mulai menjalar di benak dan pikiran.

Benar, mungkin saja. Lagi pula pendingin ruangan tak menyala. Bisa jadi, ia tengah ketiduran dengan aktivitasnya yang seharian sebagai ibu rumah tangga. Ia memang kadang tidak menyalakan pendingin ruangan di ruang tamu dan pintu utama jika sedang istirahat atau bepergian. Aku tersenyum, saat mengingat wajahnya yang diam-diam masuk di celah-celah pikiran kelamku.

Setelah membuka sepatu, lalu tuksedo yang sengaja kusampirkan di tangan, aku kemudian menuju kamar dan sempat menanggalkannya di bahu sofa saat melintas di ruang tengah. Lampu ruang tengah tidak menyala, hanya beberapa ruangan saja seperti Musholla, dapur, ruang kerja dan Taman yang masih bisa terlihat karena pintunya terbuat dari kaca—bening—geser.

Tepat di sebelah selatan, setelah menaiki tangga bertehel keramik, pintu bercat warna turquoise itu terbuka sedikit dan aku bisa mengintip dari celah tersebut. Senyumku menguap. Gadis itu tengah berdiri memandang keluar jendela. Kukira dia tengah tertidur. Aku mendesah dan lagi-lagi tersenyum yang masih memandangnya di kejauhan sini. Mungkin, ia tak mendengar suara mobilku tiba.

Diam-diam dengan jahil meniup telinganya, saat berhati-hati menghampiri dan telah berada di belakangnya. Nesya menggeliat dan lagi, telinga yang satunya kutiup dengan licik. Lagi-lagi, ia menggeliat namun kali ini berbalik ke belakang. Matanya seketika melebar sejenak karena terkejut, lalu seketika berubah menatap tajam, tetapi tatapan tajam humor dan sarkasme yang terlihat, bibir mungilnya tidak bisa menahan membentuk senyuman cantik di wajahnya. Tawa dari mulut ini terdengar.

"Assalamu'alaikum, Sayang. " Bisikku memandang lalu mengaitkan kedua tangan di lehernya. Ia masih tersenyum manis.

"Wa'alaikum salaam. Malam." Jawab Nesya sembari tersenyum lembut menyentuh matanya.

"Malam juga. " Ringanku lalu mengecup cepat pipi putihnya yang membuat mata indah itu melebar memandangku, namun tersenyum. Sejenak mata itu berubah menyipit, menatap dengan curiga, tapi jelas sekali ada secercah penasaran dalam matanya.

"Ada apa?" tanyaku penasaran memandangnya yang tengah menatapku dengan alis mengernyit, tapi seperti berusaha memecahkan teka-teki sulit.

Lagi, Nesya masih saja terdiam dengan mata yang tampak seperti memikirkan sesuatu.

"Sayang? " erangku manja dan frustasi yang kini berbalik. Tanganku menyusup di sela-sela rambutku dan meremas. Ia selalu saja berhasil membuat panik dan takut dengan tingkah misteriusnya.

"Apa yang membuatmu sedih?"

Pertanyaannya sederhana, tetapi membuatku tersentak kaget dan tanpa sadar tangan terlepas dan menjulur ke bawah, lalu berbalik memunggungi gadis yang tengah memandang semakin heran dan bingung ke arahku setelah sejenak kami saling menatap.

"Apa, Sayang?" tanyanya lembut mencoba lagi sembari mendesak penuh selidik, setelah ia berpindah di hadapanku dan menggenggam wajahku, memaksa memandangnya.

"Tidak ada. " Ringanku yang membuat mata ini seketika berputar ke bawah tak memandang Nesya yang menatap penuh harap, cemas, dan sedih.

Gadis itu mendesah. Tangannya terangkat, lalu menyentuh sudut mata kiriku. "Lalu?" tuntutnya yang masih mencoba mendesak penuh selidik sembari mengangkat tangan dan mengulurkan jari telunjuk ke arahku, memperlihatkan apa yang telah di temukannya.

Aku mendesah. Kuputar secepatnya otak untuk mengalihkan topik ini, berbalik memunggungi dan mengalihkan pandangan yang kini tengah memandang keluar di jendela. "Itu hanya  ….  hanya  .…  Tunggu, mengapa tidak menyambutku tadi saat aku tiba?" alihku berbalik di akhir kalimat. Ia mendengus kesal, lalu mendesah mengalah.

Pandangan tudingannya tadi berubah melunak dengan lembut dan membuat aku diam-diam menghela napas lega. Tangannya telah terangkat, kemudian menggenggam wajah ini yang sekilas memperbaiki rambut yang tengah jatuh di keningku. Bibirnya perlahan-lahan tertarik ke atas dan membentuk senyuman manis, dalam tatapan hangat.

"Meski aku tidak tahu itu apa, tapi setidaknya, aku tahu kesedihan dan luka itu, Firhan. Apapun, apapun itu, kuharap tidak membuatmu berlama-lama dalam lukamu dan secepatnya selesai." Desah Nesya lirih yang masih menatapku.

Seketika, perasaan sedih dan kelam ini, menjalar hangat di tubuh. Terlebih, benak yang berhenti sesak dan bergemuruh. Aku membiarkan senyum lebar mengembang begitu saja di hadapannya.

"Terima kasih." Bisikku bahagia.

Aamiin Yaa Robb. Batinku lagi-lagi berdecak bahagia penuh harap. Aku lalu menariknya dalam pelukan.

"Omong-omong, maaf, aku tidak menyambutmu tadi." Sahut Nesya memulai setelah melepas dekapan.

"Tidak apa-apa." Ringanku lalu mengecup kepalanya dan menariknya lagi dalam pelukan.

"Fir, baumu seperti asam!" alih Nesya sembari mendorong pelan dan membuatku menatap tajam, namun ia terkekeh. Senyum ini tak bisa disembunyikan.

Aku kenal raut wajah tersipu itu, ia terkadang melakukannya jika tiba-tiba mengingat kami pernah bersahabat. Ia pernah memberitahu tentang hal ini. Desahan halusku terdengar, namun masih dalam senyuman.

"Baiklah, Nyonya, Fir, Siapkan aku makanan, sementara aku ingin mandi dulu."

"Oke!" Serunya mengerling padaku yang membuat bibir ini membentuk dalam senyuman, tapi mataku melebar terkejut, kemudian cepat-cepat mengecup pipi dan berlari dengan kekehannya.

Nesya berlalu meninggalkanku sendirian di kamar ini, meninggalkan yang masih menatapnya semakin menjauh dan membekaskan senyuman bahagia menyentuh hati sembari menggelengkan kepala perlahan berulang kali.

Aku lalu menyambar piyama mandi di lemari khusus handuk dan semacamnya, kemudian bergegas mandi.

 

...* * * *...

1
Noveria_MawarViani
mampir juga ya ke novelku
Noveria_MawarViani
romantis banget
Noveria_MawarViani
bagus ceritanya
tasha angin
Gak sabar nunggu kelanjutannya!
Moira Ninochka Margo: halo kak, makasih udah baca, udah di up ya sampai bab 10
total 1 replies
Sky blue
Salah satu cerita terbaik yang pernah aku baca, mantap!
Moira Ninochka Margo: halo, makasih udah mampir dan support. Moga betah, hehe
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!