NovelToon NovelToon
Diremehkan Karna Miskin Ternyata Queen

Diremehkan Karna Miskin Ternyata Queen

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Mafia / Reinkarnasi / Fantasi Wanita
Popularitas:4.6k
Nilai: 5
Nama Author: Anayaputriiii

"Diremehkan Karna Miskin Ternyata Queen" Adalah Kisah seorang wanita yang dihina dan direndahkan oleh keluarganya dan orang lain. sehingga dengan hinaan tersebut dijadikan pelajaran untuk wanita tersebut menjadi orang yang sukses.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anayaputriiii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 10 Makan Siang

Hanin menunggu kepulangan suaminya. Rasa gelisah melingkupi hati karena Raffa tak kunjung pulang sampai selarut ini. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Padahal, Raffa hanya mengatakan kalau dia hanya pulang sebentar saja.

"Sebenarnya kamu ke mana, sih, Mas?" Terselip rasa takut di hati Hanin. Takut jika saja pria itu kabur dan meninggalkannya.

Hanin keluar kamar dan memutuskan menunggu di ruang tamu. Perasaan takut dan gelisah yang ia rasakan membuatnya tak bisa tidur. Mendengar ada suara berisik,Pak Abdul bangun dan keluar kamar. Sementara sang istri masih terlelap seolah tak terganggu dengan gangguan apa pun.

"Hanin, kamu sedang apa, Nak?" Pak Abdul mendekati Hanin yang berjalan mondar mandir diruang tamu.

"Pak, Mas Raffa kok belum pulang, ya? Aku... khawatir kalau ada apa-apa," ungkap Hanin dengan wajah yang tak bisa menyembunyikan kecemasan.

Pak Abdul menatap jam dinding. Helaan napas berat lantas terdengar. "Mungkin sebentar lagi suamimu pulang. Duduklah! Bapak akan menemanimu."

Hanin bergeming. "Pak ...gimana kalau Mas Raffa kabur? Pernikahan kami kan terjadi karena terpaksa. Mana mungkin Mas Raffa mau menikah sama wanita sepertiku?" Air matanya mulai merembes, perlahan mengalir tanpa bisa dicegah.

Pak Abdul yang baru saja menghenyakkan bobot tubuhnya kembali berdiri. Ia berjalan menghampiri Hanin dan menepuk bahu putrinya itu dengan berkata,

"Memang kamu wanita seperti apa? Kamu adalah wanita sempurna. Cantik, baik, dan pekerja keras. Sangat bodoh jika sampai ada lelaki yang mencampakkan kamu."

"Tapi, Mas Raffa..."

Belum selesai Hanin bicara, deru motor terdengar berhenti di halaman rumah. Hanin menyingkap gorden dan melihat Raffa datang. Perlahan rasa takutnya mulai hilang dan berganti dengan perasaan lega.

Hanin membuka pintu dan menyambut Raffa dengan mengulurkan tangan hendak menyalimi suaminya itu.

"Assalamu' alaikum, Pak, Hanin. Maaf, aku pulang larut," kata Raffa.

"Wa' alaikum salam. Kamu sebenarnya dari mana, Nak Raffa? Kenapa sampai selarut ini? Kamu bilang cuma sebentar kan tadi? Apa kamu tidak tahu kalau istrimu ini menunggumu sejak tadi?" cecar Pak Abdul. Suaranya memang lembut tapi terdengar tegas.

"Maaf, Pak. Tadi saya ada urusan yang tidak bisa ditinggal. Saya mau mengabari Hanin, tapi saya tidak punya nomor teleponnya." Raffa melirik Hanin yang wajahnya nampak sembab.

"Hanin, maafkan aku, ya."

Hanin mengangguk tanpa kata mendengar permintaan maaf yang tulus itu.

"Ya sudah, lain kali kalau memang ada keperluan, kasih kabar, ya? Kasihan istrimu. Dia mencemaskan kamu sejak tadi," pesan Pak Abdul.

"Lebih baik sekarang kalian tidur, karen ini sudah sangat malam," titahnya.

...****************...

Hanin menghapus sisa air matanya karena rasa cemas sebab suaminya, Raffa yang tak kunjung

pulang. Kini ia merasa gugup karena sudah berdua di dalam kamar yang sama.

"Jangan menangis lagi, aku sudah kembali," kata Raffa. Kali ini suaranya terdengar lembut. Tak sedingin biasanya.

"Aku kira kamu kabur ninggalin aku, Mas."

Raffa tersenyum tipis. "Bukannya seharusnya kamu senang kalau itu terjadi?"

Hanin menggeleng. "Kita sudah menikah, aku tidak mau mempermainkan pernikahan. Lagi pula, pasti semua orang akan semakin mengucilkanku jika kamu benar-benar ninggalin aku."

