Nael, seorang notaris kondang, tenggelam dalam kesedihan mendalam setelah kepergian istrinya, Felicia. Bermodalkan pesan terakhir yang berisi harapan Felicia untuknya, Nael berusaha bangkit dan menjadi pribadi yang lebih baik. Meski kehidupannya terasa berat, ia tidak pernah menyerah untuk membenahi diri seperti yang diinginkan oleh mendiang istrinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indrakoi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CHAPTER 13: Buronan
BRUGGG! “Hadeh… kenapa nyabutnya susah banget, sih!” Ucap Felix yang ambruk ke tanah karena nggak mampu nyabut ubi manis dari dalam tanah.
Yap, di sore hari yang cerah ini, kami berdua memutuskan untuk memanen beberapa ubi manis yang tumbuh subur di kebun belakang rumah. Selain catatan kecil di buku hariannya, seluruh kebun ini juga merupakan peninggalan dari Felicia. Di sinilah tempat dimana dia menghabiskan waktu sebagai seorang ibu rumah tangga semasa hidupnya dulu.
Ada banyak sekali jenis tanaman yang tumbuh dengan subur di kebun ini. Mulai dari rempah-rempah, tanaman pangan, tanaman hias, dan masih banyak lagi yang ada di sini. Mereka semua tumbuh besar dengan cinta dan juga kasih sayang dari Felicia.
Oke, seperti yang kukatakan tadi, aku dan Felix memutuskan untuk memanen beberapa ubi manis yang tumbuh di sini. Alasannya adalah karena hari ini merupakan hari dimana mereka sudah sudah harus dipanen. Soalnya, kalau kita telat memanennya, maka kualitas ubi-ubi tersebut akan jadi semakin menurun.
Selain itu, istri Felix—yang bernama Lina Helmalia—juga lagi membutuhkan ubi manis ini sebagai pengganti nasi pada menu makanannya. Ya, benar sekali! Lina saat ini sedang menjalani program diet yang lumayan ketat. Penyebabnya adalah karena sebentar lagi dia harus menjadi bintang iklan untuk sebuah brand fashion ternama di Asia. Pekerjaan ini tentu saja menuntutnya untuk memenuhi standar berat badan ideal bagi perusahaan tersebut. Yah, menjadi seorang model emang nggak seenak yang dibayangkan oleh remaja-remaja puber di luar sana.
“Kayaknya kita harus menggali tanah di sekitarnya sedikit lebih dalam lagi.” Ucapku sambil mengelap keringat dengan handuk kecil yang tergantung di leher.
Felix, yang sedang duduk di tanah, tiba-tiba menggenggam cangkulku dengan erat. “Tahan dulu, bro. Kasih aku napas bentar.” Ucapnya dengan wajah yang terlihat cukup kelelahan.
Sebenarnya aku juga udah lumayan capek, sih. Mungkin, sedikit istirahat nggak akan jadi masalah. “Oke, deh. Kalau gitu, kita rehat bentar aja.” Aku kemudian ikut duduk di samping Felix untuk mengistirahatkan badan yang tumben melakukan pekerjaan berat seperti ini.
Kedua bola mataku menatap tanaman ubi manis yang telah membuat kami berdua kelelahan seperti ini. Pikiranku tiba-tiba melayang pada sebuah momen dimana Felicia berhasil memanen puluhan ubi manis sendirian, yang kemudian diolahnya menjadi berbagai hidangan nikmat untuk kami santap. Aku kemudian bertanya: bagaimana Felicia berhasil memanen ubi manis ini dengan badannya yang ramping itu?
“Felix, berapa beban terberat yang pernah kau angkat di gym?” Tanyaku karena merasa penasaran.
“Aku pernah deadlift dengan beban 200 kilo. Kenapa emangnya?” Jawab Felix singkat, kemudian disusul oleh pertanyaan balik dengan nada penasaran yang terdengar jelas.
