"Kenapa harus aku yang menikah dengannya?”
Ava Estella tak pernah membayangkan hidupnya akan berubah sedrastis ini. Setelah kehilangan kekasihnya—putra sulung keluarga Alder—ia hanya ingin berduka dengan tenang. Namun keluarga Alder terlanjur menaruh rasa sayang padanya; bagi mereka, Ava adalah calon menantu ideal yang tak boleh dilepaskan begitu saja.
Demi menjaga nama baik keluarga dan masa depan Ava, mereka mengambil keputusan sepihak: menjodohkannya dengan Arash, putra kedua yang terkenal keras kepala, sulit diatur, dan jauh dari kata lembut.
Arash, yang tak pernah suka diatur, menanggapi keputusan itu dengan dingin.
“Kalau begitu, akan kubuat dia meminta cerai sebelum satu bulan.”
Dua pribadi yang sama sekali berbeda kini dipaksa berada dalam satu ikatan.
Apakah pernikahan ini akan membawa mereka pada jalan yang diharapkan keluarga Alder?
Atau justru membuka luka, rahasia, dan perasaan yang tak pernah mereka duga sebelumnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaruArun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28 SEJAK KAPAN HARUS MELAPOR?
Malam kembali turun dengan perlahan, menyelimuti kota dalam selimut lampu-lampu jalan yang berpendar lembut dan bayang-bayang bangunan yang memanjang di aspal basah. Setelah hari yang panjang dan melelahkan, Ava dan Bella akhirnya memutuskan untuk pergi ke sebuah restoran kecil yang terletak di sudut kota — tempat yang cukup hangat, cukup ramai, dan cukup jauh dari ingatan yang terlalu berisik di kepala Ava.
Perjalanan dari butik ke restoran terasa lebih lama dari biasanya. Taksi berjalan lambat atas permintaan Ava, roda-roda kendaraan seperti menggesek ketakutan yang belum sepenuhnya hilang dari dadanya. Bayangan kecelakaan beberapa minggu lalu masih berpendar samar di benaknya — suara benturan logam, kaca berhamburan, napas yang tersangkut di tenggorokan. Ia menatap keluar jendela, berusaha mengatur ritme jantung yang tak mau sepenuhnya tenang.
“Terima kasih,” ucap Ava lirih pada sopir saat mereka tiba, dihiasi senyum kecil yang biasa ia pakai untuk menyembunyikan kegelisahannya.
Begitu mereka melangkah masuk, lonceng kecil di atas pintu restoran berdenting pelan. Sorot lampu kuning keemasan menyambut mereka, memantul di dinding kayu dan meja-meja yang tertata rapi. Aroma sup hangat, daging panggang, dan rempah-rempah memenuhi udara, membuat perut mereka seolah langsung terbangun dari rasa lelah.
“Kita duduk di sana,” ucap Bella sambil menarik pelan lengan Ava menuju meja dekat jendela.
Seorang pelayan datang dengan senyum ramah.
“Nona-nona mau pesan apa?” tanyanya sopan.
“Aku mau ini, satu,” jawab Ava sambil menunjuk salah satu hidangan ayam di menu, suaranya lembut namun sedikit ragu, seperti pikirannya masih tertinggal di jalanan yang baru mereka lewati.
“Kalau aku, ini saja,” seru Bella ceria, menunjuk olahan salmon.
“Bagaimana dengan minumnya?” tanya pelayan.
“Jus alpukat,” ucap mereka bersamaan, lalu tertawa kecil — tawa yang ringan, namun bagi Ava terasa seperti udara segar yang jarang ia hirup akhir-akhir ini. “Dan tambah air mineral ya,” tambah Ava.
Setelah pelayan pergi, obrolan mereka mengalir pelan, namun udara di antara mereka berubah. Bella menatap Ava dengan sorot mata yang tak hanya berisi rasa ingin tahu, melainkan kekhawatiran yang disimpan rapi.
“Jadi… bagaimana hubunganmu dengan suamimu itu?” tanyanya hati-hati. Ia tahu Ava bukan tipe yang bercerita tanpa ditanya.
“Akhir-akhir ini… dia tidak begitu buruk,” jawab Ava pelan.
Bella mengernyit. Ia mengingat jelas cerita Ava beberapa hari lalu. Tentang nada keras, bentakan, tatapan dingin yang menyisakan luka. “Ava, kau tidak sedang menutupi sesuatu dariku, kan?”
Ava menggeleng. “Tidak. Bahkan tadi pagi dia berterima kasih padaku,” ucap Ava, dan kali ini senyumnya terasa lebih tulus.
“Syukurlah,” bisik Bella, ada doa yang tak terucap dalam napasnya.
Keheningan hadir sejenak, dipatahkan oleh kedatangan makanan mereka. Uap hangat naik dari piring, dan kedua wanita itu tersenyum lebar, seolah kehangatan itu merambat langsung ke hati mereka.
Namun Bella kembali bersuara, lebih pelan dari sebelumnya. “Ava… kau yakin dia adik Martin?”
“Apa maksudmu?”
