Rasa trauma karena mahkotanya direnggut paksa oleh sahabat sendiri membuat Khanza nekat bunuh diri. Namun, percobaannya digagalkan oleh seorang pria bernama Dipta. Pria itu jugalah yang memperkenalkannya kepada Vania, seorang dokter kandungan.
Khanza dan Vania jadi berteman baik. Vania menjadi tempat curhat bagi Khanza yang membuatnya sembuh dari rasa trauma.
Siapa sangka, pertemanan baik mereka tidak bertahan lama disebabkan oleh perasaan yang terbelenggu dalam memilih untuk pergi atau bertahan karena keduanya memiliki perasaan yang sama kepada Dipta. Akhirnya, Vania yang memilih mundur dari medan percintaan karena merasa tidak dicintai. Namun, Khanza merasa bersalah dan tidak sanggup menyakiti hati Vania yang telah baik padanya.
Khanza pun memilih pergi. Dalam pelariannya dia bertemu Ryan, lelaki durjana yang merenggut kesuciannya. Ryan ingin bertanggung jawab atas perbuatannya dahulu. Antara cinta dan tanggung jawab, siapakah yang akan Khanza pilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Dua Puluh Empat
"Dipta ... kamu cari siapa?" tanya Mama Lily.
Dipta terkejut melihat kehadiran mamanya. Langkahnya langsung terhenti. Matanya menatap tak percaya dengan apa yang ada di depan mata. Dia pikir mamanya hanya ke pasar saat tak melihatnya tadi.
"Mama ... pagi-pagi sudah ada di sini?" tanya Dipta dengan suara yang terdengar serak.
"Memangnya kenapa kalau mama pagi-pagi sudah ada di sini? Kamu sendiri pagi-pagi udah ada di sini? Kenapa?" Bukannya menjawab pertanyaan anaknya, Mama Lily justru balik bertanya.
Dipta menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia makin terkejut ketika menyadari mamanya sedang menggendong bayi Mika. Dia lalu berjalan mendekati Mama Lily dan duduk di sampingnya.
"Ma, gimana bayinya? Genteng, ya? Mama suka dengan bayinya?" tanya Dipta secara beruntun.
Mama Lily memandangi putranya dengan tatapan yang penuh tanda tanya. Dia melihat pria itu sangat bahagia.
"Bayinya lucu. Tapi akan lebih lucu dan mama sayangi jika itu putra kamu dan Vania," jawab Mama Lily.
Dipta kembali menggaruk kepalanya yang tak gatal. Dia tersenyum tak tahu harus menjawab apa.
"Kapan kamu dan Vania menikah?" tanya Mama Lily lagi.
Vania yang datang dengan membawa dua gelas teh hangat dan sepiring roti bakar, jadi terkejut mendengar ucapan Tante Lily. Dia lalu meletakan semuanya di meja tepatnya dihadapan Tante Lily.
"Kenapa Mama jadi tanyakan itu? Aku dan Vania tak mungkin menikah. Dia ini adikku. Aku sudah menganggap Vania seperti adik kandung sendiri," jawab Dipta.
Vania hanya mendengar kedua anak dan ibu itu, tanpa perlu menjawab. Dia meraih Mika dan memberikan pada bibi.
"Ma, maaf, Mika harus aku ambil. Biar bisa ditidurkan," ucap Vania pada Tante Lily.
"Oh, iya. Silakan ...."
"Bi, tidurkan Mika di kamarnya. Pasti Khanza telah selesai mandi," ucap Vania pada bibi. Tadi saat di dapur dia memang meminta bibi untuk membawa Mika ke kamar ibunya.
Bibi lalu mengambil alih Mika dan membawanya pergi. Vania lalu duduk di sebelah Tante Lily, mamanya Dipta.
"Ma, apa yang Dipta katakan itu benar. Aku dan Dipta tak ada hubungan apa pun. Kami hanya menganggap seperti saudara," ucap Vania. Walau dia mengatakan itu semua dengan sedikit gugup.
Ucapan dia sendiri membuat dadanya sesak. Luka yang sudah berusaha dia tutup kembali terbuka. Dia jadi teringat kembali saat Dipta melamar Khanza.
Membunuh wanita itu sangatlah mudah Tuan, cukup kau katakan jika kau mencintai wanita lain, maka runtuh lah dunianya. Tak perlu raga yang kau sakiti, karena wanita tidak selemah itu, cukup kau lukai dengan ucapanmu, maka kau akan lihat dia menangis pilu.
Tante Lily meraih tangan Vania. Dia lalu menggenggamnya. Sambil tersenyum wanita itu lalu mengatakan sesuatu yang membuat Dipta tak bisa berkata apa-apa lagi.
"Vania, walau seberapa kerasnya kamu mengatakan kalau tak ada perasaan apa-apa dengan Dipta, Tante tak akan percaya. Hanya Dipta saja yang bodoh, tak bisa membaca sikapmu. Kamu menyukai Dipta'kan?" tanya Tante Lily.
