Dijodohkan dengan pria kaya raya? Kedengarannya seperti mimpi semua perempuan. Tapi tidak bagi Cloe.
Pria itu—Elad Gahanim—tampan, sombong, kekanak-kanakan, dan memperlakukannya seperti mainan mahal.
“Terima kasih, Ibu. Pilihanmu sungguh sempurna.”
Cloe tak pernah menginginkan pernikahan ini. Tapi siapa peduli? Dia hanya anak yang disuruh menikah, bukan diminta pendapat. Dan sekarang, hidupnya bukan cuma jadi istri orang asing, tapi tahanan dalam rumah mewah.
Namun yang tak Cloe duga, di balik perjodohan ini ada permainan yang jauh lebih gelap: pengkhianatan, perebutan warisan, bahkan rencana pembunuhan.
Lalu, harus bagaimana?
Membunuh atau dibunuh? Menjadi istri atau ... jadi pion terakhir yang tersisa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rinnaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
4. Tidak mau.
Cloe melompat ke sana ke mari seolah dia memiliki sayap untuk terbang. Terakhir, dia melemparkan diri ke atas ranjang empuk. Langit-langit kamar sedikitpun tidak tergores, hanya ada kemulusan di atas sana. Berbeda sekali dengan kamarnya yang memiliki corak bekas rembesan hujan.
“Aku benaran tidak sedang tidur panjang, kan? Rasanya seperti mimpi.”
Cloe memeluk bantal, pipinya memerah oleh rasa senang. Tuhan sudah mengabulkan angan-angannya, bagaimana cara dia berterima kasih? Sungguh mendebarkan, tidak lama lagi dia akan menikah. Baru sekarang dia merasa hidup begitu mudah.
Begitu pintu kamar diketuk, Cloe terperanjat dan langsung duduk. Ia memperhatikan pintu sampai itu terbuka. Terlihatlah Aida muncul, bersama pelayan membawa gaun putih mewah serta perhiasan berkilau.
“Cobalah dulu gaun pengantin ini,” ucap Aida, pelayan melangkah lebih dulu mendekati Cloe.
Mereka membantu Cloe memasang gaun.
Agak mengherankan, gaun sudah ada di rumah, seharusnya Zeline sudah mencobanya. Kenapa Aida meminta mencoba gaun lagi?
“Nah, kan, benar,” ujar Aida, dia menjepit dagu memperhatikan penampilan Cloe. “Kau lebih kurus, pinggangmu lebih kecil tapi dada sedikit lebih berisi dari sebelumnya. Syukurlah aku ingat untuk mengukur ulang. Gaun ini masih sempat diperbaiki.”
Waw, dia sangat teliti. Aida pantas mendapatkan tepuk tangan. Cloe berharap ketelitian itu tidak berpengaruh membongkar indentitas anak yang telah ditukar ini. Menegangkan, Cloe ingin menjauh dari Aida sekarang juga.
“I-Ibu, aku mau ke kantor Elad.” Hanya ini satu-satunya ide yang terlintas. Tidak mungkin dia melarang Cloe bertemu dengan calon suaminya.
Ekspresi Aida berubah semakin tajam, seperti sedang mengancam. “Boleh, tapi kau harus ingat kau tidak bisa melarikan diri dari pernikahan ini.”
‘Haha, aku bukan Zeline. Tidak mungkin aku melarikan diri pengeran impianku.’
Cloe menganggukkan kepala sebagai tanda setuju, usai itu Aida keluar bersama dua pelayan. Barulah dia bernapas lega, ketajaman Aida sangat mengkhawatirkan.
Pertama-tama Cloe merias diri seadanya, menggunakan pakaian Zeline dan berusaha tampil seperti gadis itu. Dia menatap cermin, lalu berkata, “Apakah aku perlu memotong rambut?”
Hati merasa keberatan, rambutnya adalah satu-satunya kemewahan kala dia di kampung sebagai gadis miskin. Cloe membelai rambutnya sendiri, rambut panjang yang lebat dan indah--tidak lurus, namun bergelombang.
“Aku rasa tidak masalah, dia bisa berpikir ini sebagai rambut sambungan.”
Terakhir, dia menyemprotkan parfum. Dia turun ke bawah, meminta seorang supir mengantar ke kantor milik Elad. Beruntung Zeline dan Aida tidak bisa menyetir, jadi tidak aneh jika ada supir di rumah ini.
Debar jantung Cloe berpacu seiring mobil yang membawanya semakin dekat dengan sebuah gedung pencakar langit yang menjulang perkasa. Ini dia, markas besar perusahaan teknologi yang dipimpin oleh Elad, calon suaminya.
“Tinggi sekali, ini lebih menyenangkan karena dia sangat kaya raya.”
Dia mencubit diri, meringis setelah itu. Sakit. Mau berapa kali lagi memastikan keadaan saat ini bukanlah mimpi? Rasanya sulit dipercaya namun begitulah kenyataannya.
