"semua orang memiliki hak untuk memiliki cita-cita,semua orang berhak memiliki mimpi, dan semua orang berhak untuk berusaha menggapainnya."
Arina, memiliki cita-cita dan mimpi tapi tidak untuk usaha menggapainya.
Tidak ada dukungan,tidak ada kepedulian,terlebih tidak ada kepercayaan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tulisan_nic, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26 Syukur yang Sederhana
Langit di Minggu pagi ini seperti menyimpan sesuatu. Awan-awan menggumpal kelabu, menutupi matahari yang biasanya menyapa lewat jendela kamar Arina. Udara terasa lebih berat, dingin, dan lembap.Burung-burung tak banyak berkicau, seolah mereka tahu hari ini tidak secerah biasanya.
Arina membuka tirai jendela kamarnya perlahan. Pandangannya kosong menatap halaman yang basah sisa hujan semalam.Ada sesuatu di dadanya yang ikut mendung,bukan hanya karena langit.Tapi karena pikirannya belum bisa berhenti memutar suara-suara yang di dengarnya di rumah Sinta.
"Kalau aku bertemu Vivian besok,apa yang aku katakan padanya tentang Om Rendra.Mana bisa aku menyembunyikan ini darinya.Tapi kalau aku bicara,semuanya akan terbongkar dan pasti menimbulkan masalah.Duh...aku paling nggak suka situasi yang seperti ini.Tapi kenapa keadaan malah menyeret aku buat masuk ke dalam."
"Huh! Pusing!"
Arina menggeleng-gelengkan kepalanya,matanya terpejam,kakinya sedikit menghentak.Dari ruang tengah,Bapak yang sedang libur bekerja melihat tingkah Arina.Ia memperhatikan sejenak,"apa yang membuat nya pusing?"
Bapak melangkah pelan mendekati Arina,tangannya terulur menyentuh bahunya."Pusing kenapa?,cerita sama Bapak".
Arina membuka matanya,menoleh ke arah Bapak.Lalu duduk di tepi ranjang di ikuti oleh Bapak.
"Pak kehidupan orang dewasa itu apa rumit banget ya?"
Mendengar pertanyaan itu,Bapak tidak langsung menjawab.Ia menghela nafas sebentar,membetulkan letak duduknya.
“Rumit itu bukan karena hidupnya.Tapi karena hati manusia sering lupa bagaimana caranya sederhana.”
Arina menatap bapaknya, tidak langsung paham."Maksudnya gimana Pak?"
“Dulu waktu kecil, kita bisa bahagia cuma karena hujan turun atau dapat kue dari tetangga. Tapi makin besar, kita menukar rasa syukur itu dengan keinginan yang nggak ada habisnya.Makanya, hidup kelihatan rumit padahal yang sulit itu hati kita sendiri.”
Arina diam, memandangi jari jemarinya sendiri.Kata-kata bapaknya seperti menetes perlahan ke dalam dadanya , hangat dan menenangkan.
“Berarti kalau hatinya sederhana, hidup juga terasa ringan, ya Pak?”Bapak tersenyum “Iya,hati yang tenang itu seperti air jernih. Apa pun yang jatuh ke dalamnya, tetap bisa jernih lagi setelah diam.Ada satu hal lagi yang membuat kehidupan ini menjadi rumit".
"Apa itu Pak?"
“Kalau manusia nggak jujur sama dirinya sendiri, dia bakal nyesek terus, meskipun dari luar kelihatan bahagia.”Bapak menarik napas dalam,lalu melanjutkan lagi.“Kadang yang bikin hidup berat bukan beban, tapi rahasia yang kita simpan.”
Arina diam. Di dadanya, kalimat itu bergema.Ia teringat suara obrolan Sinta dan Rendra kemarin,nada lelah Rendra yang mengeluh tentang pernikahannya.Yang membuatnya seperti kosong, tapi hatinya seperti diremas pelan oleh kenyataan.
“Berarti… kalau mau hidup tenang, harus berani jujur, ya Pak?”
Bapak menatap lembut mata Arina “Iya,Arina.Karena yang nggak jujur itu bukan cuma nyakitin orang lain,tapi juga dirinya sendiri.”
