NovelToon NovelToon
Wajah Polos Penuh Jiwa Gelap

Wajah Polos Penuh Jiwa Gelap

Status: sedang berlangsung
Genre:Dikelilingi wanita cantik / Perperangan / Identitas Tersembunyi / Action / Mafia / Romansa
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: Komang basir

Arga adalah remaja SMA yang selalu terlihat ramah dan polos, bahkan dikenal sebagai kuli pikul yang tekun di pasar tiap harinya. Namun di balik senyumnya yang tulus, Arga menyimpan rahasia kelam yang hanya diketahui sedikit orang. Ia diam-diam menyelidiki siapa dalang pembantaian keluarganya yang tragis, terbakar oleh tekad balas dendam yang membara. Perjalanan mencari kebenaran itu membawanya bertemu dua gadis tangguh bernama Kinan dan Keysha, yang ternyata juga anak-anak mafia dari keluarga besar yang menyamar sebagai murid SMA biasa namun tetap memiliki jiwa petarung yang kuat di sekolah. Bersama ketiganya, kisah penuh intrik, persahabatan, dan konflik berseteru di dunia gelap mafia pun dimulai, menyingkap tabir rahasia yang tersembunyi jauh di balik wajah polos mereka.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komang basir, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

penyesalan

Arga berhenti sebentar, menatap sekeliling dengan mata yang seperti sedang menimbang. Jalan raya ramai, terlalu banyak mata. Ia menghela napas pelan, lalu melirik ke sebuah gang kecil di samping toko kelontong. sepi, sempit, hanya muat satu motor lewat, dan tembus entah ke mana.

Sudut bibirnya terangkat tipis. Pas.

Dia melangkah lebih cepat menuju gang itu. Sepatunya berdecit kena genangan air. Bau amis dari got terbuka menyambut.

“jangan lari! Dasar anak penakut!” teriak anak bangor di atas motor. Suaranya nyaring, disusul tawa pecah dari teman-temannya.

Arga menoleh sebentar, bukan dengan wajah panik, tapi dengan senyum kecil yang membuat mata anak-anak bangor itu saling pandang. Senyum itu bukan senyum orang ketakutan. Ada sesuatu yang lain.

Lalu Arga kembali menunduk, melangkah mantap masuk ke dalam gang sempit itu.

Anak-anak bangor itu sama sekali nggak paham apa yang sebenarnya ada di kepala Arga. Yang mereka lihat cuma satu: bocah itu lari.

“Woy! Jangan kabur lo!” teriak salah satu dari mereka sambil ngegas motornya. Suara knalpot bising memantul di dinding gang, bercampur cipratan air got yang muncrat ke kiri kanan.

Tapi begitu motor masuk lebih dalam, mereka mulai sadar. Jalan itu terlalu sempit. Setang hampir mentok, ban belakang nyelip di batu, bikin laju motor oleng.

“Bangke, ini jalan apaan sih!” gerutu salah satunya.

Akhirnya, mereka terpaksa berhenti. Mesin dimatikan, suara knalpot yang tadinya meraung berubah jadi hening menekan. Hanya ada derap langkah sepatu mereka yang berisik memecah gang sepi.

Di depan, Arga melangkah lebih cepat. Bahunya sengaja ditekan rendah, seolah ketakutan. Tapi yang nggak mereka lihat, di ujung bibirnya muncul senyum tipis—senyum licik yang nggak cocok dengan wajah “anak polos” yang biasa mereka kenal.

Sementara itu, emosi anak-anak bangor makin meledak. Napas mereka terengah, urat di leher menegang, mata liar nyala penuh amarah. Mereka sudah membayangkan tubuh Arga terkapar babak belur, jadi tontonan mereka pagi ini.

“Cepetan! Jangan kasih bocah itu lolos!” seru yang paling depan.

Suasana gang terasa makin mencekam. Bau got menyengat menusuk hidung, suara teriakan mereka bergema di antara dinding beton, dan bayangan tubuh Arga yang makin menjauh bikin mereka semakin beringas.

Tapi di kepala Arga, hanya ada satu kalimat yang berulang: "Akhirnya… ada yang bisa jadi pelampiasan."

Setelah beberapa menit berlari, Arga akhirnya sampai di titik yang dia anggap cukup jauh dari jalan raya. Gang sempit itu sunyi, hanya ada bau lembab dari tembok berlumut dan suara tetesan air yang jatuh dari pipa bocor.

Arga sengaja memperlambat langkahnya. Napasnya terdengar berat—bukan karena lelah, tapi karena menahan amarah yang siap meledak kapan saja.

“Dapet juga lo!” teriak salah satu anak bangor sambil menambah kecepatan. Dengan penuh semangat, dia melompat dan menghantamkan kakinya ke pundak Arga.

Bugh!

Tubuh Arga terhuyung ke depan. Sepatunya menyeret lantai semen kasar, hampir membuatnya jatuh tersungkur.

“Wahahaha!” suara tawa meledak serentak.

Mereka berhenti beberapa langkah di belakang, menepuk-nepuk paha sambil ngakak puas melihat Arga yang diam tanpa perlawanan.