“Dulu, Felicia pernah manen semua ubi manis yang ada di kebun ini sendirian. Padahal, dia nggak pernah mengangkat beban sampai 200 kilogram seperti dirimu.” Felix langsung mengerutkan alisnya, seolah tak percaya dengan apa yang kukatakan barusan.
“Ah, yang bener kau?” Tanyanya untuk mengungkapkan rasa ketidak percayaannya.
“Beneran, dong. Ngapain juga aku bohong.” Balasku dengan nada datar yang terdengar sedikit kesal.
Felix kemudian terlihat mendongakkan kepalanya dengan mata yang menatap jauh ke angkasa. “Tapi, kakak itu emang jauh lebih kuat daripada aku, sih. Mungkin, omonganmu tadi ada benarnya juga.” Ucapnya dengan nada yang terdengar sedikit getir.
Aku kemudian bangun perlahan-lahan, sambil meletakkan cangkul pundak. “Nggak juga.” Balasku singkat untuk membantah pernyataan Felix. “Dengan badannya yang ramping itu, mustahil kalau Felicia bisa mencabut ubi manis ini hanya dengan bermodalkan tenaga saja. Dia pasti punya sebuah trik tersendiri yang dapat memudahkan proses pemanenannya.”
Felix perlahan-lahan berdiri di sebelahku, sambil ikut mengangkat cangkul miliknya. “Oke, lalu apa kau tahu sesuatu tentang trik khusus yang dipakai sama kakak?”
“Jelas nggak, dong. Tapi, aku yakin kalau kita harus menggali lebih da—”
“Oi, kalian bukannya kerja, tapi malah sibuk ngobrol, ya!”
Saat aku sedang menjelaskan sebuah ide brilian kepada Felix, tiba-tiba terdengar suara wanita judes yang sangat familiar dari arah pintu belakang. Ini adalah suara milik Lina Helmalia, istri kesayangan Felix yang sempat aku mention tadi. Saat menoleh ke arahnya, aku bisa melihat penampilan Lina yang tampak sangat profesional dengan mengenakan setelan jas dan juga rok berwarna navy.
“Loh, kamu bilang bakal sampai sini pas udah menjelang malam, sayang?” Tanya Felix dengan nada yang terdengar kaget sekaligus senang.
“Iya, nih. Ternyata meetingnya selesai lebih cepat dari yang aku kira.” Balas Lina sambil berjalan mendekat untuk memberikan kecupan kecil di pipi suaminya. “Selain itu, sepertinya ada satu orang lagi yang datang untuk bertamu selain aku.” Tambahnya sembari melirik ke arahku dengan sepasang mata sipit yang terkesan galak itu.
Beberapa saat kemudian, Eka perlahan muncul dari pintu belakang rumah dengan mengenakan seragam kepolisian lengkap. “Eka? Kenapa kau datang ke sini?” Aku menyapanya dengan melontarkan sebuah pertanyaan.
“Yah, kebetulan ada sesuatu yang ingin kutanyakan mengenai Indah Deborah.” Balasnya dengan ekspresi wajah yang terlihat cukup serius.
...***...
Aku dan Eka saling duduk berhadapan di dalam ruang kerjaku untuk membicarakan sesuatu mengenai Deborah. Sepertinya, pembuatan sertifikat tanah waktu itu telah mengakibatkan sesuatu yang cukup serius, sampai harus melibatkan pihak kepolisian. Yah, sebenarnya aku sudah menduga kalau sesuatu seperti ini akan terjadi, sih.
“Oke, jadi kau pengen nanya tentang apa, ka?” Tanyaku untuk membuka pembicaraan ini.
“Jadi gini, Nael.” Eka kemudian mulai berbicara, sambil memegang buku catatan kecil serta sebuah pulpen. “Deborah sekarang lagi jadi buronan karena telah melakukan penggelapan dan juga penipuan. Hasil penyelidikan kepolisian menemukan bahwa dia pernah melakukan pembuatan sertifikat tanah di kantormu. Apa benar itu terjadi di sini?” Tanyanya dengan nada tegas yang begitu profesional.
