Mentari, seorang gadis pemalu dan pendiam dari Kampung Karet, tumbuh dalam keluarga sederhana yang bekerja di perkebunan. Meskipun terkenal jutek dan tak banyak bicara, Mentari adalah siswa berprestasi di sekolah. Namun, mimpinya untuk melanjutkan pendidikan pupus setelah lulus SMA karena keterbatasan biaya. Dengan tekad yang besar untuk membantu keluarga dan mengubah nasib, Mentari merantau ke Ubud untuk bekerja. Di usia yang masih belia, kehidupan mempertemukannya dengan cinta, kenyataan pahit, dan keputusan besar—menikah di usia 19 karena sebuah kehamilan yang tidak direncanakan. Namun perjalanan Mentari tidak berakhir di sana. Dari titik terendah dalam hidupnya, ia bangkit perlahan. Berbekal hobi menulis diary yang setia menemaninya sejak kecil, Mentari menuliskan setiap luka, pelajaran, dan harapan yang ia alami—hingga akhirnya semua catatan itu menjadi saksi perjalanannya menuju kesuksesan. Takdirku di Usia 19 adalah kisah nyata tentang keberanian, cinta, perjuangan, dan harapan. Sebuah memoar penuh emosi dari seorang gadis muda yang menolak menyerah pada keadaan dan berjuang menjemput takdirnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putri Pena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20. Mentari dan Bumi Suka Menulis
*📝** Diary Mentari – Bab 20**
"Kata orang, cinta pertama jarang menjadi akhir. Tapi kadang ia menetap lama, bahkan dalam diam yang tak pernah terucap"***
⸻
Aku tidak tahu sejak kapan aku mulai memperhatikan Bumi lebih dari sekadar saudara jauh. Mungkin sejak pertemuan terakhir saat aku kelas enam SD, ketika dia meminjamkan komik Dragon Ball miliknya, dan aku menyimpannya diam-diam lebih lama dari yang seharusnya. Atau mungkin sejak aku mulai diam-diam menuliskan namanya di antara puisi-puisi rahasia yang kusembunyikan di bawah bantal.
Waktu itu, aku tidak tahu nama untuk perasaan itu. Tapi kini, setelah usia remajaku penuh dengan rasa ingin tahu dan kekaguman, aku tahu: aku menyukainya.
Bumi berbeda. Ia seperti matahari jam delapan pagi—hangat, tapi tidak menyilaukan. Cara ia berbicara dengan Nenek, bagaimana ia selalu memanggil Ibu dengan hormat, dan bagaimana ia menepuk bahuku ringan sambil tersenyum… semuanya membuatku merasa istimewa, meski aku tahu, dia bersikap seperti itu kepada siapa pun.
Hari itu, setelah makan malam, aku duduk di bale bambu. Langit sudah gelap. Angin malam membawa aroma tanah lembab dan bunga kenanga yang tergantung di sudut bale. Dari dalam rumah terdengar suara Bumi bercanda dengan Kakek. Tawa mereka menyatu seperti lagu lama yang tak pernah membosankan.
Aku membuka buku diary-ku, halaman yang sudah beberapa hari tidak kusentuh. Kukeluarkan selembar kertas yang terselip di antara halaman-halaman penuh tulisan. Di sana, ada puisi tentang lelaki dengan mata teduh yang suka memeluk udara pagi. Puisi yang tak pernah kubacakan untuk siapa pun. Puisi yang kutulis untuk Bumi.
Namamu kutulis diam-diam
Di antara bait-bait yang tak bisa dibaca orang lain
Bukan karena aku malu,
Tapi karena aku tahu,
Hatiku bukan tempat singgah siapa pun,
Kecuali angin yang membawa senyummu pulang.
Aku menutup buku itu pelan. Jantungku berdebar seperti waktu pertama aku berbicara dengan Adit. Tapi ini berbeda. Jika Adit seperti gelombang semangat yang membakar, maka Bumi adalah angin sore yang menenangkan. Keduanya membuatku gugup. Tapi hanya satu yang membuatku merasa ingin berhenti waktu.
⸻
Keesokan harinya, Ibu menyuruhku menemani Bumi ke warung Pak Nyoman di ujung kampung. Ia hendak membeli rokok. Kami berjalan kaki, menyusuri jalan tanah merah yang mulai mengeras setelah hujan semalam. Sepanjang jalan, kami banyak diam. Hanya suara sandal yang menyentuh tanah dan desiran angin di daun pisang yang terdengar jelas.
Sesekali ia bicara. Menanyakan sekolahku, cita-citaku, apakah aku suka membaca buku. Aku menjawab dengan kata-kata pendek, canggung. Tapi di dalam kepalaku, rasanya seperti pesta. Bumi bertanya tentang mimpiku.
“Mau jadi apa nanti, Tan?” tanyanya.
Aku menunduk. Lalu menjawab lirih, “Penulis.”
Ia mengangguk, matanya sedikit membesar. “Wah, keren. Aku suka baca puisi, lho.”
Aku mengangkat kepala, jantungku nyaris lepas dari tempatnya. Tapi aku tetap pura-pura biasa. “Aku juga nulis puisi… tapi nggak pernah aku kasih lihat siapa-siapa.”
“Boleh aku baca?” tanyanya sambil tersenyum. Dan senyumnya itu, seperti lem yang merekatkan ingatanku padanya.
Aku tak menjawab. Tapi dalam hati aku tahu, entah bagaimana, suatu hari nanti dia akan membaca puisiku. Entah kapan. Entah bagaimana caranya.
Yang kutahu, hari itu aku pulang dengan kantong plastik berisi sabun, dan kepala yang penuh dengan kemungkinan. Kadang diam bisa sangat bising, jika di dalamnya ada cinta yang belum sempat bicara.
⸻
Malamnya, aku menulis lagi:
“Perasaan ini… seperti surat yang tidak pernah terkirim.
Ditulis rapi, disimpan hati-hati, tapi selalu ragu untuk dikirimkan.
Karena mungkin… penerimanya tidak pernah benar-benar menunggu.”
Aku menutup diary dengan senyum kecil. Besok pagi Bumi akan pulang ke Denpasar. Tapi diam-diam aku berharap, bukan hanya rokok yang ia bawa pulang—melainkan juga satu bait puisi yang tertinggal dalam ingatannya, walau ia tak pernah tahu, itu tentang dirinya.
Terimakasih untuk Author nya sudah berbagi kisah, semoga karya ini terbit
Aku selalu bilang ke ankq utk terbuka hal apapun dan jgn memendam.