NovelToon NovelToon
AKU BUKAN USTADZAH

AKU BUKAN USTADZAH

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Spiritual / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Pelakor / Penyesalan Suami
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: ummu nafizah

"Aku Bukan Ustadzah" mengisahkan perjalanan Aisyah, seorang wanita sederhana yang dikenal taat dan aktif di lingkungan sosial keagamaan, namun selalu menolak disebut ustadzah. Ia merasa masih terus belajar dan takut gelar itu membuatnya terjebak dalam citra yang bukan dirinya. Di tengah aktivitas dakwahnya, hadir Khaerul—seorang pemuda tangguh yang dulu jauh dari agama namun kini berjuang menata hidup dengan semangat hijrah. Pertemuan mereka membawa dinamika antara prinsip, cinta, dan pencarian jati diri. Novel ini menyajikan konflik batin, perjuangan iman, dan ketulusan cinta yang tak selalu harus dimiliki namun untuk dimengerti.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ummu nafizah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 17: Bayang-Bayang Leluhur

Aisyah terbangun dini hari itu dengan napas tersengal. Mimpi yang datang padanya terasa begitu nyata, seperti kenangan lama yang tertanam dalam darah. Dalam mimpi itu, ia berdiri di pinggir Pantai Lasonrai, di bawah langit kelam dengan bulan merah menggantung rendah. Ombak menghempas pelan, dan dari kejauhan, sosok lelaki tua berpeci hitam berdiri membelakanginya.

"Mengapa kau masih belum paham, Aisyah? Semua ini adalah utusan dari yang tak terlihat..."

Ia tersentak bangun, peluh membasahi leher dan keningnya. Khaerul yang terbangun ikut menatapnya cemas. "Mimpi itu lagi?"

Aisyah mengangguk. "Tapi kali ini... aku yakin itu Pak Samad. Tapi dia bukan seperti Pak Samad yang kita kenal. Suaranya dingin, seperti berasal dari tempat yang tak bisa dijelaskan."

Keesokan harinya, suasana desa Batupute terasa berbeda. Angin lebih sunyi, dan para warga lebih banyak berbisik. Isu tentang kehamilan Aisyah bercampur dengan desas-desus yang tak mengenakkan.

"Anak itu bukan dari Khaerul..."

"Kau tak tahu asal-usul Aisyah, siapa tahu darahnya membawa kutuk..."

Khaerul geram. Ia ingin menegur mereka, tapi Aisyah menahannya.

"Biarkan, yang seperti ini hanya bisa dibalas dengan waktu dan kesabaran."

Namun semakin hari, bayangan Pak Samad semakin membayangi langkah mereka. Ketika Aisyah mendatangi balai desa untuk mengusulkan program pendidikan anak-anak, Pak Samad menolaknya mentah-mentah.

"Kami tidak butuh ajaran dari orang luar yang bahkan tidak jelas nasabnya," ucapnya tajam di depan umum.

Aisyah menunduk, namun tak berkata apa-apa. Tapi malam harinya, ia kembali bermimpi. Kali ini ia berjalan dalam lorong panjang, dengan dinding dari naskah-naskah tua yang berbisik lirih. Di ujung lorong itu, kembali muncul sosok tua dengan jubah hitam.

"Apa yang kau cari, Aisyah, ada pada warisan yang dikubur. Tapi warisan itu dijaga oleh mereka yang tidak ingin cahaya mengalir kembali..."

Ketika Aisyah terbangun, ia menemukan mushaf kecil ibunya terbuka di halaman yang sebelumnya tak pernah terbuka. Di situ, terselip catatan tulisan tangan kecil:

"Pak Samad bukan nama aslinya. Ia adalah keturunan dari Jalaluddin, saudara Mahfudz yang dibuang karena menolak ajaran keluarga. Ia menyimpan dendam... dan membawanya turun-temurun."

Aisyah gemetar. Itu menjelaskan segalanya—fitnah, kebencian, dan penolakan demi penolakan yang mereka hadapi. Dendam lama yang masih tertanam dalam darah dan diam-diam mengatur langkah di balik bayang-bayang kebaikan.

Di masjid kecil Batupute, Aisyah duduk memandang lampu gantung yang bergoyang pelan. Khaerul ada di sampingnya, tangannya menggenggam erat tangan Aisyah.

"Jika semua ini benar, maka dakwah kita bukan hanya tentang menyebar kebaikan. Tapi menuntaskan pusaran sejarah yang belum selesai."

"Dan barangkali... memutus rantai dendam yang diwariskan."

Sore itu, mereka memutuskan untuk mengunjungi rumah Pak Samad. Meski hati mereka bergetar, Aisyah tahu—ini bukan hanya tentang keberanian, tapi tentang menyembuhkan luka lama.

Di rumah kayu beratap seng itu, Pak Samad menyambut dengan dingin. Namun ketika Aisyah menunjukkan catatan tulisan tangan itu, raut wajahnya berubah. Bibirnya bergetar, dan untuk pertama kalinya, matanya tampak seperti menanggung beban seribu rahasia.

"Kau... tahu dari mana nama Jalaluddin?"

"Dari mereka yang masih menjaga kebenaran, meski tersembunyi. Kami tidak ingin membongkar aib. Kami hanya ingin kebenaran tidak dikubur bersama kesalahan."

