NovelToon NovelToon
Melting The Pilots Heart

Melting The Pilots Heart

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Pernikahan Kilat / Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Kaya Raya / Romansa
Popularitas:5.5k
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

“Bagaimana jika cinta bukan dimulai dari perasaan, melainkan dari janji terakhir seorang yang sekarat?”

Risa tidak pernah membayangkan dirinya akan menikah dengan kekasih sahabatnya sendiri—terlebih, di kamar rumah sakit, dalam suasana perpisahan yang sunyi dan menyakitkan. Tapi demi Kirana, satu-satunya sosok yang ia anggap kakak sekaligus rumah, Risa menerima takdir yang tak pernah ia rencanakan.

Aditya, pilot yang selalu teguh dan rasional, juga tak bisa menolak permintaan terakhir perempuan yang pernah ia cintai. Maka pernikahan itu terjadi, dibungkus air mata dan janji yang menggantung di antara duka dan masa depan yang tak pasti.

Kini, setelah Kirana pergi, Risa dan Aditya tinggal dalam satu atap. Namun, bukan cinta yang menghangatkan mereka—melainkan luka dan keraguan. Risa berusaha membuka hati, sementara Aditya justru membeku di balik bayang-bayang masa lalunya.

Mampukah dua hati yang dipaksa bersatu karena janji, menemukan makna cinta yang sebenarnya? Atau justr

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 4

Pagi masih berkabut saat suara mobil terdengar berhenti di depan rumah.

Aditya, dengan koper di tangan dan wajah lelah, turun dari taksi bandara.

Ia baru kembali dari penerbangan luar negeri, lebih cepat sehari dari jadwal seharusnya.

Saat membuka pintu rumah, pemandangan tak biasa menyambutnya.

Di ruang tamu, Bu Ratmi sedang merapikan selimut, sementara Risa masih tertidur di sofa—wajahnya pucat, mata bengkak, seperti habis menangis semalaman.

Alis Aditya langsung berkerut.

“Bu Ratmi?” tanyanya pelan, mencoba tak membangunkan Risa.

Bu Ratmi menoleh, sedikit kaget. “Oh, Aditya... kamu sudah pulang.”

“Apa yang terjadi?” nada suaranya tegang.

Bu Ratmi berdiri pelan. “Tadi malam ada pencuri mencoba masuk. Risa sendirian, dia ketakutan sekali. Untung cepat teriak. Warga dan polisi datang.”

Wajah Aditya langsung berubah, ia menatap Risa yang masih tidur dan tak bisa menyembunyikan rasa bersalah di matanya.

“Kenapa aku nggak dikabarin?” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.

“Mungkin karena kamu terlalu jauh untuk diandalkan saat dia butuh,” jawab Bu Ratmi lembut namun tajam.

Aditya terdiam. Kalimat itu menamparnya lebih keras dari bentakan apa pun.

Bu Ratmi mengambil tasnya dan bersiap pulang.

“Risa butuh ditemani, bukan cuma janji atau transfer uang. Jangan sampai dia kehilangan dirinya sendiri hanya karena kau tak hadir.”

Sebelum keluar, ia menepuk pelan bahu Aditya dan menatapnya dalam-dalam.

“Jagalah dia. Atau kamu akan kehilangannya... perlahan.”

Pintu tertutup kembali. Aditya berdiri kaku di tengah ruang tamu, menatap istrinya yang masih terlelap dalam kelelahan emosional.

Untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar gagal... sebagai suami.

Risa terbangun perlahan, tubuhnya masih lelah setelah malam yang penuh ketegangan.

Ia mengucek mata dan terkejut saat melihat Aditya sedang menyapu ruang tamu, pelan tapi penuh perhatian.

“Mas sudah pulang... Kenapa nggak bangunin aku?” tanya Risa pelan.

Aditya menoleh sekilas, lalu kembali fokus pada pekerjaannya.

“Kamu kelihatan capek banget. Jadi kupikir... biar kamu istirahat dulu.”

Risa hanya mengangguk dan buru-buru menuju kamar mandi.

Setelah cuci muka dan menyegarkan diri, ia berjalan ke dapur dengan niat menyiapkan sarapan.

Tapi langkahnya terhenti di meja makan, sudah terhidang sepanci sayur sop, ayam goreng hangat, dan sambal ulek yang aromanya menggelitik hidung.

Piring-piring sudah tertata rapi, lengkap dengan dua gelas air putih.

Risa terdiam beberapa detik. Ia menatap makanan itu, lalu menoleh ke arah suara dari belakang.

“Aku nggak tahu kamu masih suka sop... tapi aku ingat kamu dan Kirana sering masak ini dulu.”

Aditya berdiri di ambang pintu dapur. Wajahnya terlihat canggung, tapi tulus.

Risa tak menjawab langsung. Ia hanya menatapnya dengan campuran bingung dan haru.

“Mas Aditya yang masak ini semua?”

Aditya mengangguk. “Aku pikir, setelah semalam... kamu butuh sedikit rasa rumah.”

Risa duduk perlahan di kursi dapur, lalu memandang makanan di hadapannya.

“Terima kasih, Mas Aditya...” suaranya nyaris seperti bisikan.

Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, mereka duduk berdua di meja makan.

Tak ada percakapan panjang. Tapi dalam diam itu, ada ketulusan yang mulai merayap pelan seperti sayur sop yang hangat, dan sambal yang pedas namun menghidupkan.

Makanan sudah tersaji dengan sempurna di atas meja.

Uap hangat dari sayur sop masih mengepul, aroma ayam goreng dan sambal memenuhi udara dapur.

Tapi tak ada yang benar-benar terasa nikmat saat mereka mulai makan.