“Saat kau pacaran tiga tahun dengan Martin… kau tidak tahu dia punya adik selain Esther. Apa dia tak pernah menyebut nama Arash? Menurutku, meski dia tak tinggal di sini, setidaknya sekali saja Martin seharusnya menyebutnya.”
Ava terdiam. Sendoknya berhenti di udara. Kata-kata itu menyusup perlahan, seperti dingin yang menyelinap lewat celah jendela.
“Jadi… maksudmu Martin sengaja menyembunyikan Arash dariku?” suaranya hampir berbisik.
Bella mengunyah perlahan, berpikir. “Itu mungkin saja… tapi untuk apa?”
“Mungkin memang tak ada yang perlu diceritakan tentangnya,” jawab Ava lirih, lebih seperti meyakinkan dirinya sendiri. “Lagipula… saat Arash kembali setelah lulus, Martin langsung mengenalkanku padanya.”
Namun di dalam dadanya, satu rasa tumbuh perlahan—bukan marah, bukan takut. Rasa ganjil. Dan keganjilan itu mulai terasa nyata.
Beberapa menit berlalu diiringi tawa dan canda mereka yang ringan, seolah dunia di sekitar mereka ikut melambat hanya untuk memberi ruang pada kebahagiaan kecil itu. Hingga akhirnya tawa itu mereda dengan sendirinya, tergantikan desah malam yang mulai dingin. Mereka kini berdiri di luar restoran, di bawah cahaya lampu jalan yang berpendar keemasan. Angin malam menerpa rambut mereka, membuat helaian-helaian halus beterbangan dan menari di sekitar wajah, sesekali menutupi pandangan, sesekali menyentuh kulit seperti bisikan yang lembut.
Langkah Ava tiba-tiba terhenti saat ponselnya bergetar di dalam tas. Getaran kecil itu terasa begitu nyata di telapak tangannya.
“Sebentar, Bella,” ucapnya pelan sambil membuka tas, jemarinya bergerak hati-hati, seolah menyentuh sesuatu yang rapuh.
Ia mengangkat ponsel itu ke telinganya.
“Halo, Ayah?” sapanya begitu suara di seberang tersambung.
“Bagaimana kabarmu, sayang?” suara Ayah Luis terdengar rendah, hangat, namun dibalut kekhawatiran yang tak berusaha disembunyikan. Ada bunyi helaan napas halus di sela kata-katanya. “Ayah baru selesai menelaah kasus.”
“Ava akan mampir ke rumah setelah ini. Ayah tunggu Ava, ya,” jawab Ava lembut, ada kerinduan yang terselip dalam nada suaranya. Ia tak menunggu jawaban lebih lama, lalu mematikan panggilan itu perlahan, seolah enggan memutus benang tak kasat mata yang barusan terhubung.
Ia kembali menghampiri Bella yang masih menunggunya dengan sabar.
“Kau pulang duluan saja. Aku akan ke rumah ayahku dulu,” ucap Ava, karena arah rumah Luis dan Bella memang berlawanan.
Bella menatapnya, sorot matanya penuh perhatian. “Kau tidak mau aku temani?”
Ava menggeleng pelan. “Tidak, terima kasih.”
Di tepi jalan, Ava mengangkat tangan kecilnya. Sebuah taksi berhenti dengan suara halus ban yang bergesekan dengan aspal. Ia membuka pintu mobil, lalu menoleh pada Bella.
“Kau istirahat saja, dan sampai jumpa besok,” ucap Ava sambil tersenyum kecil, kemudian masuk ke dalam taksi. Tangannya terangkat, melambai perlahan dari balik jendela.
“Kau hati-hati,” jawab Bella, balas melambaikan tangannya. Ia berdiri diam, menatap hingga lampu belakang mobil itu semakin mengecil di kejauhan, lalu akhirnya menghilang di tikungan malam yang sunyi.
...----------------...
Ava menutup pintu mobil sedikit lebih keras dari biasanya, lalu berjalan cepat menyusuri halaman rumah. Lampu-lampu taman menyorot rumput yang masih lembap oleh embun malam, dan dedaunan kecil berdesir tertiup angin. Tanpa sadar langkahnya berubah menjadi lari kecil. Napasnya memburu saat ia mendorong pintu rumah hingga terbuka.
“Ayaaah!” teriaknya, suaranya menggema ke seluruh ruangan.
Ayah Luis, yang tengah duduk di ruang tamu, langsung menoleh ke arah sumber suara. Kacamata bacanya masih bertengger di ujung hidung, dan ekspresi lelahnya langsung berubah menjadi terkejut.
Namun pandangan Ava terhenti pada sosok lain. “Arash?” ucapnya, lebih seperti hembusan napas yang tertinggal di tenggorokan.
Pria itu duduk berhadapan dengan Ayahnya, rambut hitamnya masih tertata rapi meski terlihat santai. Ia tengah meneguk kopi dari cangkir porselen. Uap hangat naik perlahan di antara wajah mereka.
Sejak kapan dia ada di sini? Kenapa dia ada di sini? pikir Ava, dadanya terasa berdesir.
