"Sella jatuh hati pada seorang pria yang tampak royal dan memesona. Namun, seiring berjalannya waktu, ia menyadari bahwa kekayaan pria itu hanyalah kepalsuan. Andra, pria yang pernah dicintainya, ternyata tidak memiliki apa-apa selain penampilan. Dan yang lebih menyakitkan, dia yang akhirnya dibuang oleh Andra. Tapi, hidup Sella tidak berakhir di situ. Kemudian dirinya bertemu dengan Edo, seorang pria yang tidak hanya tampan dan baik hati, tapi juga memiliki kekayaan. Apakah Sella bisa move on dari luka hatinya dan menemukan cinta sejati dengan Edo?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon manda80, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Uang Bersih?
Pintu lift tertutup. Udara di dalam ruangan besi itu terasa membekukan, jauh lebih dingin daripada AC kantor Edo yang terlampau tinggi. Sella masih menggenggam lengan Edo, tetapi sentuhan yang tadinya terasa profesional kini mengandung listrik ketakutan.
Tuan Hartono. Kreditor utama Andra. Pemilik saham terbesar perusahaan Edo. Semua ketidakmungkinan berkumpul dalam satu fakta mengerikan.
“Jadi, Pak Hartono mencari kita, atau lebih tepatnya… aku?” bisik Sella, mencoba agar suaranya tidak bergetar. Gaun biru safirnya terasa seperti seragam militer, indah tapi menyesakkan.
“Dia mencari keberadaan aset,” koreksi Edo, suaranya tetap tenang, nyaris seperti suara angin. Kontras dengan gejolak amarah yang Sella yakini pasti ada di dalam dirinya. “Dan baginya, kamu adalah koneksi terdekat dengan aset-aset yang raib itu, Sella. Termasuk ruko yang kamu jual dengan terburu-buru dulu. Dia yakin Andra menyerahkan kepemilikan padamu sesaat sebelum melarikan diri, dan kamu ‘memindahkannya’ ke dalam brankas ku. Ini bukan lagi drama mokondo, ini tuduhan pencucian uang skala korporat.”
Sella memejamkan mata. Dulu, ia rela dimanfaatkan demi cinta. Sekarang, ia rela diposisikan sebagai boneka untuk menghindari penjara.
“Lalu kenapa kau tidak membatalkan pertemuan ini?” tanya Sella panik. “Kita bisa pergi, menunda.”
Edo menggeleng cepat. “Terlambat. Hartono sudah curiga. Jika kita membatalkan, itu menyetujui bahwa kita sedang menyembunyikan sesuatu. Aku tidak bisa membiarkan itu. Citra perusahaan ini adalah aset utamaku. Jika ia menyebarkan desas-desus aku menggunakan pernikahan untuk menutupi kejahatan, harga saham bisa jatuh hari ini juga. Kita harus menghadapinya, Sella. Sekarang.”
Lift berhenti. Mereka tiba di parkiran VIP yang hanya berisi beberapa mobil supermewah. Sebuah limosin hitam sudah menunggu.
“Ingat aturannya, Sella. Aku sudah memberimu semua skrip. Anggap Hartono adalah investor baru yang perlu diyakinkan. Senyum, elegan, tapi tegas. Jangan tunjukkan kelemahanmu sedikit pun.” Edo memandang matanya, memaksa Sella menatap balik. “Malam ini, kamu adalah Nyonya Edo, yang berasal dari keluarga terpandang dan menawan. Kamu dan aku… kita jatuh cinta.”
Sella menarik napas, menyerap mantra itu. Diambil. Berharga. Berlian.
“Aku mengerti, Tuan CEO,” jawab Sella, sedikit sarkasme namun penuh tekad. “Ayo kita hadapi sarang singa ini.”
Restoran privat yang mereka tuju terasa sepi. Hartono telah memesan seluruh lantai atas untuk acara informal, yang sebenarnya merupakan meja interogasi terselubung. Saat Sella dan Edo masuk, mereka disambut oleh suasana yang sunyi, dihiasi perabotan klasik berat dan cahaya temaram.
Tuan Hartono, pria paruh baya dengan tatapan mata yang dingin dan menusuk, duduk di ujung meja. Di sebelahnya adalah istrinya yang tampak ramah, Nyonya Rina, dan putra mereka, Adrian, yang hanya memberikan anggukan sopan.
“Edo, senang sekali kau bisa membawa tunanganmu,” sambut Hartono, senyumnya tidak mencapai mata. “Kami sudah lama mendengar desas-desus, tetapi tidak menyangka tunanganmu begitu… menawan. Silakan, Nyonya Sella.”
Sella diposisikan tepat di samping Hartono, di hadapan cahaya terang yang seolah-olah dirancang untuk menunjukkan setiap noda di riasan wajahnya.
“Terima kasih, Pak Hartono,” jawab Sella, mengeluarkan senyum ramah yang baru dilatih Maya. “Suatu kehormatan bisa bertemu keluarga Bapak. Edo sering menceritakan tentang peran penting Bapak di perusahaan.”