Pak Samad duduk pelan, suaranya nyaris tak terdengar. "Aku dibesarkan untuk membenci Mahfudz. Untuk membenci keturunannya. Tapi setiap kali aku melihatmu, Aisyah, aku merasa takut... karena wajahmu seperti Halimah. Dan itu... mengganggu hatiku."

Diam panjang membungkus mereka.

"Apa yang akan kalian lakukan sekarang?" tanya Pak Samad lirih.

"Kami akan terus berdakwah. Dengan cinta, bukan dendam. Kami ingin Batupute bangkit dalam cahaya. Dan jika kau mau, kami ingin kau ikut menyinari, bukan menggelapkan."

Pak Samad menunduk. Air matanya jatuh satu per satu. "Mungkin... sudah cukup aku menjaga dendam orang mati."

Langit malam itu begitu bersih. Aisyah dan Khaerul pulang dengan dada yang sedikit lebih lapang. Mereka tahu, kegelapan belum benar-benar sirna. Tapi api yang mereka nyalakan mulai memberi cahaya. Dan bagi jiwa-jiwa yang melangkah dalam iman, itu sudah cukup untuk terus berjalan.Langit desa Batupute malam itu seolah membuka gerbang rahmat. Bintang bertabur bak permata yang tumpah dari langit surgawi, menyinari rumah-rumah sederhana yang berselimut keheningan. Angin malam mengalun lembut membawa harum tanah dan laut, seolah mengusap luka lama yang perlahan mengering.

Di dalam rumah kecil Aisyah dan Khaerul, kehangatan membungkus setiap dinding. Pelita menyala lembut, menyiramkan cahaya kuning temaram yang memeluk perabotan seadanya, seakan surga kecil turun di bumi. Aisyah duduk bersila di ruang tengah, mengelus perutnya yang mulai membuncit—tanda kehidupan yang sedang ditiupkan ruh oleh Zat Yang Maha Kuasa.

Khaerul berada di sampingnya, membaca surat Maryam dengan suara lembut dan bergetar. Setiap ayat seolah menjadi pelipur lara, meneteskan embun ketenangan di hati mereka yang sempat dihantam badai fitnah dan dendam turun-temurun.

Tiba-tiba pintu diketuk. Bukan ketukan yang keras, melainkan penuh rasa segan dan hormat. Ketika dibuka, di depan berdiri Pak Samad. Tapi wajahnya tak lagi seram. Sorot matanya tak lagi memercik curiga. Ia datang dengan peci yang rapi dan mata sembab yang tak bisa menyembunyikan beban hati.

"Aku... ingin bicara. Tapi lebih dari itu, aku ingin minta maaf," ucapnya pelan, seakan setiap kata yang keluar adalah pengakuan dari sejarah yang berdarah.

Aisyah tersenyum lembut, lantas mempersilakan masuk. Ia tidak menyambut Pak Samad sebagai lawan, tapi sebagai keluarga yang terlambat pulang.

Suasana ruangan seketika berubah. Seperti ada sinar tak kasatmata yang menyinari setiap sudutnya. Seperti pelukan hangat dari langit yang tak terlihat namun nyata terasa.

Pak Samad duduk, lalu menangis. Tangis seorang lelaki tua yang telah memikul warisan dendam seumur hidupnya. Tangis yang mengguncang, membelah langit jiwa dan membanjiri lantai batin dengan penyesalan yang selama ini terkunci.

"Maafkan aku, Aisyah... Khaerul... Aku terlalu buta membedakan dosa dari darah. Aku mewarisi kebencian, bukan kebenaran. Aku menyangka menjaga kehormatan, padahal sedang memelihara kebodohan."

Aisyah menggenggam tangan Pak Samad. Lembut, hangat, dan penuh getaran iman.

"Tidak ada manusia yang luput dari dosa, Pak Samad. Tapi Allah lebih luas dari segala kesalahan. Jika malam ini Bapak ingin memulai kembali, maka kami pun siap membuka lembar baru bersama."

Tangisan berganti pelukan. Bukan hanya pelukan tubuh, tapi pelukan ruh yang selama ini tercerai karena prasangka dan bayang kelam sejarah. Di ruangan sederhana itu, malaikat mungkin turun berjamaah mencatat bahwa malam ini, rahmat Allah turun bukan dalam bentuk mukjizat besar, tapi dalam wujud peluk maaf dan penerimaan.

Malam pun diakhiri dengan doa bersama. Khaerul menjadi imam, sementara Pak Samad dan Aisyah menjadi makmum. Suara takbir dan doa memenuhi ruangan, membumbung tinggi menembus langit gelap.

“Ya Allah, jika malam ini adalah awal dari cahaya-Mu yang menembus kegelapan lama, maka tetapkan kami dalam petunjuk-Mu. Bersihkan hati kami dari dendam, dan tanamkan cinta yang Kau ridai...”

Air mata mengalir tak tertahankan. Bahkan dinding rumah itu pun seperti ikut menangis, menyaksikan keajaiban ukhuwah yang lahir dari puing-puing luka.

Di luar, pantai Lasonrai berkilau dalam diam. Ombaknya berbisik halus, seperti mengucapkan selamat datang kepada jiwa-jiwa yang kembali menemukan arah pulangnya.

1
Armin Arlert
karya ini benar-benar bikin saya terhibur. Terima kasih thor banyak, keep up the good work!
nafizah: mohon dukungannya yaa
total 1 replies
Aono Morimiya
Aku jadi pengen kesana lagi karena settingan tempatnya tergambar dengan sangat baik.
Nana Mina 26
Membekas di hati
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!