“Dasar anak cupu! rugi kamu lari, ujung-ujungnya kena juga!” ejek salah satu dari mereka.

Arga berdiri dengan bahu sedikit merunduk. Dari luar, dia terlihat pasrah. Diam, tak melawan. Matanya menunduk, bibirnya terkatup rapat.

Tapi… di balik wajah itu, senyum tipis perlahan muncul. Senyum yang sama sekali tidak mereka mengerti.

Salah satu anak bangor melangkah maju, menepuk-nepuk bahu Arga sebelum akhirnya mencengkeramnya dengan kasar. Sekali sentak, dia memaksa Arga menoleh.

Wajah mereka kini hanya berjarak sejengkal.

Arga mengangkat kepalanya perlahan—dan di situlah si bangor terhenti sepersekian detik.

Senyum di bibir Arga… berbeda. Bukan senyum ramah anak polos yang biasa mereka ejek, melainkan senyum dingin, sinis, seolah ada sesuatu yang mengintai di balik mata tenangnya.

“senyum apa itu?” si bangor mengernyit, tapi tawa teman-temannya langsung pecah, seakan menutup rasa ganjil itu.

Arga menatap mereka satu per satu dengan tenang, lalu tersenyum miring.

“Tertawalah sepuas kalian… karena sebentar lagi, tawa itu bakal berubah jadi tangisan.”

Kata-katanya datar, tapi menusuk.

Alih-alih takut, mereka malah makin keras tertawa.

“Gila, ngomong apa kamu barusan!” salah satu dari mereka menepuk bahu temannya sambil ngakak.

Bangor yang memegangi Arga mendecak, lalu mendorong kepala Arga ke bawah. “Nunduk!” bentaknya. Dengan timing cepat, dia mengangkat lutut tinggi dan menghantamkan ke arah perut Arga dengan penuh tenaga.

Bugh!

Tubuh Arga terhentak ke belakang setengah langkah. Suara tawa meledak lagi. Mereka mengira Arga akan meringkuk kesakitan.

Tapi… Arga tidak jatuh. Dia masih berdiri.

Bahkan, senyum tipis itu sama sekali tidak hilang dari wajahnya.

“Masih kuat juga kamu,” ejek anak bangor sambil datang dengan tinju mengayun keras.

Namun sebelum pukulan itu benar-benar mendarat, tangan Arga bergerak cepat. Cekkk! Lengan lawannya langsung ditangkap dengan cengkeraman dingin. Tanpa basa-basi, Arga menarik sekencang mungkin.

Craaaakkk!

Suara tulang patah terdengar jelas, membuat anak bangor menjerit sekeras-kerasnya. “AAARGHHH!!!” Tangannya terkulai lunglai, nyaris tak berbentuk.

Teman-temannya yang menyaksikan itu langsung melotot. Wajah mereka berubah dari tawa jadi marah bercampur panik.

“Bajingan! Hajar diaaa!” teriak salah satu, lalu semuanya serentak menerjang.

Bugh! Bugh! Duaaarr! Suara pukulan beruntun menggema di gang sempit. Tapi Arga bukan orang biasa. Sikutnya menghantam rahang lawan. Crakkk! Gigi berhamburan, tubuhnya jatuh menghantam dinding.

Yang lain menendang, tapi kakinya ditangkap. Arga memelintir ke arah berlawanan. Kraaakkk! Tulang kakinya berputar tak wajar. Jeritannya melengking, menusuk telinga semua yang ada di situ.

“AAAARGHHH!!”

Satu orang mengayun botol pecah. Syuuuttt! Hampir saja mengenai wajah Arga, tapi ditangkis keras. Balikannya cepat—Bughkk!—tinju Arga menghantam dada, membuat lawan roboh sambil memuntahkan darah.

Tanpa ampun, Arga menarik kepala satu lagi dan—Dhuarrr! menghantamkannya ke tembok. Crakkk! Suara tulang retak mengerikan, tubuh itu langsung jatuh tak berdaya.

Yang tersisa mulai goyah, gemetar ketakutan.

Tapi Arga melangkah mendekat dengan tatapan iblis. “Sekarang giliranmu,” ucapnya dingin.

Yang mencoba kabur langsung ditarik kerahnya. Bugh! Pukulan keras menghantam rusuknya. Crakkk! Tulangnya patah, membuatnya tergeletak meraung seperti hewan sekarat.

Gang itu kini penuh rintihan, tangisan, dan genangan darah bercampur air got. Arga berdiri di tengahnya, napasnya tenang, lalu mengibaskan tangan yang berlumuran darah seakan hanya menghapus debu.

Senyumnya muncul lagi, dingin dan menakutkan.

“Kalian kira aku anak polos yang bisa di permainkan seterus nya? Sekarang rasakan sendiri akibatnya.”

Melihat semua temannya sudah tidak berdaya, tubuh berlumuran darah dan rintihan sekarat mengisi gang sempit itu, anak bangor yang sempat terkapar kini mulai bangkit dengan sisa tenaga. Wajahnya pucat, keringat bercucuran, matanya penuh ketakutan. Tanpa pikir panjang, ia berlari terseok masuk lebih dalam ke gang.