"Pak,apa Bapak sudah menyederhanakan rasa syukur Bapak?sehingga setiap kali dengar omelan Mamak, Bapak tetap sayang sama Mamak?".
Bapak tertawa kecil mendengar pertanyaan itu,pelan ia mengelus kepala Arina."Mamakmu sudah mengajarkan rasa syukur itu lebih dulu sama Bapak".
Arina mengerutkan dahi,matanya menyipit menatap Bapak.Tidak mengerti maksud ucapan Bapak.Bapak faham jika Arina belum menangkap maksud ucapannya,lirih suaranya menjelaskan."Bapak ini,bukan suami yang sesuai dengan ekspektasi Mamak.Tapi,Mamak tetap nggak ninggalin Bapak meski itu mudah kalau Mamakmu mau melakukannya.Dari situ Bapak tahu sebenarnya Mamak hanya ingin di dengarkan keluh kesahnya saja,tidak benar-benar ingin meninggalkan Bapak"
Mata Arina membulat,ucapan Bapak barusan tentang Mamak itu benar-benar fakta.Meski Mamak sering merasa capek dengan uang yang bapak hasilkan tapi,Mamak tidak pernah berfikir meninggalkan Bapak.Apalagi berniat untuk mencari pengganti.Mamak tetap setia, mendampingi Bapak dengan menambal kekurangan Bapak.Hal yang diam-diam membuat Arina kagum dengan sosok Mamak.
Dari arah dapur,terdengar suara khas Mamak
"Arina!,ini bantu taruh bawang gorengnya ke kedai"
Suara itu membuyarkan suasana tenang di samping Bapak.Arina cepat bergegas, meninggalkan Bapak begitu saja yang tersenyum hangat memandangi punggung putrinya.
****
Kediaman rumah Arkan.
Dapur itu luas dan berkilau. Meja marmer putihnya memantulkan cahaya dari lampu gantung kristal yang berayun pelan. Di atas kompor tanam, panci stainless mengeluarkan uap harum kaldu daging sapi, berpadu dengan wangi roti panggang dari toaster di sudut meja.
Almira berdiri anggun di depan kitchen island. Gaunnya berbahan satin lembut, rambutnya dikuncir rapi ke belakang. Tangannya terampil mengaduk sayur, sementara jam tangan berlapis emas di pergelangannya berkilau tertimpa cahaya lampu
Dirga duduk santai di kursi bar dapur, membaca tablet. “Masak sendiri, Sayang? Chef Rico cuti, ya?”
Almira tersenyum kecil tanpa menoleh “Nggak. Aku cuma ingin memanjakan kalian dengan aroma masakanku”
Dirga tertawa pelan, meletakkan tabletnya. Di balik kaos santainya, wajahnya masih menyimpan lelah.Ia menatap punggung Almira, yang masih terlihat sempurna.
Dari arah tangga spiral, Arkan turun dengan piyama branded-nya. Rambutnya masih berantakan, tapi langkahnya pelan. “Pagi, Pa. Pagi, Ma.”
Almira menoleh lembut “Pagi,Arkan. Sarapan ya, Mama masak sop daging sapi kesukaan kamu dan Papamu.”
Dirga tersenyum tipis “Masakan Mamamu selalu juara di hati Papa,Chef Rico tidak ada apa-apa nya”.
Kalimat itu meluncur ringan, tapi bagi Almira, terdengar sangat manis.Ia menunduk sedikit,senyum simpul di wajahnya menambah kesan keindahan seorang wanita.Tangannya cekatan merapikan sendok di meja makan, seolah sibuk.
Arkan memeluk Papanya dari belakang,tangannya terulur di kedua bahu Dirga.Terlihat bahwa hubungan diantara keduanya begitu dekat."Papa sedang merayu Mama ya".
Mendengar itu,mengundang tawa kecil dari Dirga dan Almira.Mereka saling berpandangan.Tatapan mereka seolah saling memberi tahu,bahwa hati mereka sudah sama-sama saling terisi.