Hanin menunduk, mencoba menghindari tatapan Raffa. Ada ketegangan aneh yang menyelimuti kamar itu, sebuah rasa yang sulit dijelaskan. Raffa menatapnya lekat-lekat, seolah mencoba membaca pikiran Hanin.

"Kamu terlalu peduli dengan apa kata orang," ujar Raffa akhirnya, duduk di tepi ranjang.

Nadanya tidak setajam biasanya, tetapi masih ada bekas sinis meyang tersisa. Hanin mengangkat kepala, menatap Raffa dengan mata yang memerah.

"Aku peduli karena aku tahu rasanya jadi bahan omongan. Mas Raffa, mungkin kamu tidak mengerti bagaimana sulitnya jadi perempuan di desa ini. Sekali orang menuding, bekasnya tidak akan hilang."

Raffa terdiam. Ia memahami apa yang Hanin katakan, meskipun sulit baginya untuk mengakuinya. Pernikahan ini bukanlah sesuatu yang ia rencanakan, apalagi inginkan pada awalnya. Tapi kini,di depan matanya, ada seorang perempuan yang hatinya lemah, berusaha keras untuk bertahan dan terlihat kuat. dariku?" tanyanya akhirnya,

"Jadi, apa yang kamu inginkan suaranya sedikit melembab.

"Aku tidak meminta banyak.Aku cuma ingin kamu bersikap baik, setidaknya sampai keadaan ini lebih jelas. Aku tahu kamu terjebak dalam situasi ini sama seperti aku, tapi tolong ... jangan membuatku merasa lebih buruk."

Raffa menarik napas panjang, lalu mengangguk. "Baik. Aku akan mencoba. Aku akan berusaha untuk menjadi suami yang baik."

Hanin sedikit terkejut dengan jawaban itu. Ia tidak menyangka Raffa akan mengalah.

"Benarkah?Tapi ... soal itu, apa kamu mau memintanya?" Hanin menggigit bibir bawahnya, menahan malu.

"Tidak." Hanin melebarkan mata.

"Tidak?" la terkekeh. Ia tahu bahwa Raffa pasti enggan menyentuh wanita seperti dirinya.

"Tidak untuk sekarang. Tapi, aku tidak tahu bagaimana ke depannya," kata Raffa lagi.

Hanin menatap Raffa dengan bingung.

"Mana bisa aku melakukan itu denganmu saat kamu takut padaku? Aku mau, melakukan itu jika kamu sudah siap, Hanin."

"Kamu gak jijik sama aku?" Hanin bertanya lirih.

"Kenapa aku harus jijik sama istriku sendiri?"

Wajah Hanin seketika merona."Itu, aku kan dekil. Beda sama adikku. Aku tidak pernah merawat wajah dan kulitku. Sebagai lelaki, pasti bila disuruh milih antara aku dan Lisna, pasti Lisna yang akan dipilih," jelasnya.

"Tidak semua lelaki punya pemikiran sepertimu, Nin." Raffa mengalihkan pandangannya pada figura kecil di atas meja. Seulas senyum terbit dari bibirnya melihat foto masa kecil Hanin.

"Lelaki yang tulus tidak melihat penampilan sebagai penilaian utama. Lagi pula, semua wanita itu cantik. Begitu pula denganmu."

Hanin seketika menyentuh pipinya yang terasa panas. Ucapan Raffa sesederhana itu. Namun, malah membuatnya melayang.

"'Aku akan membantumu merawat dirimu. Sebagai wanita, kamu pasti menginginkan perawatan kan?"

"Iya, Mas. Aku pengen. Tapi, aku sadar diri kalau kondisi kita pas- pasan. Mas kan cuma OB, aku juga cuma pekerja toko biasa. Dari pada uang buat perawatan kan mending buat kebutuhan sehari-hari," tukas Hanin.

"Aku ini tipe kaum mendang- mending, Mas," kelakarnya yang membuat Raffa tergelak.

"Sudahlah. Besok kita bicara lagi. Matamu sudah merah, kamu pasti ngantuk berat. Tidurlah, aku akan tidur di lantai," kata Raffa.

"Eh...." Hanin hendak melarang, tapi ia sendiri masih canggung jika berbagi kasur dengan Raffa.

Malam itu mereka tidak banyak bicara lagi. Raffa memilih tidur dilantai kamar, sementara Hanin meringkuk di atas kasur, memeluk guling erat -erat. Suara jangkrik di luar mengisi keheningan, dan meskipun masih ada kecanggungan di antara mereka, malam itu terasa sedikit lebih tenang.

...****************...