Sendok menyentuh piring. Ayam digigit perlahan. Tapi tak ada percakapan.

Risa menunduk, memandangi nasi di piringnya tanpa benar-benar fokus.

Sesekali ia melirik Aditya, tapi pria itu hanya makan dengan pandangan kosong, seperti pikirannya berada jauh entah ke mana.

Biasanya, meja makan adalah tempat berbagi cerita. Dulu, saat Kirana masih ada, selalu ada tawa, obrolan ringan, bahkan debat kecil soal resep.

Tapi kini… hanya suara denting sendok dan napas berat yang memenuhi ruang.

“Sopnya enak,” Risa akhirnya berkata, mencoba mencairkan suasana.

Aditya hanya mengangguk tanpa menatap. “Aku coba ingat-ingat resep buatan Kirana.”

Risa terdiam lagi. Nama Kirana disebut, dan itu membuat dadanya kembali sesak.

Waktu seakan berjalan lambat di meja makan itu. Meskipun mereka duduk berhadapan, rasanya seperti ada tembok tak kasatmata yang memisahkan.

Dan ketika sarapan usai, Risa hanya berkata lirih,

“Aku bersyukur kamu pulang... walaupun, sedikit terlambat.”

Aditya tidak menjawab. Ia hanya menatap piring kosongnya, seperti mencari jawaban dari sesuatu yang sudah lama hilang dari dirinya sendiri.

Risa duduk di depan meja kecil di ruang keluarga. Laptopnya menyala, layar putih menunggu untuk diisi.

Tangannya sempat ragu untuk mengetik, tapi pikirannya terlalu penuh untuk dibiarkan diam.

Ia membuka draft novelnya, cerita yang lahir dari luka hatinya sendiri.

Judul Bab: "Kecewa yang Tidak Pernah Disampaikan"

Pagi itu dia duduk di meja makan bersama seseorang yang pernah ia harap akan menjadi rumah. Tapi tak ada percakapan, tak ada pelukan, tak ada tanya apakah semalam baik-baik saja. Hanya makanan hangat yang tak bisa menghangatkan hati. Lalu mereka pergi ke kamar masing-masing, seperti dua orang asing yang kebetulan tinggal di alamat yang sama

Risa mengetik terus tanpa jeda. Kata-katanya mengalir deras, seperti air mata yang tak bisa ditahan lagi.

Yang paling menyakitkan dari cinta yang terpaksa bukanlah sepi, tapi kehadiran yang dingin. Dia tak ingin dikasihani. Dia hanya ingin dimengerti, walau sekali saja. Tapi hingga pagi itu, belum pernah ada yang bertanya, ‘Apa kamu bahagia?’”

Jari-jarinya berhenti. Ia menarik napas panjang. Lalu mengunggah bab itu ke platform menulis yang biasa ia gunakan.

Beberapa menit kemudian, komentar mulai bermunculan.

@: Aduh... aku nangis baca ini

@: Seperti menampar realita. Aku pernah di posisi ini.”

@; Tolong lanjutkan... rasanya aku ikut terluka.

Risa menatap layar itu lama. Ia tidak menulis hanya untuk didengar. Ia menulis agar dirinya tetap waras.

Setelah sarapan selesai, Risa dan Aditya membereskan meja makan bersama.

Tak ada percakapan. Tak ada senyum. Hanya suara piring yang ditumpuk, sendok yang dikembalikan ke tempatnya, dan langkah kaki yang terdengar terlalu hati-hati di lantai keramik.

Begitu dapur bersih, mereka saling menatap sejenak, sekilas tapi tidak satu pun dari mereka mengucapkan apa-apa.

“Aku… mau ke kamar,” ucap Risa pelan, nyaris tak terdengar.

Aditya hanya mengangguk.

Mereka berjalan berlawanan arah. Risa ke kamar atas, kamar Kirana yang kini menjadi miliknya.

Aditya kembali ke kamar lamanya, kamar yang dulu sempat ia tinggalkan dengan alasan sibuk kerja dan mungkin juga karena hatinya tak pernah benar-benar siap tinggal di rumah ini.

Dua orang dalam satu rumah, satu ikatan pernikahan, tapi merasa seperti dunia yang tak bersentuhan.

Di dalam kamar, Risa duduk di tepi ranjang. Ia memandang dinding kosong di depannya, lalu mengambil buku catatannya. Bukan untuk menulis novel kali ini, tapi hanya menuliskan satu kalimat:

Lebih menyakitkan dari kehilangan adalah ketika seseorang masih ada, tapi tak pernah benar-benar hadir.

Sementara itu, di kamar lain, Aditya bersandar pada ranjangnya.

Ia memandangi langit-langit, mencoba mengingat bagaimana dulu semua ini bisa terasa begitu hangat dan penuh harapan.

Kini hanya diam, dan sesal yang tak pernah ia pahami sepenuhnya.

1
kalea rizuky
lanjut
kalea rizuky
lanjut donkkk
kalea rizuky
keren bgt lo ini novel
kalea rizuky
belom bahagia di tinggal mati
kalea rizuky
ris jangan menyia nyiakan masa muda mu dengan orang yg lom selesai dengan masa lalunya apalagi saingan mu orang yg uda almarhum
kalea rizuky
suami dayuz
kalea rizuky
uda gugat aja ris banyak laki lain yg menerima qm lagian masih perawan ini
kalea rizuky
suka bahasanya rapi
kalea rizuky
cerai aja lah ris hidup masih panjang
gojam Mariput
jahatnya aditya
gojam Mariput
suka....
tata bahasanya bagus, enak dibaca
my name is pho: terima kasih kak
total 1 replies
gojam Mariput
awal yang sedih ...
moga happy ending
my name is pho: selamat membaca kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!