Zahira terpaksa menerima permintaan pernikahan yang diadakan oleh majikannya. Karena calon mempelai wanitanya kabur di saat pesta digelar, sehingga Zahira harus menggantikan posisinya.
Setelah resepsi, Neil menyerahkan surat perjanjian yang menyatakan bahwa mereka akan menjadi suami istri selama 100 hari.
Selama itu, Zahira harus berpikir bagaimana caranya agar Neil jatuh cinta padanya, karena dia mengetahui rencana jahat mantan kekasih Neil untuk mendekati Neil.
Zahira melakukan berbagai cara untuk membuat Neil jatuh cinta, tetapi tampaknya semua usahanya berakhir sia-sia.
Bagaimana kelanjutan kisahnya? Ikuti terus cerita "100 Hari Mengejar Cinta Suami" tentang Zahira dan Neil, putra kedua dari Melinda dan Axel Johnson.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nopani Dwi Ari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab.24
Maureen mengira Nathan sudah pergi dan hanya bercanda saat bilang ingin menginap di rumah sempitnya ini. Tapi siapa sangka, saat ia kembali ke luar, pria itu malah duduk lesehan dengan mata terpejam.
"Ya ampun, kukira dia sudah pulang," gumamnya.
“Tuan, apa Anda tidak ingin pulang?” tanya Maureen, canggung.
“Saya sudah bilang, saya akan menginap,” jawab Nathan tegas.
“Tapi... Anda tidak akan mandi?”
“Tentu saja saya akan mandi,” sahut Nathan santai.
Maureen pun terpaksa mengizinkannya masuk. Ia mengambil baju ganti milik kakaknya dan menyerahkannya di depan kamar mandi, di mana Nathan sudah bersiap mandi.
“Kenapa memejamkan mata? Saya belum buka baju!” serunya kesal.
“Eh, maaf Tuan,” jawab Maureen buru-buru kabur, membuat Nathan hanya menggeleng pelan.
Di dapur, Maureen menyiapkan makan malam untuk tiga orang sambil mengomel.
“Nasi sudah jadi bubur, satu-satunya cara biar dia cepat pergi ya bantuin cari Zahira.”
Ia tak sadar, Julian baru saja pulang dan mendengar keluhannya. Julian pun memutuskan langsung mandi.
Namun, saat keluar dari kamar mandi, ia malah melihat pria asing memakai bajunya yang kekecilan.
“Siapa kamu?” tanya Julian.
Nathan hanya menatap balik tanpa menjawab.
“Kamu pacarnya Maureen?” Julian melanjutkan, makin bingung.
“Bukan.”
“Lalu?”
“Dia kakak iparnya Zahira, Kak,” sahut Maureen cepat, tak mau Julian salah paham.
“Kakak ipar? Jadi dia sudah menikah?” tanya Julian, sedikit kecewa.
“Iya,” jawab Maureen.
“Lalu, kenapa dia di sini?”
“Saya menginap karena adikmu berani-beraninya mengusir adik iparku,” sahut Nathan tajam.
“Sudah, Kak. Mandi sana, makan malam sebentar lagi,” potong Maureen cepat-cepat.
“Baju ini kekecilan,” celetuk Nathan saat Julian masuk kamar mandi lagi.
“Bukan bajunya, badan Tuan yang kebesaran,” sahut Maureen kesal. Sekilas mereka tampak setinggi, tapi tubuh Nathan jauh lebih kekar dibanding Julian yang kurus karena kerja kasar.
Nathan menghela napas dan mengikuti Maureen ke meja makan. Makanan seadanya sudah terhidang. Ia tidak berniat rewel. Kalau tidak makan, dia bisa kelaparan.
*****
Sementara itu, di rumah Ethan…
Zahira tengah membacakan dongeng untuk Jasmine sebelum tidur.
“Malam ini kita cerita apa?” tanya Jasmine sambil berbaring.
“Cinderella, bagaimana?” tanya Zahira.
“Yang punya sepatu kaca itu?” Jasmine bertanya polos. Zahira mengangguk.
Zahira pun mulai bercerita, versi dirinya. Tentang gadis sederhana yang bekerja sebagai pembantu di rumah megah. Jasmine mendengarkan dengan setia, sesekali menguap.
“Lalu Cinderella dan pangeran hidup bahagia selamanya. Tamat,” ucap Zahira sambil tersenyum melihat Jasmine yang tertidur.
“Aku suka cerita bahagia... beruntung Cinderella-nya nggak punya ibu tiri,” gumam Jasmine pelan sebelum benar-benar terlelap.
Zahira mencium kening anak itu. “Selamat malam.”
“Cerita yang bagus,” celetuk Ethan dari ambang pintu. “Tapi terasa seperti kisah hidupmu.”
Zahira terkejut. “Maaf, Tuan Ethan. Saya kira hanya ada Jasmine dan saya.”
“Kenapa minta maaf? Aku justru salut. Kamu bertahan dengan pria yang bahkan tak mencintaimu.”
Zahira tersenyum tipis. Melupakan Neil ternyata tidak semudah itu. Seandainya sejak awal ia tak jatuh cinta...
Ethan pun menyampaikan tujuannya—mengajak Zahira ikut ke kampung halaman ibunya.
“Kamu nggak perlu khawatir. Semua biaya aku tanggung.”
“Tapi saya sudah banyak merepotkan, Tuan Ethan…”
“Enggak masalah. Kamu sudah bantu jaga Jasmine.”
“Jadi kamu ikut atau tidak?”
“Baiklah, saya ikut.”
“Tenang, tinggal terima beres. Aku urus semuanya.”
Zahira mengangguk pelan.
****
Di tempat lain, Theo tampak kesal karena Neil mendadak datang ke apartemennya.
“Ngapain lo ke sini?”
“Sepupu datang bukannya disambut?”
“Lo kan punya banyak rumah!”
“Disita.”
“Ha? Kenapa?”
Neil menghela napas. “Gue tinggalin Zahira di Swiss. Sendirian.”
Theo langsung menyemburkan soda ke wajah Neil. “Anjir!”
“Sialan lo!” umpat Neil, mengelap wajahnya dengan tisu.
Ia pun menceritakan semuanya: kepergiannya, kebodohannya, dan rasa bersalahnya.
“Lo tuh plin-plan, lemah, gak tegas. Gimana bisa tinggalin istri di luar negeri demi cewek lain? Gila!” semprot Theo.
“Dia hamil anak gue…”
“Lo yakin itu anak lo? Udah diselidiki?”
Neil menggeleng.
“Kalau Davin tahu, tamat lo. Sekarang gue saranin, cari tahu soal Livia. Jangan cuma liat luarnya.”
“Tapi…”
“Jangan pake ‘tapi’, Nazario! Lo buta karena cinta!” bentak Theo.
Neil memejamkan mata. Ia tahu, semua benar.
“Oke, gue bakal cari tahu. Tapi lo sama Davin bantuin gue.”
Theo mengangguk. Dalam hati, ia sudah tahu siapa Livia sebenarnya. Tapi biarlah Neil lihat sendiri. Kadang, yang keras kepala cuma bisa belajar lewat luka.
ai...mending batalin aza sebelum terlambat....