“Benar, aku lah yang membuatkan sertifikat tanahnya itu. Kami kemudian melakukan transaksi di pusat kota Andawana.” Jawabku memberikan keterangan yang sejujur-jujurnya.
“Lalu, apa dia pernah menghubungimu lagi setelah transaksi itu?”
“Nggak. Kau bisa cek log panggilanku kalau perlu.”
“Oke, nanti aku minta.” Ucapnya sambil menulis poin-poin yang kusampaikan tadi. “Lalu, untuk pertanyaan terakhir, apakah ada suatu hal penting yang dikatakannya selama dia berurusan denganmu?” Tanyanya lagi sambil menatap tajam ke arahku.
“Deborah bilang kalau dia membeli tanah itu untuk dibangunkan rumah bersama pacarnya yang berasal dari Jerman. Itu adalah satu-satunya informasi penting yang dia sampaikan kepadaku. Aku juga punya rekaman suaranya waktu dia bilang gitu.” Mata Eka langsung terlihat membelalak setelah mendengar kalimat terakhirku itu.
“Kau punya rekaman suaranya?” Tanyanya dengan nada yang terheran-heran.
“Iya, aku punya. Ini akan jadi barang bukti untuk mendukung pernyataanku kalau harus bersaksi di pengadilan suatu saat nanti.” Balasku sambil mencari file rekaman itu di handphone.
Saat aku memutar rekaman suaranya, Eka terlihat mendengarkan percakapan kami dengan seksama hingga membuat matanya menyipit. “Begitu, ya.” Gumamnya singkat setelah rekaman itu selesai diputar.
Dia kemudian menyandarkan badannya sambil menghela napas panjang, seakan mencoba untuk menonaktifkan sikap profesionalismenya. “Hah… orang itu benar-benar doyan bikin masalah, ya. Asal kau tahu, Deborah udah menggelapkan 16 bidang tanah di Andawana, serta berhasil menipu sekitar 7 orang kaya yang berasal dari luar negeri.” Ucap Eka dengan nada yang lebih santai.
Wah, gila banget, ya. Ternyata kemampuannya dalam menipu sudah berhasil menjerat orang-orang kaya di luar negeri. “Terus, kenapa hal ini baru diketahui oleh kepolisian?” Tanyaku dengan nada penasaran.
“Orang terakhir yang ditipu oleh Deborah ternyata adalah seorang pengacara kondang di Jerman. Dia kebetulan punya koneksi dengan beberapa orang penting di Indonesia untuk dimintai tolong agar kejahatannya segera ditindaklanjuti. Karena hal itu, pihak kepolisian akhirnya mengetahui segala perbuatan kriminal yang telah dilakukan oleh Deborah.” Jelas Eka, sambil menyimpan buku catatan serta pulpennya di kantong seragamnya.
“Oh, ternyata si Matthias Otis itu pengacara, toh.” Celetukku singkat terhadap penjelasannya itu.
“Yah, begitulah.” Balas Eka menanggapi, sambil berdiri perlahan dari tempat duduknya. Dia kemudian mengulurkan tangan kanannya untuk menawarkan sebuah jabat tangan kepadaku. “Makasih banyak karena udah bersedia buat dimintai keterangan, Nael.”
Aku kemudian ikut berdiri dari kursi untuk menjabat tangan sahabatku itu. “Nggak masalah. Senang bisa membantu!”
“Kalau kau sempat melihat Deborah lagi, tolong hubungi aku secepatnya, ya. Selain itu, boleh aku minta file rekaman suara dan juga screenshot log panggilanmu sebagai barang bukti?” Pintanya dengan nada ramah seperti biasanya.
“Tentu. Akan kukirim lewat WhatsApp sekarang.”