Original Story by Aoxue.
On Going pasti Tamat.
Ekslusif terkontrak di NovelToon, dilarang plagiat!
Di tengah hujan yang deras, seorang penulis yang nyaris menyerah pada mimpinya kehilangan naskah terakhirnya—naskah yang sangat penting dari semangat yang tersisa.
Tapi tak disangka, naskah itu justru membawanya pada pertemuan tak terduga dengan seorang gadis misterius berparas cantik, yang entah bagaimana mampu menghidupkan kembali api dalam dirinya untuk menulis.
Namun, saat hujan reda, gadis itu menghilang tanpa jejak. Siapa dia sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aoxue, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3 - Hujan
Cahaya pagi menyelinap masuk dari jendela yang setengah terbuka. Di meja kayu tua, puluhan lembar naskah kini telah tersusun rapi. Penulis itu duduk diam, menatap kertas terakhir dengan tatapan penuh perasaan, seolah setiap kata adalah potongan jiwanya yang ia letakkan perlahan.
"Aku tidak tahu dari mana datangnya, tapi saat aku menulis tentang dia, semuanya terasa hidup." gumam penulis.
Ia mengembuskan napas dalam-dalam. Lalu, mengambil cangkir kopinya, yang kini sudah dingin.
Ia berdiri, meregangkan badan, dan menatap jendela tempat angin dulu menerbangkan kertasnya.
Tapi kenangan tentangnya begitu nyata, seolah mereka benar-benar berbicara. Tertawa dan bertukar pandang dalam senyap hujan.
Tiba-tiba, sebuah notifikasi email masuk di laptopnya.
Di sisi lain, seorang wanita dengan rambut digulung rapi dan kacamata baca duduk di mejanya, membaca halaman demi halaman yang dikirim oleh penulis itu semalam. Ia membaca cepat di awal, tapi kemudian dia berhenti, matanya membelalak.
Tangan kirinya perlahan menutup mulutnya, shock.
"Ini— ini bukan dia yang dulu. Ini luar biasa." bisik editor.
Naskah yang semula datar dan murung kini terasa hidup, intens, dan mengandung lapisan emosi yang dalam. Ada adegan dialog yang terasa nyata, narasi yang mendalam, dan satu tokoh yang begitu kuat dan memikat—Liliana.
Ia segera menulis email panjang berisi pujian, "Apa yang terjadi denganmu? Naskah ini, aku tidak bercanda, ini bisa menjadi karya terbaik tahun ini. Ada sesuatu yang hidup di dalamnya. Ini seperti kau menulis dari dunia yang bukan hanya milikmu."
Penulis membaca email itu dengan setengah tersenyum, setengah bingung dan kemudian ia menatap tangannya.
"Lucu, aku juga merasa aku bukan lagi penulis naskah ini seperti dia yang menuntunku menulis ulang kisahku sendiri."
Ia menatap kembali halaman terakhir.
Kemudian, suara di luar apartemen, sebuah mobil hitam berhenti, tapi penulis tak sadar.
Di layar laptop, kata terakhir dari naskah, "Dan tanpa sadar, sang penulis telah menulis pintu menuju dunia yang tak pernah ia kenal tapi telah mengenalnya sejak lama."
Tok… tok… tok…
"Sean Lawrance!"
Suara berat itu terdengar dari balik pintu, dan Sean yang sempat menegang sejenak akhirnya membuka perlahan dengan rasa campur aduk.
Begitu pintu terbuka…
"SEAAAAANNNN!!"
Teriakan serempak dan tawa lepas langsung mengisi udara.
Di hadapannya berdiri tiga orang, Elio, si pembuat onar dari masa kuliah, Tara, gadis ceria yang selalu jadi ketua kelompok, dan Hugo, pendiam tapi cerdas luar biasa.
Wajah-wajah lama yang sudah bertahun-tahun tak ditemuinya, kini berdiri di depan pintu apartemennya kecuali Elio, dengan membawa kantong kopi dan kotak donat.
Sean membeku sejenak terkejut, lalu perlahan senyum hangat merekah di wajahnya.
"Astaga, kalian ada apa ke sini?" tanya Sean kebingungan.
"Kamu kira kami bakal biarin kamu nulis masterpiece dan gak datang ngerayainnya?" ucap seorang gadis bernama Tara yang masuk sembari menjentik dahi Sean.
"Editor kamu udah bocorin, katanya kamu akhirnya nulis sesuatu yang 'gak bikin dia pengen berhenti'." kata Elio sembari mengangkat kopinya.
Sean tertawa, menutup pintu, dan mengajak mereka masuk, ruangan itu segera berubah bukan lagi sunyi dan melankolis, tapi penuh suara obrolan, tawa, dan aroma kopi hangat. Sejenak, dunia luar menghilang.
"Ini dia naskahnya? Tentang apa sih? Liliana, ya?" tanya Hugo yang sedari tadi melihat naskah milik Sean.
Sean menoleh dan tersenyum samar.
"Iya, Liliana nama tokoh utamanya," ucap Sean pelan tapi tulus.
"Dia tokoh fiksi?" tanya Tara merasa bingung.
