Aaron Dzaka Emir--si tampan yang hidup dalam dekapan luka, tumbuh tanpa kasih sayang orang tua dan berjuang sendirian menghadapi kerasnya dunia.
Sebuah fakta menyakitkan yang Dzaka terima memberi luka terbesar sepanjang hidupnya. Hidup menjadi lebih berat untuk ia jalani. Bertahan hidup sebagai objek bagi 'orang itu' dan berusaha lebih keras dari siapapun, menjadi risiko dari jalan hidup yang Dzaka pilih.
Tak cukup sampai di situ, Dzaka harus kehilangan salah satu penopangnya dengan tragis. Juga sebuah tanggung jawab besar yang diamanatkan padanya.
Lantas bagaimana hidup Dzaka yang egois dan penuh luka itu berlanjut?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bulan_Eonnie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DD 16 Operasi Penyergapan Pertama
“Ka! Lo yakin nemuin Pak Ahmad?” tanya Tanvir yang khawatir dengan keputusan Dzaka. Tanvir hanya takut mereka mendapat amarah Pak Ahmad, karena rencana penyergapan ini sudah dirampungkan.
“Gue gak pernah tau hasilnya sebelum nyoba.” Dzaka tetap pada pendiriannya untuk menemui Pak Ahmad dan mengundurkan diri. Bukan saatnya bagi Dzaka berada di sana, sedangkan Raffa sendirian di rumah sakit.
Dzaka dan Tanvir berdiri di samping Pak Ahmad yang sedang sibuk dengan laptop di depannya. Setelah menghirup lebih banyak oksigen, Dzaka mengembuskan nya perlahan. “Permisi, Pak.”
“Ada apa Dzaka? Tanvir?” tanya Pak Ahmad tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop yang menyala.
“Saya ingin mengundurkan diri da—” Ucapan Dzaka terpotong karena sanggahan Pak Ahmad yang kini menoleh sepenuhnya pada mereka. Tatapan pria paruh baya itu terlihat sangat tidak bersahabat.
“Ini bukan saatnya untuk mengundurkan diri. Tindakan gegabah ini bisa mengacaukan semua rencana! Kalian tau itu, kan?!” tegas Pak Ahmad membuat nyali mereka menciut. Bahkan Pak Ahmad langsung beranjak pergi seolah mengisyaratkan bahwa dirinya tidak menerima alasan lagi.
“Vir! Ikut gue! Kita ada briefing!” Tanvir menepuk pundak Dzaka sebelum mengikuti langkah ketua tim pengintai—Nurul Kahfi. Dzaka diam-diam menghela napas berat. Pikirannya kini dipenuhi kekhawatiran pada Raffa.
Sebuah tepukan di bahunya membuat Dzaka menoleh. Tatapan datar dari Dimitri menyambut Dzaka. Dimitri langsung menarik Dzaka ke luar markas. Meski Dzaka malas, tapi ia tak punya alasan yang tepat untuk menolak.
“Lo tau seberapa penting operasi penyergapan kali ini! Bisa-bisanya lo berpikir untuk bikin masalah!” Dimitri menatap Dzaka tajam. Namun, Dzaka hanya menghela napas berat kesekian kalinya.
“Seberapa berat pun beban dipikiran lo sekarang, jangan pernah mengambil keputusan sepihak! Kita gak pernah tau seberapa besar dampak dari keputusan kita. Kita juga gak pernah tau berapa banyak orang yang akan kita sakiti hanya karena keegoisan kita.” Ucapan Dimitri berhasil mengalihkan atensi Dzaka dari ujung sepatunya.
Dimitri merangkul pundak Dzaka seperti seorang kakak yang sedang menasihati adiknya. “Kita memang gak bisa memenuhi ekspektasi semua orang. Sebagai manusia, kita ini serba terbatas. Kita gak mungkin mengorbankan perasaan banyak orang hanya untuk memikirkan satu orang, tapi juga gak mungkin menyakiti satu orang demi kebahagiaan semua orang.”
