Terlambat menyatakan cinta. Itulah yang terjadi pada Fiona.
ketika cinta mulai terpatri di hati, untuk laki-laki yang selalu ditolaknya. Namun, ia harus menerima kenyataan saat tak bisa lagi menggapainya, melainkan hanya bisa menatapnya dari kejauhan telah bersanding dengan wanita lain.
Ternyata, melupakan lebih sulit daripada menumbuhkan perasaan. Ia harus berusaha keras untuk mengubur rasa yang terlanjur tumbuh.
Ketika ia mencoba membuka hati untuk laki-laki lain. Sebuah insiden justru membawanya masuk dalam kehidupan laki-laki yang ingin ia lupakan. Ia harus menyandang gelar istri kedua, sebatas menjadi rahim pengganti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syitahfadilah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 4. AKHIRNYA MAU MEMBUKA HATI
Fiona cukup terkejut saat ustadzah Dian memberitahu bahwa Damar berniat untuk meng-khitbah dirinya. Ia terdiam dengan pandangan menunduk, menimang dalm hati tentang keputusan yang akan diambilnya.
Ia memang telah memantapkan hati apabila suatu hari nanti ada yang datang meminangnya, tapi Damar, bahkan mereka baru dua kali bertemu. Ia hanya takut, lelaki itu akan kecewa nantinya jika kriteria istri idaman tidak ada pada dirinya.
"Fiona, ada apa, Nak?" tanya ustadzah Dian, melihat gadis itu terdiam dengan ekspresi terkejut bercampur bingung.
Fiona terhenyak, ia mengangkat pandangan menatap ustadzah Dian. "Maaf, ustadzah. Saya rasa Mas Damar terlalu terburu-buru, kami bahkan belum saling mengenal satu sama lainnya. Saya bukan bermaksud untuk menolak, tapi mungkin sebaiknya, jika Mas Damar pikir-pikir dulu sebelum mengambil keputusan ini," ujarnya.
Ustadzah Dian tersenyum. "Tujuan utama khitbah dalam Islam bukan sekedar untuk mengungkapkan keinginan seorang laki-laki untuk menikahi seorang perempuan. Tapi juga bertujuan untuk saling mengenal lebih jauh antara kedua calon mempelai, serta membuka ruang bagi dua keluarga untuk saling mengenal dan mendukung. Tidak perlu terburu-buru. Tapi jika sudah cocok, ada baiknya untuk disegerakan. Bukankah sesuatu yang baik itu harus disegerakan. Bagaimana, Nak Fiona?"
Fiona mengangguk paham. Ia menarik nafas dalam-dalam, kemudian mengucapkan basmallah dalam hati. "Saya sambut niat baik Mas Damar," ucapnya mantap. Yah, tak ada salahnya mencoba. Insya Allah Damar juga adalah lelaki yang baik.
"Masya Allah." Ustadzah Dian tersenyum senang. "Ustadzah akan segera menyampaikan kabar baik ini pada orang tua Damar, juga pada orang tuamu," ujarnya.
Fiona hanya menanggapinya dengan anggukan pelan sembari tersenyum tipis. Setelah ustadzah Dian telah beranjak meninggalkannya, ia pun kembali ke asramanya. Duduk menghadap jendela dengan pikiran menerawang.
Benar kata ustadzah Dian, bahwasanya tidak ada yang sia-sia. Apa yang sudah ia pelajari untuk memantaskan diri bersama Teddy, bisa ia terapkan pada lelaki yang kini berniat untuk meng-khitbahnya.
Begitulah takdir. Seringkali apa yang didamba justru Allah jauhkan, begitupula sebaliknya. Tidak ada yang bisa mengatur agar ketetapan Allah sesuai dengan keinginannya. Yang bisa dilakukan hanyalah berserah, merunduk dengan penuh kepasrahan, lalu berdoa dengan nada yang merendah.
"Ya Allah, jika seseorang yang sedang Engkau dekatkan ini baik untukku, untuk agamaku, untuk masa depanku, untuk keluargaku, untuk dunia dan akhiratku, maka mudahkan dan yakinkan diriku. Serta izinkan aku mencintainya suatu hari nanti."
.
.
.
"Alhamdulillah," ucap Damar penuh syukur ketika ustadzah Dian mengabari bahwa Fiona menerima niat baiknya. Ia terdiam selama beberapa saat, namun senyum tak lepas menghiasi wajahnya. Terlalu bahagia sampai membuatnya tak bisa berkata-kata.
"Terima kasih, ustadzah. Aku akan segera membicarakan hal ini pada papa dan mama," ucapnya kemudian.
"Sama-sama, ustadzah turut bahagia untukmu, Nak. Insya Allah kamu dan Fiona akan menjadi pasangan yang saling melengkapi."
"Aamiin."