Cloe menggenggam erat tas tangannya, berusaha meredam kegugupan yang menyeruak. Ia membayangkan sosok Elad Gahanim, mungkin luar biasa dan seberhasil citra perusahaan yang dipimpinnya.
Setelah menyuruh supir pergi, Cloe menarik napas dalam-dalam dan melangkah memasuki lobi yang dingin dan modern. Aroma parfum mahal bercampur dengan desing pelan lift menciptakan atmosfer profesional yang kaku. Ia menyebutkan nama Elad pada resepsionis yang tersenyum ramah, dan diarahkan menuju lantai eksekutif.
‘Resepsionis tadi tidak bertanya siapa aku, apakah Zeline sebelumnya pernah ke sini?’
Semakin tinggi ia melangkah, semakin kuat pula debaran di dadanya. Rasa penasaran bercampur harap menggelayuti benaknya.
Pintu lift terbuka, menampilkan lorong luas dengan dinding kaca yang memperlihatkan pemandangan ibu kota dari ketinggian. Seorang pria menyambutnya dengan senyum sopan dan mempersilakannya duduk di ruang tunggu yang elegan. "Tuan Elad sedang ada tamu sebentar, Nona. Mohon ditunggu," ujarnya lembut.
‘Miko,’ Cloe membaca name tag. ‘Aku yakin pria ini sekertarisnya.’
Bukan seorang wanita, ini kabar baik. Tidak asing lagi oleh kisah perselingkuhan antara bos dan sekretaris. Dia membaca demikian di novel.
Cloe mengangguk, mencoba bersikap tenang. Ia meraih majalah di meja, namun pikirannya melayang. Beberapa menit berlalu, terasa seperti keabadian.
Tiba-tiba, samar-samar terdengar suara tawa dan percakapan dari balik pintu ruangan yang tertutup rapat di ujung lorong. Suara seorang wanita ikut menyela, terdengar riang dan manja.
Rasa penasaran yang awalnya kecil kini tumbuh menjadi kecemasan yang tak nyaman. Instingnya berbisik ada sesuatu yang tidak beres. Perlahan, tanpa sadar, Cloe bangkit dari duduknya dan melangkah mendekati pintu itu. Jantungnya semakin berdebar kencang seiring langkah kakinya yang ragu.
Dengan tangan gemetar, ia sedikit mendorong pintu yang ternyata tidak terkunci rapat. Sebuah celah kecil terbuka, cukup baginya untuk melihat pemandangan yang membuatnya membeku seketika.
Di dalam ruangan yang tampak mewah itu, Elad berdiri menghadap seorang wanita bergaun merah menyala. Mereka tidak hanya berbicara; tangan Elad melingkar posesif di pinggang wanita itu, dan bibir mereka baru saja berpisah setelah sebuah ciuman mesra. Tawa renyah wanita itu kembali terdengar, disambut senyum hangat dari Elad.
Dunia Cloe seolah runtuh dalam sekejap. Pemandangan itu menghantamnya seperti gelombang tsunami, menghancurkan semua harapan dan bayangan indah yang sempat ia rajut. Pria yang dijodohkan dengannya, pria yang akan menjadi suaminya, tengah bermesraan dengan wanita lain, di kantornya sendiri.
Napas Cloe tercekat. Rasa sakit yang menusuk bercampur dengan amarah dan malu yang membakar. Tanpa sadar, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia tidak ingin melihat lebih jauh, tidak sanggup mendengar lebih banyak.
“A-apa-apaan ini?” gumamnya sendu.
Dengan langkah terhuyung, Cloe mundur dari pintu itu. Ia berbalik dan berlari sekencang-kencangnya menyusuri lorong, air mata kini tumpah membasahi pipinya. Sekretaris yang tadi menyambutnya tampak terkejut melihat Cloe berlari dengan wajah pucat dan berlinang air mata.
“No-Nona!” panggil Miko, dia celingak-clinguk kebingungan antara mengejar Cloe atau melaporkan hal ini pada Elad.
Namun, Cloe tidak peduli. Ia hanya ingin menjauh, sejauh mungkin dari tempat ini, dari pria itu, dari kenyataan pahit yang baru saja menghantamnya.
Ia menekan tombol lift berulang kali dengan kasar, berharap benda itu segera membawanya turun, menjauhi neraka yang baru saja ia saksikan.
“Tidak mau! Tidak mau! Tidak mau!” Dia menekan kepalanya frustrasi, terjatuh sehingga kini dia terduduk di lantai seolah telah kehilangan seluruh tenaga. “Aku tidak suka drama orang ketiga!”
Ketika pintu lift terbuka, Cloe langsung masuk dan menekan tombol lantai dasar tanpa melihat ke belakang. Ia hanya ingin melarikan diri, meninggalkan mimpi yang bahkan belum sempat ia genggam.
Bersambung....