Di tengah gemerlap kota, kegelapan purba bangkit.
Satu per satu, para elite yang telah "bertobat" ditemukan tewas dalam ritual penyiksaan yang mengerikan. Mantan preman, pengusaha licik, semua yang kini dermawan, tubuhnya dipajang sebagai altar dosa masa lalu mereka.
Sang pembunuh tidak meninggalkan sidik jari. Hanya sebuah teka-teki teologis: ayat-ayat Alkitab tentang murka dan penghakiman yang ditulis dengan darah.
Media menjulukinya: "Sang Hakim".
Ajun Komisaris Polisi (AKP) Daniel Tirtayasa, detektif veteran yang hidupnya ditopang oleh iman, ditugaskan memburu bayangan ini.
Namun, perburuan kali ini berbeda. Sang Hakim tidak hanya membunuh; ia berkhotbah dengan pisau bedah, memutarbalikkan setiap ayat suci yang Daniel pegang teguh. Setiap TKP adalah kapel penghujatan yang menantang eksistensi pengampunan.
Kini, perburuan ini menjadi personal.
Mampukah Daniel menangkap Sang Hakim sebelum imannya sendiri hancur berkeping-keping?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firmanshxx969, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 30
Delapan hari tersisa.
Ruang komando Satgasus “Operasi Penebusan” terasa seperti sebuah makam. Sunyi. Papan tulis yang dipenuhi teori "7 Dosa Mematikan" dan "Radius 1 Kilometer" kini terasa seperti lelucon yang kejam. Peta itu menunjuk langsung ke RS Bhayangkara, ke Samuel. Tapi Daniel tidak bisa bergerak.
Dia telah melakukan hal yang tidak termaafkan. Dia telah berbohong kepada timnya.
Dia telah menyangkal petunjuk terbaik mereka terobosan digital Reza untuk melindungi keluarganya, untuk mencegah Samuel tahu bahwa dia tahu.
Akibatnya? Dia terisolasi. Bukan hanya secara fisik, tapi secara spiritual.
Iptu Hasan dan Ipda Adit sedang di luar, "mengejar" petunjuk "jurnal Lukas". Petunjuk yang Daniel tahu hanya akan membawa mereka berputar-putar. Itu adalah tugas palsu, dirancang untuk menjauhkan mereka dari sini. Sebuah sabotase aktif terhadap investigasinya sendiri.
Kompol Reza duduk di sudutnya. Dia tidak lagi marah. Dia diam. Dia dengan sengaja memasang headphone besarnya, pura-pura sibuk. Dia tidak bicara pada Daniel kecuali jika ditanya. Daniel tidak hanya menyebut terobosan Reza "teori konspirasi"; dia telah menghina integritas Reza. Daniel telah meracuni sumurnya sendiri. Dia telah menghancurkan satu-satunya hal yang membuat Satgasus ini bekerja: kepercayaan.
Timnya terpecah. Dan dia sendirian di tengah makam yang dia ciptakan sendiri.
Dia sendirian saat seorang petugas administrasi yang gugup mengetuk pelan pintu yang terbuka.
"Permisi, Ndan," kata petugas itu. "Paket untuk Anda. Diantar oleh kurir berjaket hitam. Tidak ada nama pengirim. Dia hanya bilang ini 'Undangan Pribadi'."
Jantung Daniel serasa berhenti berdetak.
Petugas itu meletakkan sebuah amplop di mejanya dan bergegas pergi, seolah dia bisa merasakan aura dingin yang memancar dari benda itu.
Amplop itu tergeletak di meja. Berbeda dengan paket flash drive yang murahan, yang ini adalah sebuah karya seni. Amplop itu terbuat dari kertas cardstock hitam pekat, tebal, dan berat. Teksturnya seperti kulit yang halus. Di bagian depannya, hanya namanya, ditulis dengan kaligrafi perak yang elegan:
Ajun Komisaris Polisi Daniel Tirtayasa
Tangannya, yang ia paksa untuk tetap stabil, sedikit gemetar saat ia membalik amplop itu. Segelnya terbuat dari lilin berwarna merah darah, dicap dengan simbol yang tidak ia kenali sebuah timbangan yang salah satu sisinya patah.