Dzaka mengernyitkan keningnya mencoba mencerna ucapan Dimitri. Namun, percuma saja dia memaksakan diri untuk berpikir saat pikirannya itu sendiri sedang berkecamuk.
“Hidup itu tentang bagaimana kita memilih solusi yang terbaik. Solusi yang meminimalisir risiko dari apa yang kita pilih,” ujar Dimitri dengan senyuman tipis yang terbit di wajahnya.
“Mustahil!” balas Dzaka membuat Dimitri menoleh dan terkekeh pelan. Sepertinya terlalu terbawa suasana membuat Dimitri melupakan fakta bahwa Dzaka sedang dalam mood yang buruk.
“Lo cuma perlu memilih sesuatu yang seharusnya jadi prioritas dan memikirkan cara terbaik untuk tidak menyakiti sesuatu lain yang gak jadi prioritas. Itulah gunanya alasan. Bukan hanya untuk membenarkan suatu tindakan, tapi juga bagaimana membuat seseorang memahami keadaan orang lain.” Dimitri melepas rangkulannya dan meninggalkan Dzaka sendirian.
Dzaka terdiam memikirkan ucapan Dimitri barusan. Sepertinya Dzaka mulai paham maksud dari ucapan itu. Makna yang sangat sederhana untuk menyelesaikan permasalahan Dzaka.
“Gue ngerasa punya seorang abang karena lo, Bang Dimi,” ujar Dzaka bermonolog dengan lengkungan yang terbit begitu saja di wajahnya.
“Andai lo tau kebenarannya, Ka,” lirih seseorang dari balik dinding.
...----------------...
Semua orang sudah berkumpul di ruang pertemuan dengan seragam yang sudah disediakan dan tak lupa scarf hitam yang menutupi wajah mereka. Namun, keadaan menjadi sunyi karena satu pertanyaan yang dilontarkan sang ketua.
“Di mana Raffa?” Pak Ahmad meneliti satu persatu anggotanya dan tetap tak menemukan Raffa. Tanvir langsung menyenggol lengan Dzaka mengisyaratkan untuk memberi tahu yang sebenarnya.
Dzaka berdehem di tengah kesunyian, sehingga semua orang menoleh ke arahnya. “Raffa dirawat di Rumah Sakit Kusuma Jaya, karena demam tinggi sejak dini hari,” ujar Dzaka dengan nada suara datar.
Ucapan Dzaka membuat Pak Ahmad terdiam di tempatnya. Meski wajahnya tampak datar, tapi terlihat jelas bahwa ia terguncang. “B-bagaimana bisa?” tanya Pak Ahmad terbata.
“Pukul 5 dini hari Raffa menghubungi saya. Saat saya sampai di sana, ternyata dia demam tinggi. Bahkan setelah dikompres, panasnya tidak turun sama sekali. Makanya saya membawa Raffa ke rumah sakit,” jelas Dzaka sedetail mungkin.
“Kita akan selesaikan misi ini secepat yang kita bisa. Berdoa dimulai,” pimpin Pak Ahmad. Semua kepala tertunduk berdoa untuk keberhasilan operasi penyergapan mereka kali ini. Setelahnya mereka beranjak sesuai tim yang sudah dibagi.
...----------------...
Udara dingin yang menusuk kulit membuat Dzaka berkali-kali bersin. Bahkan tubuhnya mulai menggigil. Sialnya, Dzaka mendapat posisi yang sangat tidak menguntungkan. Dia harus bersembunyi di balik tanaman rambat di belakang bangunan kafe.
Sebuah jaket dijatuhkan di pundaknya membuat Dzaka menoleh. Dia mendapati Dimitri ikut duduk di sampingnya dengan laptop yang sudah menyala. Sebelumnya Dzaka pikir partner-nya adalah Galvin.
“Dzaka! Dimitri! dan semua tim sudah di posisi?” tanya Pak Ahmad lewat radio komunikasi seperti earphone yang terpasang di telinga mereka. Mereka langsung memberi kode dengan cahaya senter dari ponsel sesuai instruksi sebelumnya.
