Di kehidupan sebelumnya, Nayla hidup dalam belenggu Adrian.
Tak ada kebebasan. Tak ada kebahagiaan.
Ia dipaksa menggugurkan kandungannya, lalu dipaksa mendonorkan ginjalnya kepada saudari kembarnya sendiri—Kayla.
Ia meninggal di atas meja operasi, bersimbah darah, dengan mata terbuka penuh penyesalan.
Namun takdir memberinya kesempatan kedua.
Di kehidupan ini, Nayla bersumpah: ia tidak akan jatuh di lubang yang sama.
Ia akan membuka topeng dua manusia berhati busuk—mantan kekasih dan saudari tercintanya.
Namun kali ini... apakah ia bisa menang?
Atau akan ada harga baru yang harus ia bayar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julie0813, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11: Godaan Kecantikan
"Kamu mau kabur lagi?" suara Adrian terdengar dingin dan tidak bersahabat, tapi jika didengar lebih dalam, ada nada lelah dan rapuh yang nyaris tak terdeteksi.
Nayla sedikit terkejut. Selama ini dia selalu mengira Adrian adalah tipe pria yang kuat dan tak tergoyahkan. Tapi perubahan dirinya di kehidupan kali ini tampaknya juga mempengaruhi pria itu.
"Enggak, aku cuma bosan aja. Setiap hari aku gak ngapa-ngapain, kita juga kayak gak punya topik yang sama. Aku juga pengin bisa ngobrol santai dan cerita hal-hal seru sama kamu. Apa itu salah?" Nayla melembutkan suaranya. Sepertinya dia mulai menemukan cara yang benar untuk berinteraksi dengan Adrian.
Adrian tidak langsung menjawab. Namun, pelukannya sedikit mengendur. Kepalanya perlahan menyentuh lekuk leher Nayla, sebuah gerakan kecil yang nyaris tak terasa... kalau tidak diperhatikan, pasti takkan menyadarinya.
Dalam keheningan malam, indra penciuman dan pendengaran menjadi lebih peka. Aroma laut dalam yang khas membalut seluruh tubuh Nayla—jika dia tidak salah menebak, itu adalah parfum edisi terbatas terbaru dari AURUM MARIS. Aroma atasnya seperti angin laut yang menyegarkan dengan sentuhan mint hijau dan garam laut. Aroma akhirnya, campuran sandalwood dan ambergris, meninggalkan jejak hangat namun berbahaya... seperti jejak dalam pelukan laut dalam. Kini, bahkan dirinya pun terbawa dalam aroma itu—aroma yang bisa langsung tertanam dalam ingatan.
Nayla melamun, pikirannya melayang ke mana-mana. Tak bisa tidur.
Waktu berlalu perlahan. Tepat saat Nayla berpikir Adrian takkan menjawab dan mungkin sudah tertidur, suara berat dan dalam milik pria itu terdengar di telinganya.
"Harus banget pergi? Kalau bosan, jadi sekretarisku aja."
Mungkin karena suasananya yang remang dan sunyi, karena tak bisa melihat wajah Adrian—hanya mendengar suaranya yang rendah dan serak—rasa takut Nayla pada pria itu tiba-tiba menghilang.
"Adrian, aku masih muda. Aku butuh belajar. Aku nggak mau suatu saat nanti orang-orang ngomongin aku, bilang aku gak pantas jadi istrimu. Biar aku lulus kuliah dulu, baru jadi sekretarismu, ya?"
Sepanjang waktu mereka bersama, Nayla selalu memanggilnya "Tuan Adrian" seperti para pelayan. Tapi kali ini, nama “Adrian” meluncur begitu saja dari mulutnya—dan entah kenapa, sama sekali tidak terdengar janggal.
Nayla tahu apa yang harus dilakukan ketika dia tidak dikuasai rasa takut. Dia cukup pintar untuk tahu, saat seperti inilah… Adrian paling mudah luluh.
"Siapa yang berani bilang kamu nggak pantas?" Adrian tetap tak mau mengalah begitu saja.
"Boleh ya?" Nayla merajuk manja.
"Kamu harus langsung pulang begitu sekolah selesai. Aku yang jemput. Jangan pikir bisa kabur, dan jangan coba-coba lirik cowok lain! Aku bakal suruh orang untuk awasi kamu. Jangan macam-macam, kalau enggak…"
Belum sempat Adrian menyelesaikan kalimatnya, Nayla yang bahagia langsung memotong.
Dia tahu, bisa mendapatkan persetujuan dari Adrian yang posesif seperti ini sudah sangat luar biasa. Soal bodyguard yang katanya akan memantau dia?
Yah… semuanya tetap butuh bukti kan? Selama mereka tidak muncul atau mengganggu hidupnya, tidak masalah.
"Iya iya, aku nggak akan kabur, aku janji, sumpah!" kata Nayla penuh kesungguhan.
Dia membalikkan badan, memandang Adrian dengan senyum manis di wajahnya. Cahaya bintang yang menerobos dari celah tirai jatuh di matanya—berkilau seolah menyimpan seluruh langit malam.
Adrian menutupi mata Nayla dengan telapak tangannya, suaranya rendah dan tegas, "Jangan gerak-gerak. Tidur!"
Dia berganti posisi, mencari yang paling nyaman, lalu memeluk Nayla seperti memeluk bantal peluk. Dalam pelukannya yang hangat, ia perlahan terlelap.
—
Pagi harinya, Nayla membuka mata. Sebuah wajah tampan muncul tepat di hadapannya, jarak terlalu dekat, membuatnya kaget sekaligus…terpesona.
“Wah, ganteng banget sih ini…” Nayla bergumam dalam hati, nyaris tak bisa berpaling.
"Kelihatan menarik?" suara pria itu tiba-tiba terdengar, matanya terbuka dan menatap Nayla dengan sorot mata menggoda.
Nayla langsung panik karena ketahuan sedang memperhatikannya. “Bangun, ayo bangun!” serunya malu-malu, pipinya memerah seperti kelopak bunga di pagi hari—seorang gadis manis penuh semangat.
Saat Nayla sedang menyikat gigi, tiba-tiba sepasang lengan kekar merangkul dari belakang. Aroma dingin laut dalam kembali menguar dan menusuk hidungnya, mengingatkannya akan malam tadi.
"Kasih aku odol," suara berat dan agak serak milik Adrian terdengar di telinganya.
Dari pantulan cermin, Nayla melihat bayangan mereka—pria tinggi yang memeluk erat perempuan mungil dari belakang, keduanya memakai baju tidur couple, dibalut cahaya pagi yang lembut. Semuanya terlihat begitu… manis dan romantis.
Setelah selesai bersiap-siap, wajah Nayla masih memerah. Ketika pikirannya mulai jernih, ia diam-diam mencela dirinya sendiri.
“Nayla, jangan lupa bagaimana Adrian menyakitimu di kehidupan sebelumnya! Di balik wajah tampannya, ada hati iblis yang kejam! Jangan tertipu oleh penampilannya! Jangan ulangi kesalahan yang sama!”
Ia mengingatkan dirinya sendiri dalam hati, lalu menepuk pipinya dengan keras—berusaha menyadarkan dirinya agar tak jatuh ke dalam jebakan yang sama lagi.