Sean terdiam sejenak dan menjawab, "Aku juga masih bertanya-tanya."
...----------------...
Lampu gantung kristal bergoyang perlahan diterpa angin dari jendela yang terbuka sedikit. Di dalam kamar besar dengan nuansa putih keperakan itu, Liliana duduk sendirian di atas tempat tidur, memeluk lututnya sambil memandangi langit malam.
Sudah 24 jam berlalu sejak ayahnya mengirim orang-orang untuk mencari Sean dan kini, tidak satu pun dari mereka bisa dihubungi kembali.
Tidak ada sinyal, tidak ada jejak dan tidak ada laporan.
Bagi banyak orang, itu mungkin akan terasa mencemaskan, tapi bagi Liliana hal itu membuatnya tenang.
"Syukurlah..." bisik Liliana pelan.
Ia menunduk, menahan senyum kecil itu, ka tahu sekeras apapun ayahnya mencoba mengontrol dunia, selalu ada celah kecil yang tidak bisa ia jangkau masalah satu celah itu adalah Sean.
Tapi, senyumnya perlahan memudar, matanya menerawang.
Liliana mengerutkan alisnya, pelan dan bergumam, "Kenapa aku terus memikirkan dia, sih?"
Ia mengubur wajahnya ke dalam bantal sebentar, lalu mengguling ke sisi tempat tidur. Wajahnya memerah samar, suara hatinya mulai mengganggunya.
"Dia cuma penulis biasa, wajahnya juga cuma ya, lumayan agak, ya agak tampan, sih?" ia mendengus, menampar pipinya sendiri ringan.
"Astaga, Liliana, kamu baru muncul dari tidur lima tahun, dan yang kamu pikirkan malah cowok yang bahkan kamu nggak yakin nyata?"
Tapi lalu bayangan Sean muncul kembali di benaknya, cara matanya menatap penuh kebingungan, tapi juga ketulusan. Cara ia menawarkan tempat berteduh tanpa ragu, meski baru bertemu dan bagaimana ia menulis tentangnya.
"Apa dia juga memikirkan aku?" lirih Liliana.
Angin malam meniup tirai dengan lembut. Dan Liliana kembali menatap ke luar jendela. Jauh, di luar sana, di dunia yang luas ada seseorang yang telah mengubah takdirnya, tanpa ia sadari sepenuhnya.
Dan kini, ia mulai menyadarinya, ia tidak ingin pertemuan itu menjadi satu-satunya.
Hujan mulai turun, tetes-tetesnya menghantam jendela besar seperti denting piano yang pelan namun menggema.
Liliana berdiri di depan jendela, mengenakan gaun tidur lembut berwarna pucat. Ia menatap langit, namun dadanya mulai terasa berat.
"...Kenapa… susah bernapas…?" bisik Liliana sambil menekan dadanya.
Langit mengguntur, matanya melebar dan tubuhnya limbung, sebelum sempat memanggil siapa pun— keadaan berubah jadi gelap.
Liliana berulang kali mengedipkan matanya, meskipun begitu. Keadaan saat ini, terasa sunyi.
Cahaya lampu gantung kecil menyambut pandangannya yang baru terbuka. Aroma khas kayu tua dan kopi basi memenuhi udara.
Liliana duduk tegak, matanya berkedip beberapa kali, napasnya terengah, tangan menyentuh seprai asing.
"Ini, kamar penulis itu?" lirih Liliana yang kini tercengang.
Ia melihat sekeliling tumpukan buku, naskah, jaket digantung seadanya, tak salah lagi.
Lalu bunyi pintu terbuka.
Sean masuk dengan jaket basah, rambutnya meneteskan air hujan. Ia membawa dua kantong belanja plastik. Saat melihat Liliana duduk di tempat tidurnya, matanya membelalak.
"Li—Liliana?!" tanya Sean yang kini terkejut mendapati seorang gadis yang tiba-tiba saja menghilang dan memberikan dirinya secercah cahaya harapan untuk tidak putus asa.
Ia terdiam, kantong belanja hampir jatuh dari tangannya dan air hujan masih menetes dari dagunya.
"Apa ini mimpi?" Sean bertanya-tanya dengan kebingungan yang masih tidak dapat dia percayai.
Liliana tidak menjawab, ia masih belum percaya pada dirinya sendiri, tapi yang bisa ia lakukan hanyalah menatap Sean dalam diam, dalam hujan yang sama, untuk kedua kalinya.
"Aku juga nggak tahu kenapa aku ada di sini," ucap Liliana pelan, hampir seperti bisikan.
Sean perlahan melangkah mendekat dan ia menaruh kantong belanja di meja, lalu berdiri di depan Liliana.
Keheningan itu hanya dipecahkan oleh suara hujan dari luar.
Mereka saling menatap, ada sejuta pertanyaan, tapi juga ketenangan aneh.
"Kalau ini mimpi, aku harap aku nggak segera bangun." kata Sean dengan senyumannya yang kaku juga canggung.
"Kalau ini kenyataan, aku nggak mau kembali." kata Liliana yang juga tersenyum samar.
"HAHAHAHA!" keduanya pun akhirnya tertawa bersama-sama.