NovelToon NovelToon
L'Oubli

L'Oubli

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Cinta Terlarang / Cinta Beda Dunia / Roh Supernatural
Popularitas:13.2k
Nilai: 5
Nama Author: Dela Tan

Murni, seorang biarawati yang sedang cuti karena ingin menyembuhkan jiwa setelah terganggu mimpi-mimpi buruk yang terus berdatangan, menerima pesan aneh di ponselnya -suara paniknya sendiri yang membuatnya penasaran. Ia mengikuti petunjuk yang membawanya ke sebuah warung makan tua yang hanya buka saat malam.
Di warung itu ia bertemu dengan Mahanta, seorang juru masak pendiam yang misterius. Namun warung itu bukan warung biasa. Pelanggannya adalah jiwa-jiwa yang belum bisa pergi, dan menu makanannya bisa menenangkan roh atau mengirimnya ke dalam kegelapan. Murni perlahan terseret dalam dunia antara hidup dan mati. Ia mulai melihat masa lalu yang bukan miliknya. Meskipun Mahanta tampaknya menyimpan rahasia gelap tentang siapa dirinya dan siapa Murni sesungguhnya, pria itu bungkam. Sampai cinta yang semestinya dilarang oleh langit dan neraka merayap hadir dan mengungkapkan segalanya.

L'oubli (B. Perancis): keadaan tidak menyadari atau tidak sadar akan apa yang sedang terjadi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dela Tan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Season 1 ; Bab 4 – Harga dari Satu Jiwa

Langit malam itu kelabu, seperti arang yang belum padam.

Murni menatap bayangannya sendiri di genangan air trotoar. Wajahnya pucat. Matanya cekung. Tak ada bekas cahaya iman seperti dulu. Yang ada hanya kelelahan… dan sesuatu yang lebih sunyi dari sepi: beban.

Ia telah menyelamatkan seorang anak. Tapi setelah itu, malam-malamnya menjadi ladang mimpi buruk.

Setiap kali tertidur, ia terlempar ke atap gedung itu lagi. Namun anak laki-laki itu tak pernah utuh. Kadang hanya tangan. Kadang hanya suara. Kadang ia melihat dirinya sendiri berdiri di ujung, siap melompat. Dan dari bawah, Mahanta menatapnya. Selalu dengan mata yang tak menyalahkan, tapi juga tidak menolong.

Ia tak bisa menceritakan semua ini kepada siapa pun. Kepada kepala biara, bahkan kepada Tuhan.

Karena bagian dari dirinya mulai bertanya-tanya…

“Apakah yang aku lakukan ini... suci?”

Warung itu kini terasa lebih seperti perangkap daripada tempat perlindungan. Tapi setiap malam, kakinya seolah ditarik magnet maha kuat ke sana.

Pelanggan datang dan pergi. Tidak seorang pun berbicara langsung kepada Murni. Mereka duduk, memesan, dan menatap kosong ke arah Mahanta, seolah tahu apa yang mereka butuhkan sebelum mereka sendiri tahu.

Suatu malam, seorang wanita paruh baya datang. Rambutnya acak-acakan, bibirnya gemetar. Dia memegang kantong plastik berisi boneka kecil dan sepasang sepatu bayi.

Murni duduk di meja sebelahnya, tak berani bicara.

Tapi wanita itu menatapnya tiba-tiba. Matanya merah seperti baru saja menghabiskan lautan air mata.

“Anakku mati dalam kandungan. Mereka bilang tak ada detak jantungnya. Tapi... aku masih dengar dia menangis waktu aku tidur,” bisiknya.

Murni membeku.

Mahanta datang dengan semangkuk bubur putih dan meletakkannya perlahan di meja wanita itu. Tidak ada kata. Hanya diam.

Wanita itu menatap mangkuk itu lama. Lalu ia makan perlahan. Dan ketika sendok terakhir masuk ke mulutnya, tubuhnya mulai menyala samar, seperti bara halus di bawah kulit. Dalam sekejap... dia menghilang.

Yang tertinggal hanya boneka dan sepatu bayi.

Murni nyaris jatuh dari kursinya.

Mahanta menatapnya. “Kau akan terbiasa.”

“Apa yang terjadi padanya?”

“Dia kembali ke tempat sebelum luka. Kadang itu berarti hidup... kadang tidak.”

“Kau tidak tahu?”

Mahanta menggeleng pelan. “Tugasku bukan mengantar mereka ke surga atau neraka. Aku hanya menyiapkan perjamuan terakhir... bagi yang masih bisa ditebus.”

“Dan tugasku?”

Mahanta memandangnya. Mata itu seperti kaca hitam yang menolak pantulan.

“Kau belum memutuskan. Tapi keputusan itu akan datang... ketika waktunya tiba.”

---

Murni kembali ke kamar sewaannya dengan tubuh gemetar. Ia menyalakan lampu, tapi cahayanya terasa terlalu terang. Dunia normal jadi terlalu kasar. Setiap benda terlihat seperti tidak berada di tempatnya.