Meja makan panjang dengan delapan kursi itu terlalu besar untuk mereka bertiga. Di tengahnya, vas kristal berisi mawar putih tampak terlalu rapi.Almira menaruh mangkuk sup,menyiapkan alas kemudian menaruh piring di atasnya.Sendok dan garpu tertata rapi di dekat piring.
Arkan duduk di samping Papanya di meja Bar dekat kitchen set “Pa, minggu depan Arkan lomba basket. Papa nonton ya?”
Dirga menarik napas pendek “Kalau nggak ada meeting mendadak, Papa usahain datang.”
"Arkan nggak maksa sih Pa,kalau Papa sibuk apa boleh buat".
"Anak Papa sudah mulai berfikir dewasa ternyata ya".
Dari sudut meja makan panjang yang sudah siap tersaji masakan,Almira tersenyum puas.
"Sayang,ayo kita sarapan.Ini sudah siap"
Dirga menarik lengan Arkan,menyuruhnya cepat berdiri."Ayo,jangan buat Mamamu menunggu lama".
Suasana hangat di meja makan mereka sangat berbeda dengan suasana meja makan saat bersama Rina dan Evan.Di rumah Arkan,Dirga benar-benar merasa layaknya seorang suami dan Ayah yang sempurna.Mungkin rasa cinta yang berbeda yang membuatnya tidak sama.
Almira menatap suaminya sekilas.Tersenyum seperti biasa, menjaga wajahnya tetap tenang.Arkan dan Papanya semangat menyendokkan sup daging sapi buatan Mama.Terasa spesial bagi mereka.Postur badan yang semakin mirip juga selera makanan yang sama membuat Arkan dan Dirga tampak sangat dekat.
Disela-sela makan itu,Arkan mengingat sesuatu.
"Pa,apa Evan beberapa hari kemarin dia sakit?"
"Sakit?,dia baik-baik saja.Pergi ke sekolah seperti biasa".
"Memangnya Evan kenapa Arkan?" Mamanya ikut nimbrung
"Dua hari dia nggak masuk kelas"
"Dua hari?,memangnya kemana dia?"
"Makanya aku tanya Papa".
Dirga diam sebentar,lalu menghela nafas.
"Anak itu,aku semakin tidak mengerti dengan sikapnya.Dia masih saja seperti tidak menerima kehadiran kalian".
Almira mengangkat tangannya,mengelus pelan lengan suaminya."Wajar saja dia begitu Mas,Evan butuh waktu untuk menerima ini semua".
"Tapi,tetap saja.Dia itu memperumit hidupnya sendiri.Apa susahnya mengakui kalau Arkan adalah saudaranya".
Arkan memperhalus suaranya,nampak hati-hati berbicara
"Pa,kalau memang Evan merasa sangat sulit menerima ku,biarlah aku saja yang tetap menganggapnya saudara.Itu tidak masalah untukku".
"Bahkan,Arkan sudah lebih cerdas cara berfikirnya".
"Maaf Pa,bukan Arkan ingin mengoreksi Papa.Sikap Papa yang begini membuat Evan merasa di bandingkan denganku.Aku rasa Evan tidak suka itu".
Dirga memainkan sendoknya, berputar-putar di atas piring miliknya."Kamu benar Arkan.Kemarin Aku sempat membandingkan nya dengan mu,dan dia seperti nampak tersinggung".
Tangan Almira masih di lengan suaminya,elusan halus itu menenangkan bagi Dirga.Ia mengambil tangan istrinya lalu mencium punggung tangan itu.Terlihat sangat hangat dan romantis
Melihat itu Arkan tersenyum kecil,cara Papa memperlakukan Mamanya itu membuat Arkan semakin menghormati Papa.
"Apa aku di lahirkan di dunia ini untuk menonton drama romantis kalian terus terusan ya" Candaan Arkan membuat suasana yang tadi sedikit tegang kembali mencair penuh kehangatan.Sampai dering telpon milik Papa membuyarkan suasana.Telpon dari Rina,Mamanya Evan.
Dirga mengangkat telpon itu,ada nada cemas di ujung sana.
"Ada apa Rina?"
"Rumah Sakit?","Aku segera ke sana".
*
*
*
~Salam hangat dari Penulis 🤍