Setelah panggilan berakhir. Dengan Penuh semangat ia melangkah menghampiri kedua orang tuanya yang sedang bersantai di ruang keluarga.
"Pa, Ma," panggilnya antusias.
Sepasang suami istri itu menoleh, keduanya tampak heran melihat putra mereka terlihat sangat bersemangat.
"Ada apa, Dam?" tanya sang Mama. Sepertinya kamu lagi kelihatan senang, gitu,"
Damar duduk di samping mamanya, memeluk wanita itu dan mencium pipinya sekilas. "Tadi ustadzah Dian telepon. Katanya, Fiona sudah bersedia, Ma."
"Alhamdulillah!" seru wanita itu penuh syukur. Akhirnya keinginannya akan segera terwujud untuk segera memiliki menantu.
"Apa kamu sudah yakin sama perempuan itu? Jangan asal lihat rupa, kamu langsung mau-mau aja. Apalagi kamu belum mengenalnya lebih jauh. Kita gak tahu dia seperti apa," ucap sang papa. Dia cukup pemilih untuk urusan menantu. Bukan masalah derajat, miskin atau kaya. Yang terpenting akhlaknya baik dan bisa menjaga kehormatan keluarga, itu yang utama.
"Insya Allah, Fiona adalah wanita yang tepat, Pa. Sudah beberapa bulan ini dia belajar di pondok ustadzah Dian. Dan sebelumnya dia juga sudah memutuskan untuk tinggal di pondok. Insya Allah, dia adalah kriteria menantu idaman Papa," ujar Damar penuh keyakinan.
Lelaki paruh baya itu mengangguk pelan. "Baiklah, kalau kamu memang sudah yakin. Minta ustadzah Dian untuk mengatur pertemuan kita dengan keluarga perempuan itu."
Damar tersenyum, begitupun dengan sang mama.
Di sisi lain, kedua orangtua Fiona pun tak kalah senang ketika mendapat kabar baik itu. Terlebih, putri mereka telah menyetujuinya lebih dulu sebelum kabar baik itu sampai pada mereka.
Mama Kiara langsung menghubungi anak dan menantunya yang telah pisah rumah sejak setahun terakhir, membagikan kabar bahagia itu dengan perasaan yang membuncah.
"Alhamdulillah ya, Ma. Aku senang banget, akhirnya kak Fio mau membuka hati," ucap Aidan. Sebagai adik yang telah melangkahi kakaknya, ia cukup khawatir melihat sang kakak di usia yang sudah matang untuk menikah tapi belum juga menikah. Teddy yang merupakan teman sejawatnya, selalu mengejar kakaknya tapi selalu ditolak mentah-mentah, sampai akhirnya Teddy menerima wanita yang dijodohkan oleh orang tuanya. Dan sekarang, akhirnya kakaknya mau membuka hati untuk lelaki lain.
"Iya, Ai, mama juga senang banget." Mama Kiara tak hentinya tersenyum. "Besok lusa mereka mau datang, besok kamu sama Jihan kesini ya, bantu mama buat persiapan menyambut mereka."
"Iya, Ma," ucap Aidan.
Sambungan telepon pun berakhir. Senyum menghiasi wajah Aidan, membayangkan ia akan menuntun sang kakak naik ke pelaminan. Tak sabar rasanya menunggu hari itu tiba.
"Siapa yang telepon, Mas?" tanya Jihan yang baru datang sembari meletakkan secangkir teh hangat di atas meja, lalu duduk di samping suaminya.
"Mama yang telepon, katanya ada yang mau datang melamar kak Fio. Kita juga disuruh mama kesana besok, bantuin menyiapkan penyambutan keluarga calonnya kak Fio," jawab Aidan.
"Alhamdulillah, akhirnya kak Fio mau melepas masa lajangnya juga." Istri Aidan itu turut merasa senang.
"Iya, semoga semuanya berjalan lancar."
"Aamiin," ucap Jihan sembari tersenyum. Namun, sesaat kemudian senyumnya perlahan pudar kala teringat sesuatu.
"Ada apa?" tanya Aidan yang melihat perubahan raut wajah istrinya.
Jihan menggeleng. "Gak apa-apa Mas," jawabnya. Mungkin sebaiknya ia tidak memberitahu pada siapapun tentang apa yang dirasakannya di hari pernikahan Teddy. Ia melihat Fiona seperti menahan air mata, dan menatap mempelai prianya dengan dalam. Seperti ada luka di dalam sana. Mungkinkah ada penyesalan di hati Fiona saat melihat Teddy telah bersanding dengan wanita lain. Tapi semoga, itu hanya perasaannya saja. Jika pun itu benar, semoga hati kakak iparnya berbalik sepenuhnya pada lelaki yang akan meminangnya.
"Oh ya, bukankah kak Fio masih di pondok ya, Mas?" tanya Jihan mencoba mengalihkan topik.
"Iya, besok sekalian kita jemput," ujar Aidan.