“Tentu saja. Peran penting,” ulang Hartono, mengawasi Sella menuangkan air putih untuk dirinya sendiri. Sella mengingat wejangan Maya, menuangkan air menunjukkan kontrol dan percaya diri. “Jadi, Sella. Edo mengatakan kalian sudah bertunangan cukup lama, tapi tidak pernah terungkap media. Kami sedikit terkejut.”
“Memang,” potong Edo dengan nada ringan. “Sella lebih menyukai kehidupan yang sederhana, Ayah. Dia berasal dari keluarga yang mapan, tapi ia bersikeras ingin mandiri dan tidak ingin nama besarnya mendahului kesuksesan yang ia bangun sendiri.”
Hartono mengangguk, lalu beralih pada Sella lagi, matanya mengamati berlian di jari Sella.
“Sungguh wanita yang mulia. Mandiri. Saya menghargai itu. Jadi, Nyonya Sella, boleh saya tahu, bisnis apa yang Anda tekuni sebelum Anda setuju dinikahi oleh CEO kami?” Hartono bersandar ke kursinya, nada bicaranya masih santai, namun seperti sedang menodongkan pistol.
Sella memegang garpu kecil (garpu salad!) dengan erat. Ia menarik napas dan mengingat skrip.
“Saya bergerak di bidang seni dan desain interior, Pak Hartono. Saya memiliki beberapa proyek kecil yang sedang saya tangani, walau memang setelah bertemu Edo, saya memilih untuk lebih fokus mendukungnya.”
“Desain interior? Menarik,” celetuk Adrian, putra Hartono, untuk pertama kalinya. “Kami sedang merenovasi rumah liburan di Bali. Mungkin kita bisa bekerja sama? Oh, apakah Anda punya beberapa aset properti untuk inspirasi? Saya dengar, Anda punya minat besar di bidang properti di Jakarta Timur?”
Sella nyaris tersedak air yang baru diminumnya. Jakarta Timur. Ruko yang dijual Andra, yang ia biayai sepenuhnya, berada di Jakarta Timur. Pertanyaan Adrian bukan basa-basi, melainkan tembakan langsung.
Edo dengan cepat menyelamatkan situasi. “Adrian, jangan bebankan tunanganku dengan pekerjaan. Kami sedang merencanakan pernikahan. Tapi kami punya beberapa properti pribadi di area Menteng, Sella sering menghabiskan waktu di sana.”
Hartono tersenyum tipis. “Menteng. Jauh sekali dari properti di timur yang saat ini sedang menjadi fokus masalah hukum perusahaan kami. Kalian tahu, ada penipuan besar-besaran oleh pihak kontraktor yang mencoba kabur dari utang, memanfaatkan orang-orang lugu untuk memindahkan aset.”
Hartono memotong sepotong daging sapi, gerakannya lambat dan penuh perhitungan. Semua mata tertuju pada Sella, menunggu reaksinya terhadap kata ‘penipuan’ dan ‘aset.’
“Sungguh mengerikan, Pak Hartono,” jawab Sella, berusaha menjaga agar senyumnya tetap ramah, tidak gemetar. “Saya harap keadilan bisa ditegakkan. Dunia bisnis memang penuh tantangan.”
Hartono menatapnya lama, tatapan yang menembus hingga ke dasar jiwanya.
“Benar, Sella. Penuh tantangan,” kata Hartono, suaranya kini menurun, lebih intim dan mematikan. “Dan di dunia ini, seringkali aset itu meninggalkan jejak. Saya ingin tahu, Nyonya Sella… apakah Anda yakin betul berlian yang Anda pakai di jari Anda itu, bukan bagian dari jejak yang kami cari?”
Keheningan menggantung di ruangan itu, berat seperti beludru. Edo mendadak menegakkan tubuhnya, rahangnya mengeras. Sella merasakan telapak tangannya berkeringat dingin, meskipun cincin tunangan itu sudah melekat kuat.
“Maksud Bapak?” tanya Edo tajam, untuk pertama kalinya melepaskan kepura-puraan santai.
Hartono tidak menjawab Edo. Ia terus menatap Sella. Ia mengambil jeda panjang yang menegangkan, menikmati momen keunggulannya.
“Kami menemukan transaksi mencurigakan di buku kas perusahaan kami yang menipu, Tuan Edo. Sebuah pembayaran besar, beberapa hari sebelum Anda dan Sella bertunangan. Pembayaran untuk sebuah aset, sebuah perhiasan. Sebuah berlian yang sangat langka. Mirip sekali dengan yang Nyonya Sella kenakan saat ini,” ucap Hartono perlahan, senyum dinginnya melebar. “Perhiasan itu dijual oleh pria bernama Andra, yang baru-baru ini Anda kenal sebagai mantan rekan bisnis kami. Saya hanya ingin memastikan, Nyonya Sella, apakah cincin pertunangan Anda dibeli dengan uang bersih?”