Arga seketika berbalik, tatapannya menusuk tajam. Suaranya terdengar dingin, nyaris tanpa emosi.

“Mau lari ke mana kamu?”

Anak bangor menoleh sejenak sambil tetap berlari, tangan kanannya yang patah terkulai tak wajar. Suaranya pecah, penuh rasa takut bercampur penyesalan.

“Tolong... ampuni aku! Maaf... aku sudah sering ganggu kamu... aku janji nggak akan mengulang nya lagi...”

Suaranya memelas, bergetar seperti anak kecil yang ketakutan. Namun di telinga Arga, itu hanya terdengar sebagai rengekan lemah.

Arga tersenyum samar. Senyum dingin yang justru membuat udara di sekitar terasa makin mencekam. Dengan langkah tenang tapi pasti, ia mengejar. Bukan berlari, melainkan berjalan cepat—santai, seakan tahu buruannya tak akan pernah bisa lepas.

Tangannya masuk ke balik celana seragam. Klik! Pisau lipat berkilau keluar dari genggamannya. Tanpa ragu, Arga mengayunkan tangannya.

Swussshh! Thuuukkk!

Pisau itu melesat tajam, menancap penuh ke belakang lutut anak bangor.

“AAARRRGGHHHH!!!” Jeritan itu memecah keheningan gang. Lututnya roboh seketika, tubuhnya terjerembab keras ke tanah basah. Darah merembes dari tusukan, bercampur dengan genangan air hujan.

Anak bangor memegangi lututnya dengan kedua tangan, tubuhnya gemetar hebat. “Ampun... ampun, aku mohon... jangan bunuh aku... sakit sekali...” rengeknya lirih, seperti tikus terjebak yang hanya menunggu ajal.

Sementara itu Arga terus melangkah maju, suaranya sepatu menghantam genangan terdengar menegangkan: plak... plak... plak...

Tatapannya dingin, senyumnya melebar. Setiap langkahnya seolah membawa aroma kematian mendekat.

Langkah kaki Arga terdengar berat dan mantap, duk… duk… duk… menghantam lantai gang yang lembap. Setiap langkahnya seperti gema kematian yang semakin mendekat.

Anak bangor, dengan wajah pucat penuh keringat dingin, berusaha menjauh. Ia menyeret tubuhnya dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya yang patah hanya terkulai lemah. Suara gesekan bajunya dengan beton kasar membuat suasana makin mencekam.

“Jangan... jangan dekat-dekat... tolong...” suaranya serak, penuh rasa putus asa.

Namun Arga tetap berjalan, tatapannya tidak pernah lepas. Seolah dia sedang menikmati setiap detik penderitaan lawannya.

Begitu jaraknya cukup dekat, Arga mengangkat kakinya tinggi-tinggi, lalu DUGHH! ia menginjak gagang pisau yang masih tertancap di belakang lutut anak bangor.

“AAARRRGGGHHHHH!!!”

Jeritan itu menggema panjang, memantul di dinding gang sempit. Tulang lututnya terdengar krek! seolah retak pecah, darah memancar lebih deras. Tubuh anak bangor tergetar hebat, lalu ia terbaring terlentang, kedua tangannya refleks mencoba menahan rasa sakit.

Sambil mengerang dan menangis, ia kembali menyeret tubuhnya mundur. Sret… sret… sret… suara gesekan tubuhnya terdengar menyayat, seperti seekor hewan sekarat yang mencoba melarikan diri dari pemburu.

Arga tersenyum tipis, tatapan matanya semakin dingin. “Merangkak lah… sejauh yang kamu bisa,” ucapnya pelan, nyaris berbisik, namun justru terdengar lebih menakutkan.

Di sela-sela napas terengah, anak bangor berusaha mengerahkan sisa tenaga. “Tolong..... tolong aku...!” suaranya pecah, lirih, lebih mirip rintihan daripada teriakan. Suara itu hilang terbawa angin, tak ada yang mendengar di gang sempit yang sunyi mencekam.

Arga berdiri tegak di atasnya, menatap dingin seperti predator yang sudah mengunci mangsanya. Senyumnya perlahan melebar, berubah menjadi tawa seram yang menggetarkan. “Hehehe... hahahaha...” Suara tawanya menggema di antara dinding beton, membuat suasana semakin menyesakkan.

1
Corina M Susahlibuh
lanjut dong cerita nya Thor
nunggu banget nih lanjutannya
tukang karang: terimakasih atas penantian nya dan juga komen nya, bab apdet setiap hari kak di jam 12 siang🙏🙏
total 1 replies
Aixaming
Bener-bener rekomendasi banget buat penggemar genre ini.
tukang karang: makasi kak, maaf aku baru pemula🙏🙏
total 1 replies
Celia Luis Huamani
Wah, seru banget nih ceritanya, THOR! Lanjutkan semangatmu!
tukang karang: siap, bantu suport ya🙏🙏🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!