Ketika ia membuka pintu kamar mandi, cermin di dalamnya tidak memantulkan dirinya.

Melanka wajah wanita yang tadi malam duduk di warung.

Wanita itu menatap Murni dengan air mata darah.

Lalu berucap satu kalimat: “Kau ambil lukaku. Sekarang kau harus memeliharanya.”

Dan menghilang.

Hari-hari berikutnya menjadi semacam ilusi.

Murni mulai mencium bau kayu terbakar setiap kali seseorang dekat dengan bunuh diri. Di gereja, ia bisa mencium aroma kematian dari seorang umat yang sedang berlutut dengan wajah bersinar. Ia tahu lelaki itu menyembunyikan obat tidur di sakunya.

Di supermarket, ia melihat seorang perempuan muda membeli seikat tali dan satu kaleng bir sambil tersenyum kepada kasir.

Setiap hari, semakin banyak sinyal.

Dan itu membuatnya muak.

Ia tak sanggup menyelamatkan semuanya. Ia bahkan tak tahu apakah ia benar-benar menyelamatkan yang sebelumnya.

Dan Mahanta?

Lelaki itu tetap seperti malam pertama mereka bertemu. Dingin. Tenang. Tidak pernah menyentuh. Tidak pernah bertanya apakah Murni baik-baik saja.

Murni ingin membencinya. Tapi ia juga tahu: Hanya Mahanta satu-satunya yang mengerti apa yang kini ia lihat.

Suatu malam, Murni kembali duduk sendirian di warung, tanpa pelanggan, tanpa suara. Hanya Mahanta di dapur, mengaduk sup yang tak beruap.

“Kenapa aku?” tanya Murni.

“Karena kau mendengar panggilan itu,” jawab Mahanta, tanpa menoleh.

“Apa tidak ada orang lain?”

“Banyak. Tapi mereka menutup telinga.”

Murni mengepalkan tangan. “Aku bukan siapa-siapa. Aku... hanya ingin sembuh. Aku ingin kembali menjadi manusia biasa.”

Mahanta diam sejenak. Lalu berbalik. Wajahnya lembut, tapi bukan kelembutan manusia. Melainkan lembut seperti arus yang siap menyeret kapal karam.

“Tidak ada yang benar-benar biasa setelah melihat dunia ini. Tapi kau bisa memilih: tenggelam bersamanya... atau belajar berenang.”

Murni terisak. Untuk pertama kalinya sejak ia datang ke warung itu, air matanya jatuh. Tapi bukan karena takut. Bukan karena beban.

Tapi karena kesepian.

“Kalau aku jatuh nanti... siapa yang akan menyelamatkanku?”

Mahanta mendekat. Tak menjawab, hanya duduk di seberangnya. Tangannya bergerak pelan, menggeser semangkuk sup ke arah Murni.

Sup itu bening. Tapi berbeda dari biasanya.

Di permukaannya... Murni melihat dirinya sendiri. Duduk di dalam gereja, mengenakan jubah putih, bukan pakaian biarawati abu-abunya yang biasa, dikelilingi oleh orang-orang yang menatapnya... sebagai musuh.

1
adi_nata
iblis bucin maju terus pantang mundur
adi_nata
berarti satu hari di langit ada duabelas jam ? kalau satu hari dunia kan 24 jam.
Dela Tan: 24 jam itu 1 hari 1 malam
total 1 replies
adi_nata
apakah Casta dulunya juga adalah manusia sama seperti Obitus. karena mereka berdua walaupun iblis dan malaikat tapi memiliki sifat sifat manusiawi.
adi_nata
dan inilah awal berdirinya warung murni.
adi_nata
bab ini sedikit sekali atau hanya perasaanku aja 🤔
adi_nata
cinta yang terasa begitu benar sekaligus salah.
adi_nata
keduanya saling mengerti perasaan masing masing tanpa mengucapkan cinta.
Ai Emy Ningrum
baca cerita ini sambil dengerin soundtrack nya film Gladiator yg Now we are free...🎧🙂‍↕️
adi_nata
bahkan Iblispun jadi kekanak kanakan karena cinta
adi_nata
kolam larva atau kolam lava ?
adi_nata
lalu iblis siapa yang dulu mendorong Pierre hingga jatuh ?
adi_nata
iblis kematian yang mengakhiri hidupnya sendiri sebagai manusia.
adi_nata
apakah ini ketidakadilan dunia ? atau anak manusia yang kalah dalam percaturan hidup ?
adi_nata
bagaimana mereka bisa memutuskan untuk berkemah di tempat 'strategis' ini ?
adi_nata
penasaran dengan sosok ayah kandung Pierre.
adi_nata
dan cahaya hangat mulai menyapa.
Dela Tan
Maman = mama (Bahasa Perancis)
adi_nata
apa yang sudah diperbuat prajurit sampai kondisi Elise semengenaskan itu ?
adi_nata
memang benar Maman ? 🤔
🌸Ar_Vi🌸
apakah piere masa lalu obitus?
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!