“Duduklah,” ucap Ayah Luis lembut sambil menepuk sofa di sampingnya. “Kau dari mana, sayang?”
Ava menurut, duduk di sisinya. Bahunya sedikit tegang. “Ava tadi pergi bersama Bella, Yah,” jawabnya pelan.
Alis Ayah Luis terangkat sedikit. “Dan kau tidak memberitahu suamimu?”
“Eh?” Ava refleks menoleh ke Arash. Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. Sejak kapan ia harus melapor? Nomor telepon pria itu saja ia tak punya. Pikirannya berputar sesaat, lalu ia terkekeh kecil, tawa hambar yang tidak sepenuhnya tulus. “Hehe… Ava lupa, Yah.”
“Lain kali minta izin suamimu dulu,” kata Ayah Luis lembut, suaranya penuh nasihat yang hangat. “Kau kan sudah menikah, sayang.”
Di seberang, Arash terdiam. Kata-kata itu menusuk telinga Arash lebih dalam dari yang seharusnya. Ada sesuatu yang tak bisa ia jelaskan bergetar pelan dalam dadanya. Suara Luis yang hangat dan penuh kelembutan begitu kontras dengan suara ayahnya sendiri yang selalu penuh amarah dan tuntutan. Ingatan tentang pertengkaran soal sekretaris tadi siang melintas begitu saja, seperti luka yang belum kering sepenuhnya.
“Lihat,” lanjut Luis sambil melirik Arash, “suamimu sampai datang kemari karena kau tidak ada saat Arash menjemputmu di butik.”
Ava menoleh cepat. Dia… menjemputku? Tumbennya sekali. Pasti dia merencanakan sesuatu lagi untukku, batinnya tajam.
Sebenarnya, tadi Arash memang mampir ke butik Miella setelah mengantar Celine pulang. Ia berniat membawa Ava sekalian. Namun butik itu sudah kosong, pintunya terkunci, lampu-lampu mati. Saat ia kembali ke rumah pun keadaannya sama sepi. Tanpa benar-benar mengerti alasannya sendiri, kakinya akhirnya membawanya ke rumah Ayah Luis.
“Malam sudah larut. Kalau begitu Arash dan Ava pamit pulang, Ayah,” ucap Arash sambil bangkit berdiri.
“Kenapa tidak menginap di sini saja?” tawar Luis lembut. “Jarang-jarang kalian berkunjung kemari.”
“Ava terserah Arash,” jawab Ava, namun tatapan matanya tertuju padanya begitu dalam sampai Arash menghela napas tanpa sadar.
Aku tidak mau pulang denganmu… kau pasti akan menjahiliku lagi, batin Ava.
“Baiklah… kita menginap di sini,” ucap Arash akhirnya.
Malam semakin sunyi. Lampu kamar menyala terang, menyinari setiap sudut dengan cahaya putih yang tegas—kontras dengan rumah Arash yang selalu dipenuhi lampu kuning redup, lampu-lampu yang menurut Ava lebih terasa seperti bayang-bayang ketimbang cahaya.
Di rumah ini, semuanya terasa terlalu jelas. Terlalu nyata. Ava berdiri di depan pintu kamar mandi, mengetuk-ngetuk kayu pintu dengan ujung jarinya.
“Arash!” panggilnya.
“Apa?” sahut suara dari dalam, tercampur suara air yang jatuh deras ke lantai.
“Ish, aku panggil saja dia sudah emosi,” gerutunya lirih. Ia kembali hendak mengetuk, namun pintu tiba-tiba terbuka. Ava refleks mundur satu langkah.
“Apa?” tanya Arash.
Uap hangat keluar dari kamar mandi, membawa aroma sabun manis milik Ava yang langsung menyentuh indra penciumannya. Rambut Arash masih basah, tetesan air menelusuri rahangnya, mengalir dari leher ke dada bidangnya. Kulitnya putih, bersih, berkilau karena air.
Ava terdiam. Benar-benar membeku. Matanya terlalu lama tinggal di sana. Tanpa sadar ia menelan ludah, dadanya berdebar lebih cepat.
“Hei!” Arash menjentikkan jarinya di depan wajah Ava. “Kenapa kau mendadak bisu?”
“Ah—ini…” Ava tersentak. Ia menyodorkan tumpukan baju yang dipinjamnya dari ayahnya. “Baju gantimu.”
Begitu Arash menerimanya, Ava langsung membalikkan badan. Pipinya memanas, sampai ke ujung telinganya.
Pintu kamar mandi tertutup kembali. Tapi aroma sabun itu masih tertinggal, melayang-layang di udara, membuka sesuatu di dalam dada Ava yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.
Ia menyentuh kedua pipinya yang hangat. “Sumpah… aku tidak pernah melihat tubuh pria secara langsung,” gumamnya. “Ternyata… lebih bagus aslinya.” Ia terkekeh kecil, malu pada pikirannya sendiri.
Entah sejak kapan, tapi malam ini, Arash terasa… sedikit berbeda.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.