Dia tahu ini dari dia.
Ini adalah babak selanjutnya dari permainan yang Samuel mulai saat makan siang. Samuel baru saja menaikkan taruhannya.
Daniel mengiris segel itu dengan pemotong kertas. Di dalamnya, ada dua benda.
Benda pertama adalah sebuah foto.
Bukan foto TKP yang suram. Ini adalah foto potret profesional, dicetak di atas kertas foto berkualitas tinggi. Foto seorang wanita. Mungkin berusia akhir tiga puluhan. Sangat cantik, dengan rambut gelap bergelombang dan senyum yang tampak dipaksakan, seolah dia sedang menyembunyikan kesedihan. Matanya menatap lurus ke kamera, seolah memohon.
Daniel merasakan gelombang rasa mual. Dia tidak mengenali wanita ini. Tapi dia tahu, dengan kepastian yang membekukan darah, bahwa wanita ini adalah korban berikutnya.
Ini adalah Dosa Keempat.
Melihat kecantikan ini, Daniel langsung tahu: NAFSU (LUST).
Samuel tidak memilihnya secara acak. Dia memilihnya untuk Daniel. Dia memilih wanita tercantik yang bisa dia temukan, untuk membuat taruhannya menjadi sangat personal.
Benda kedua adalah sebuah kartu undangan. Sama seperti amplopnya, kartu itu tebal dan mewah.
Saat Daniel membacanya, napasnya tercekat.
Di bagian atas kartu, tertulis dengan font yang sama elegannya:
Sebuah Perjamuan untuk Sang Gembala
Dengan hormat,
Anda diundang untuk menghadiri
Absolusi Keempat
Sebagai tamu kehormatan dan saksi utama,
Anda ditantang untuk mengintervensi apa yang tidak bisa Anda pahami.
Lokasi: 106.8225° BT, 6.2088° LS
Waktu: Malam Minggu Ini. Pukul 23:00 Tepat.
Pakaian: Kejujuran Anda (jika Anda masih memilikinya).
Daniel merasa kakinya lemas. Dia harus berpegangan pada meja. Kejujuran Anda (jika Anda masih memilikinya). Sebuah tusukan langsung pada kebohongannya pada Reza.
Ini... ini bukan lagi metafora.
Ini harfiah.
Pikirannya langsung terlempar ke analisis Dr. Maya: "Anda bukan lagi pemburunya. Anda kini telah dipromosikan menjadi penonton utamanya."
Daniel mengira itu adalah perang psikologis. Ternyata, Samuel sedang mengirimkan tiket.
Dia menatap koordinat GPS itu. Dia tidak perlu memeriksanya di peta Reza. Dia tahu itu bukan jebakan yang sederhana. Itu adalah lokasi terpencil. Sebuah panggung.
Kepanikan dan amarah berperang di dalam dirinya.
Dia ingin aku menyaksikannya.
Ini adalah jebakan. Tentu saja ini jebakan. Samuel ingin dia datang. Kenapa? Apa pilihannya?
Daniel mulai mondar-mandir di ruang komando yang sunyi itu, jantungnya berdebar kencang. Dia memaksakan logikanya bekerja.
Opsi Satu: Melapor ke Jenderal Hartono.
Daniel bisa membayangkan adegan itu dengan jelas. Dia membawa kartu undangan ini ke lantai pimpinan. Hartono, yang sedang berada di bawah tekanan "politik" RUU Migas, akan melihat ini sebagai kesempatan. Dia akan mengirim segalanya. Densus 88. Gegana. Seluruh batalion. Dia akan mengubah koordinat GPS itu menjadi zona perang.
Dia melihatnya di kepalanya: lampu strobo biru-merah menerangi lapangan terbuka, puluhan petugas berteriak "GRUDUK! GRUDUK!" di malam yang sunyi.
Dan dia juga melihat Samuel. Duduk bermil-mil jauhnya, di atas bukit, menonton sirkus bodoh itu di laptopnya. Samuel, yang jelas memantau mereka, akan melihat respons polisi yang "kaku" dan "bodoh" itu. Dia akan membatalkan "pesta"-nya. Dia akan menghilang.