Vania terkejut mendengar pertanyaan Tante Lily. Dia lalu melirik ke arah Dipta. Nampak sekali pria itu tak suka dengan pertanyaan mamanya. Wajahnya cemberut.
"Tante, aku memang menyukai Dipta. Tapi aku hanya menganggap dia seperti abangku. Mungkin Tante salah mengartikan sikap kami. Tak ada perasaan cinta itu di hati Dipta," ucap Vania.
Vania tak mengatakan jika dirinya tak mencintai Dipta, karena memang sebenarnya dia sangat mencintai pria itu. Dia hanya menekankan jika Dipta lah yang tak mencintai dirinya.
"Ma, aku mencintai wanita lain. Sedangkan Vania, aku menyayangi dirinya, tapi hanya seperti adik. Tidak lebih. Dan aku yakin Vania sudah tau," ucap Dipta dengan suara yang penuh penekanan.
"Apa kamu sadar dengan ucapanmu itu, Dipta? Mama rasa semua karena kalian belum menyadari jika cinta itu ada."
"Tante, aku rasa Tante yang salah. Kami memang hanya menganggap hubungan selama ini sebagai adik kakak," ucap Vania mencoba meyakinkan mamanya Dipta.
Vania merasa tak enak hati dengan sahabatnya itu. Takut nanti Dipta salah sangka, dan membaca perasaannya.
"Ma, dengarkan apa yang Vania katakan. Dia juga tak memiliki perasaan apa-apa denganku!" ucap Dipta menegaskan.
Dipta yang tadi bermaksud ingin mengatakan tentang Khanza, mengurungkan niatnya. Saat ini bukanlah waktu yang tepat, ucap Dipta dalam hatinya.
"Kamu itu bodoh! Ada seorang wanita sempurna dihadapan'mu, tapi tak juga kamu sadari. Apa kurangnya Vania? Dia cantik, baik dan karirnya bagus. Wanita saja pasti banyak iri dengan apa yang dia miliki. Kau tak akan pernah dapat seperti dirinya!" seru Mama Lily dengan penuh penekanan.
Dipta terkejut dengan reaksi Mama Lily yang tidak terduga. "Ma, apa maksud perkataan Mama itu? Vania hanya sahabatku, bukanlah wanita yang bisa aku miliki," kata Dipta dengan nada yang sedikit kesal. Dipta merasa tidak nyaman dengan arah percakapan ini.
Mama Lily memandang Dipta dengan mata yang tajam. "Mama tahu apa yang Mama katakan, Dipta! Vania adalah wanita yang sempurna untukmu. Mama tidak ingin kamu kehilangan kesempatan ini. Mama yakin kau akan menyesal setelah Vania dimiliki orang lain," kata Mama Lily dengan penekanan. Dipta merasa frustrasi dan tidak bisa memahami mengapa Mama Lily begitu keras kepala tentang hal ini.
"Ma, aku rasa kita harus berbicara tentang ini nanti. Saat ini, aku rasa bukan waktu yang tepat untuk memikirkan ucapan Mama," kata Dipta, mencoba mengalihkan topik pembicaraan.
Akan tetapi Mama Lily tidak mau mengalah, "Tidak, Dipta! Mama ingin kamu memikirkan tentang Vania sekarang juga. Jangan sia-siakan kesempatan ini!" Dipta merasa semakin kesal dan tidak bisa memahami mengapa Mama Lily tidak mau mendengarkan apa yang dia katakan.
"Tante, apa yang Dipta katakan benar. Perasaan itu tak bisa dipaksakan. Sekarang lebih baik lupakan saja semua pembicaraan ini. Lebih baik kita sarapan. Tante pasti lapar," ucap Vania mencoba menengahi.
Vania tak mau Dipta jadi salah tanggap dan menganggap jika dia yang telah menghasut Tante Lily. Dia juga tak ingin Dipta menjadi canggung nantinya.
Mama Lily memandang Vania dengan lembut dan senyuman yang merekah. "Baiklah, Vania. Tante memang lapar. Mari kita sarapan," kata Mama Lily, mengakhiri percakapan yang tidak nyaman itu. Dipta menghela napas lega, merasa bahwa situasi telah berangsur-angsur normal kembali.
Vania tersenyum dan mengajak Mama Lily menuju meja sarapan. Dipta mengikuti mereka, masih merasa sedikit tegang setelah percakapan tadi.
Suasana sarapan menjadi lebih santai, dengan mereka bertiga berbagi cerita dan tertawa bersama. Dipta merasa bersyukur memiliki orang-orang yang peduli padanya, dan dia berharap bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Dalam hatinya Dipta masih terus memikirkan Khanza. Rasanya ingin berdiri dan membawa sarapan untuk wanitanya itu. Biasanya dia akan menyuapinya.
"Apa Khanza telah sarapan?" tanya Dipta dalam hatinya. Dia menyantap sarapan sambil termenung. Tak ada seleranya.
Semoga kalean selalu dalam lindungan Alloh SWT dan selalu di jaga oleh mama Reni 🤗🤗😍😍