Keesokan paginya, Hanin bangun lebih awal dari biasanya. Ia menatap Raffa yang masih terlelap di lantai, wajahnya terlihat lebih damai dalam tidur. Hanin berjalan pelan keluar kamar, menuju kamar mandi, lalu melaksanakan salat. Ia lantas dapur. Ia memutuskan untuk menyiapkan sarapan, bukan untuk dirinya sendiri saja, tapi juga untuk Raffa. Namun, saat ia tengah sibuk memotong sayur, suara langkah kaki terdengar. Raffa muncul di ambang pintu, wajahnya masih terlihat kusut.

"Kamu bangun pagi sekali," komentarnya, duduk di kursi tanpa diminta.

"Kan harus salat., Mas." Jawaban Hanin berhasil menyentil hati Raffa

"Aku juga harus masak buat keluarga. Kalau tidak masak pagi-pagi, nanti bahan-bahannya jadi layu. Keluargaku juga kalau bangun langsung nyari sarapan," jawab Hanin sambil terus mengolah bahan masakan.

Raffa tersenyum. "Apa Ibu dan adikmu tak pernah membantumu?"

Hanin menatap Raffa sekilas sebelum melanjutkan pekerjaannya.

"Seperti yang Mas lihat saja."

Mereka diam sejenak, hanya ditemani suara pisau yang memotong sayur. Tapi tiba- tiba Raffa berbicara, suaranya pelan tapi tegas.

"Hanin, aku mau membicarakan soal pernikahan kita."

Hanin menghentikan gerakannya dan menoleh. "Ada apa, Mas?"

"Aku sudah mengurus semua pernikahan kita resmi." Hanin tertegun.

"Bukankah pernikahan kita sudah sah?"

"Iya, tapi hanya secara agama.Kalau kita tidak mencatatkannya dikantor urusan agama, semua initetap bisa dipermasalahkan. Aku tidak mau ada celah untuk gosip atau apa pun yang bisa menyulitkanmu."

Ada kehangatan yang tiba- tiba mengalir di hati Hanin mendengar kata -kata Raffa. Meskipun ini pernikahan yang terjadi karena paksaan, setidaknya ia tidak sendirian dalam menghadapi semua ini.

"Terima kasih, Mas," ucapnya lirih.

Raffa mengangguk. "Kita mungkin tidak memulai ini dengancara yang benar, tapi aku akan berusaha. Setidaknya, untuk sementara ini." Hanin tersenyum menanggapi.

Waktu terus berjalan. Pak Abdul baru saja pulang dari musala dan langsung ke dapur untuk minum. la tersenyum saat melihat menantunya menemani Hanin memasak.

"Gimana tidurnya semalam, Nak? Apa kamu krasan?"

Raffa mengangguk. "Krasan,Pak. Kamar Hanin sangat nyaman, jawabnya.

"Syukurlah ... Hanin, apa ibumu belum bangun?"

"Aku nggak tahu, Pak. Tapi, Ibu belum keluar kamar."

Pak Abdul menghela napas. la lantas berjalan ke kamarnya dan ternyata Bu Daning sedang kurang sehat. Wanita paruh baya itu terlalu lelah dan banyak pikiran. Sementara itu, Lisna baru bangun setelah semua masakan Hanin matang. la bersenandung sambil berjalan melewati dapur hendak ke kamar mandi. la mencibir melihat Hanin dan Raffa sarapan bersama.

"Dih, pasangan mesum lagi makan bareng!"

Hanin memutar malas bola matanya.

"Pasangan zina teriak mesum!" balasnya.

"Apa?!"Lisna tak terima. la menghampiri Hanin dan hendak melayangkan tamparan. Namun, Raffa seketika berdiri dan menatap tajam Lisna.

Tatapannya sangat menakutkan.

"Jika kamu berani menyentuh Hanin dengan tangan kotormu itu, akan kupatahkan tanganmu itu!"

Lisna menelan ludah, terkejut dengan sikap Raffa yang tiba- tiba melindungi Hanin. Ia mencoba menjaga ekspresi wajahnya tetap sinis meskipun jelas-jelas merasa takut.

"Kamu sok jadi pahlawan, ya?Jangan kira aku takut sama kamu,"ujar Lisna, meskipun nadanya terdengar gemetar.

Raffa tidak membalas. Ia hanya menatap Lisna tanpa berkedip,membuat gadis itu semakin gugup. Akhirnya, Lisna mendengus kesal dan berbalik menuju kamar mandi.

Hanin menghela napas lega begitu Lisna pergi.

"Kamu tidak perlu segalak itu, Mas," katanya pelan.

"Dia adikmu, tapi dia tidak punya hak memperlakukanmu seperti itu. Seharusnya dia

menghormatimu," jawab Rafa tegas, sambil duduk kembali dikursinya.