Wanita di foto itu? Dia akan tetap mati. Samuel akan membunuhnya minggu depan, di tempat lain, dengan cara lain yang lebih menyakitkan.
Hasilnya? Hartono akan terlihat bodoh, dan Daniel akan dicopot karena membuang sumber daya untuk "undangan palsu". Samuel menang.
Opsi Dua: Memberi tahu Tim.
Dia bisa memanggil Hasan, Adit, dan Reza. Mengatakan, "Kita serbu."
Tapi Daniel membeku. Dia tidak bisa. Dia tidak bisa lagi mempercayai timnya. Bukan karena mereka pengkhianat. Tapi karena dia telah menghancurkan mereka. Dia menatap punggung Reza. Dia baru saja mengkhianati Reza. Dia tidak bisa tiba-tiba berkata, "Oh, omong-omong, teori konspirasimu itu benar."
Dan yang lebih buruk, dia tahu Samuel ada di dalam sistem. Bagaimana jika Samuel memantau radio mereka? Komunikasi mereka? Bagaimana jika Samuel mengharapkan dia membawa tim?
Menyeret timnya ke sana adalah menyeret domba ke serigala. Itu adalah kegagalan seorang Gembala. Samuel menang.
Opsi Tiga: Mengabaikannya.
Dia bisa... tidak melakukan apa-apa. Dia bisa membuang undangan ini ke tempat sampah. Dia bisa berpura-pura tidak pernah menerimanya. Dia bisa fokus pada "pekerjaan polisi yang sebenarnya", mengejar petunjuk palsu jurnal Lukas.
Daniel merasa mual. Dia teringat kata-kata Samuel saat makan siang.
"Bukankah 'menyerahkannya pada Tuhan' adalah sebuah bentuk... kemalasan spiritual?"
Ini dia. Ini adalah ujian "Kemalasan" (Sloth) itu. Tapi ujiannya bukan untuk korban. Ujiannya untuk Daniel.
Samuel sedang menantangnya: "Apakah kau akan menjadi Gembala yang 'malas', Daniel? Apakah kau akan membiarkan domba ini disembelih karena kau terlalu takut? Apakah kau akan membuktikan bahwa filosofiku benar?"
Jika dia tidak datang, wanita itu 100% mati. Dan Samuel akan memenangkan perang filosofis di antara mereka. Samuel menang.
Daniel membanting kartu undangan itu ke meja. Dia terengah-engah, merasakan klaustrofobia di dalam ruang komandonya sendiri.
Dia terjebak.
Ini adalah skakmat yang sempurna.
Dia tidak punya pilihan. Setiap pilihan logis yang bisa dia ambil sebagai polisi adalah kekalahan.
Samuel, si grandmaster catur itu, baru saja memberinya tiga pilihan yang mustahil, yang semuanya berujung pada kemenangannya.
...Kecuali Daniel berhenti bermain sebagai polisi.
Daniel menatap foto wanita itu. Matanya yang memohon. Dia adalah domba yang akan dikorbankan.
Dia menatap kartu undangan itu. Sebuah tantangan yang sombong.
Dia harus pergi.
Dia tahu itu jebakan. Dia tahu dia tidak boleh pergi.
Tapi dia juga seorang Gembala. Dan seorang Gembala tidak bisa, tidak akan pernah bisa, membiarkan dombanya diseret ke pembantaian saat dia tahu persis di mana dan kapan itu akan terjadi.
Samuel telah mengharapkan dia menganalisis Opsi 1, 2, dan 3. Samuel ingin dia merasa terjebak. Satu-satunya jalan keluar adalah melakukan apa yang Samuel pikir tidak akan berani dia lakukan: berhenti menjadi polisi, berhenti menjadi komandan, dan datang sendiri.
Hanya sebagai "Gembala".
Daniel mengambil kartu undangan itu. Tangannya tidak lagi gemetar. Tangannya kini dingin dan stabil.
Sialan kau, Sam, bisik Daniel pada ruangan kosong itu. Kau ingin aku datang? Kau ingin saksi?
Baik. Aku akan datang.
Dan aku akan membawakan neraka untukmu.