Dzaka mulai memainkan jarinya di atas papan ketikan laptop untuk menyambungkan kamera pengintai yang sudah tersebar di beberapa sudut kafe juga yang dibawa beberapa orang anggota tim pengintai Geng River.
Dia butuh konsentrasi penuh hingga netranya pun tak beralih dari layar laptop. Dimitri juga sudah sibuk dengan laptopnya sendiri.
“Semua kamera sudah terhubung." Dzaka memerhatikan layar laptopnya yang kini menampilkan bagian dalam dari bangunan dua lantai itu dari berbagai sudut.
“Tolong konfirmasi keberadaan orang-orang yang menjadi tersangka!” Dzaka mengeluarkan ponselnya dan memerhatikan foto para tersangka sindikat narkoba tersebut.
“Posisi dikonfirmasi. Kamera 3 di lantai dua. Tiga tersangka di lantai dua pojok kiri, tepat di samping kiri tim 1. Kaos berwarna navy, kemeja hitam dan jaket hijau lumut."
Netra Dzaka kembali meneliti layar laptopnya. "Kamera 1 lantai satu. Dua tersangka di meja bar lantai satu, menggunakan jaket Geng Infinity. Satu lagi ....” Bola mata Dzaka bergerak lincah meneliti satu persatu CCTV, hingga ia berhenti pada satu titik. “Jalur pintu rahasia!”
“Listrik dipadamkan dalam sepuluh detik,” ujar Dimitri seraya meregangkan ototnya. Bangunan itu kini terlihat sangat gelap dan riuh. Sedangkan mereka yang berada di luar menanti dalam ketegangan.
“Kalau penyergapan nya berhasil ... gue yakin Raffa bangga sama kinerja kalian berdua.” Ucapan Dimitri terdengar begitu jelas di antara keriuhan di depan mereka. Dzaka hanya bisa tersenyum dan berharap bahwa semua benar-benar akan berjalan dengan baik.
“Meskipun ini semua berakhir, gue harus mikirin alasan yang tepat untuk nganter lo pulang,” keluh Dimitri. Sebab, adanya Dzaka di sini berkat Dimitri yang memintakan izin mengadakan les di luar rumah dengan dalih mengubah suasana belajar agar Dzaka nyaman.
Dzaka terkekeh pelan. Harusnya Dzaka berterima kasih pada Dimitri atas bantuannya. Ini adalah operasi penyergapan pertama Dzaka setelah hampir dua setengah tahun bergabung. Dzaka bahkan tak pernah membayangkan bahwa sensasi saat penyergapan akan menegangkan dan seseru ini.
“Satu target berhasil lolos! Sekali lagi! Satu target berhasil lolos!” Suara Tanvir mengisi pendengaran semua orang. Mereka yang berada di luar langsung bersiap.
Netra Dzaka tak sengaja menangkap bayangan seseorang menggunakan baju rumah sakit di antara kerumunan orang yang memenuhi jalan depan. Namun, bayangan sekilas itu membuat Dzaka tak yakin dengan apa yang dilihatnya. Mungkin ia hanya terlalu memikirkan Raffa, hingga bayangan sosok Raffa dengan pakaian rumah sakit melintas dipikirannya.
“ARGH! LEPASIN! SAYA GAK SALAH!” Teriakan itu mengalihkan atensi semua orang yang berjaga di belakang bangunan kafe. Mereka bergerak dalam diam mendekati sumber suara.
Kegelapan menyambut mereka, sehingga mereka tidak melihat dengan jelas apa yang sedang terjadi. Saat cahaya senter menyorot ke arah suara, netra Dzaka membola. Dia masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Begitu juga Tanvir yang baru saja keluar dari pintu belakang kafe.
Sosok yang menindih tubuh seseorang yang tak lain adalah tersangka yang kabur itu menggunakan pakaian rumah sakit dengan rambut yang berantakan. Dzaka dan Tanvir melangkah mendekati sosok itu. Namun, suara seseorang mendahului mereka.
“RAFFA?!”