Hanin mengangguk pelan. Ada rasa hangat yang merayap di hatinya. Baru kaliini ada seseorang

yang berdiri untuknya, meskipun situasi mereka tidak ideal. Setelah kejadian pagi itu, suasana di rumah menjadi semakin canggung. Lisna sengaja

menghindari Raffa, tetapi tidak berhenti melancarkan sindiran-sindiran pedas setiap kali adakesempatan.

"Mas, aku berangkat kerja dulu. Kamu berangkat jam berapa?"tanya Hanin.

"Aku shift sore. Kamu pulang jam berapa?"

"Jam 4, Mas."

"Nanti aku jemput."

"Hah? Nggak perlu, Mas. Tempat kerjaku kan deket."

Raffa memberi tatapan tajam. "iya ,Nanti aku tunggu," katanya pada akhirnya.

Hanin menghela napas. "Iya,

...****************...

"Nin, selamat, ya? Aku denger kamu baru nikah ya?" Ko Yusuf menyambut Hanin dengan suka

Hanin meringis."Alhamdulillah, Ko. Makasih."

"Halah, nikahnya kan karena digrebek sama warga lagi indehoy digubuk. Kalau gak ketahuan ya gak bakalan nikah," celetuk Dina, karyawan Ko Yusuf yang lain. Ia tak pernah menyukai Hanin karena iri. Sebab, Ko Yusuf selalu memuji Hanin.

Din. Pak Rendra sendiri juga sudah bilang kalau tidak ada bukti kami berbuat mesum."

"Itu semua cuma salah paham, maling ngaku," cibirnya. Dina mencebik. "Mana ada Hanin,"

Tegur Ko Yusuf. "Saya percaya kalau Hanin tidak.. "Sudah, jangan menyudutkan, melakukan hal serendah itu. Sekarang kembalilah bekerja!"

Hanin tersenyum lega. "Baik,Ko. Terima kasih banyak," ucapnya penuh rasa haru.

Istirahat, Ko Yusuf memanggil Hanin yang sedang memijat kakinya. "Hanin, ada orang yang

mencarimu," katanya.

"Siapa, Ko?"

Hanin mengangguk. Lantas menemui orang yang dimaksud majikannya. Saat tiba di depan toko, Hanin mengernyit saat melihat lelaki paruh baya membungkuk hormat padanya.

"Tidak tahu. Coba kamu temui."

"saya?" tanya Hanin, ingin memastikan.

"Maaf, Pak. Apa Anda mencari

"Iya, Non. Saya ditugaskan Tuan Muda untuk mengantar makan siang," tukasnya.

"Tuan Muda?" Kening Hanin mengernyit. "Tuan Muda siapa yang Bapak maksud. Bapak pasti salah orang," tukasnya.

"Tidak. Bukankah Nona ini Nona Hanin anaknya Pak Abdul dan Bu Daning?"

Hanin mengangguk pelan. "Tapi, saya tidak tahu Tuan Muda mana yang Bapak maksud."

Pria di hadapan Hanin itu tersenyum lembut.

"Nanti Nona akan tahu. Tapi, sekarang saya mohon terima ini, ya. Soalnya saya di sini bekerja, Non."

Hanin dengan berat hati menerimanya. Ingin menolak tapi rasa ibanya lebih besar.

"Panggil saja saya Hanin, Pak. Dan tolong sampaikan pada Tuan Muda Anda itu untuk tidak membuat teka teki seperti ini." begitu saya pamit."

"Baik. Saya mengerti. Kalau Hanin mengangguk. Menatap langkah pria paruh baya yang tak ia ketahui namanya itu. Pria paruh baya itu masuk ke mobil mewah lalu melaju meninggalkan pelataran toko. membuka kotak makanan itu.

Di dalam toko, Hanin Kedua matanya terbelalak melihat menu yang tak pernah ia lihat secara langsung sebelumnya. lahanya melihat dari televisi makanan seperti ini.

"Ini kan steak daging?" Hanin mencicipi sedikit. Lidahnya terasa seperti dimanjakan saat merasakan lembutnya tekstur daging sapi yang ia makan.

"Ini pasti mahal. Aku aja masak daging gak bisa selembut ini. Duh, sebenarnya Tuan Muda itu siapa,sih? Aku jadi galau," gumam Hanin.

1
Rubi Yana
semangat di tunggu lanjutannya.
Nurae
Ini cerita nya sedih... ☹️
viddd
Greget bangett sama kelakuan lisna dan ibunya,, cepet rilis episode selanjutnya dong
viddd
Good ceritanya
viddd
Kasian lisna, baru episode 1 aja sedih ceritanya 🥲
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!