NovelToon NovelToon
Dilema Raisa

Dilema Raisa

Status: sedang berlangsung
Genre:Ibu Mertua Kejam / Pihak Ketiga / Keluarga / Chicklit / Konflik etika
Popularitas:6k
Nilai: 5
Nama Author: ayuwine

Raisa, gadis malang yang menikah ke dalam keluarga patriarki. Dicintai suami, namun dibenci mertua dan ipar. Mampukah ia bertahan dalam badai rumah tangga yang tak pernah reda?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayuwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

30

Tak terasa, kandungan Raisa sudah menginjak usia tujuh bulan. Kini, mereka tengah sibuk menyiapkan acara syukuran.

Namun, hanya keluarga Raisa yang sibuk. Dari pihak Iwan, tak satu pun yang peduli.

Sari, yang biasanya selalu membela Raisa dan menjadi garda terdepan untuknya, kini telah pergi. Ia dibawa oleh suaminya ke negeri orang.

Hal itu membuat Raisa sangat sedih. Tapi, ia tak mampu mengubah keadaan menjadi lebih baik, sekuat apa pun usahanya.

"Kenapa kamu melamun?" tanya Iwan, entah sejak kapan sudah berdiri di belakangnya. "Bukankah ini acara tujuh bulanan anak kita? Harusnya kamu senang," sambungnya lagi, dengan tangan memeluk Raisa dari belakang.

"Aku rindu Teh Sari," lirihnya pelan, tanpa menanggapi pelukan sang suami.

Ya, sejak kejadian itu, rasa sayang Raisa terhadap Iwan mulai melemah. Ia terpaksa memperbaiki semuanya demi anak yang sedang ia kandung.

“Nanti kita video call saja, ya, sama Teteh,” bujuk Iwan, berusaha menenangkan Raisa. Ia tak ingin melihat istrinya terus-menerus murung.

Raisa hanya mengangguk pelan. Ia tak ingin berlama-lama mengobrol dengan suaminya.

“Aku haus. Aku ambil minum dulu,” ucapnya pelan, sambil berusaha melepaskan pelukan Iwan dari tubuhnya.

Melihat perubahan drastis pada istrinya, Iwan tertegun. Ada ketakutan yang perlahan menyusup ke dalam hatinya takut jika Raisa benar-benar sudah lelah padanya.

Iwan mulai menyadari, selama ini dirinya terlalu egois. Ia terlalu percaya pada semua perkataan ibunya sendiri, yang jelas-jelas tidak pernah menyukai Raisa sejak awal.

Acara pun dimulai. Dari prosesi penyiraman hingga lainnya, semuanya berjalan lancar. Iwan begitu bahagia saat melihat istrinya tampil cantik malam itu.

Senyum yang selama ini ia rindukan akhirnya bisa ia lihat kembali. Canda dan keceriaan Raisa seolah mengisi suasana—meski ia tahu, semua itu bukan ditujukan untuk dirinya.

Setelah acara selesai, Iwan melihat Raisa sudah berganti pakaian dan kini duduk sambil bermain ponsel.

Iwan mendekatinya.

“Sayang...” panggilnya lembut, sambil duduk di kursi kosong di hadapan Raisa.

“Hmm...” jawab Raisa singkat, acuh, tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel.

Iwan benar-benar dibuat canggung oleh sikap istrinya sendiri. Tak ada lagi tatapan hangat, apalagi kasih sayang seperti dulu.

“Aku rindu kamu yang dulu...” bisiknya pelan, nyaris tak terdengar.

.

.

Malam pun tiba,semua orang masih sibuk membungkus bingkisan untuk di bagikan ke tetangga.

Termasuk raisa,ia lebih memilih ikut membantu daripada berdiam diri di kamar bersama iwan.

"Loh kok kesini? Istirahat saja sa,pasti kamu cape." ucap irah, saat melihat raisa berjalan tergopoh ke arah nya.

Raia tersenyum tipis. Perutnya yang sudah membesar membuatnya sedikit kesulitan untuk duduk maupun berdiri kembali.

"Aduh...aku jenuh bu,biarkan aku duduk di sini menemani ibu." rengek nya seperti anak kecil merayu ibu nya untuk minta jajan.

melihat itu,irah tersenyum gemas. Bukan hanya perut nya yang besar,tapi berat badan nya juga ikut naik. Sehingga raisa terlihat sangat gemuk,tapi terlihat manis.

"Bu..itu untuk siapa? Kok di pisah gitu." tanya raisa heran,saat melihat bingkisan sedikit besar di sudut ruangan.

Irah ikut menoleh,"oh itu untuk mertua mu,sengaja ibu pisahkan takut ke ambil." jawab nya dengan senyum yang tidak pernah luntur.

"Bu! Kenapa harus di kasih?" sela raisa,terlihat jelas raut wajah tidak suka . "gapapa nak,itukan mertua mu,besan ibu."jawab irah,mencoba memberi pengertian.

"Udah lah bu,jangan di kasih. Kasih aja ke tetangga kita."balas nya dengan kesal. Tanpa mendengarkan sang ibu,raisa lekas bangkit.

Ia berjalan ke arah sudut ruangan,diamana bingkisan itu berada. Ia mengambil nya dan berjalan begitu saja melewati sang ibu.

"Loh... Sa, mau dibawa ke mana?" teriaknya heran sekaligus panik. Irah melirik sekilas ke arah jam dinding, terlihat sudah pukul delapan malam.

"Aduh, sudah malam. Ibu hamil gak boleh keluar malam hari!" gumamnya panik. Irah masih percaya pada kepercayaan lama bahwa ibu hamil tidak boleh keluar malam karena dianggap pamali.

Irah dengan cepat mengejar raisa dengan sedikit kesusahan. Usia yang tak lagi muda membuat nya sulit untuk berlari.

"Loh..bu, mau kemana?" tanya roni yang heran saat melihat istrinya berjalan tergopoh-gopoh.

"Itu pak,putri mu. Dia lari keluar sambil membawa bingkisan!" jelas irah sedikit terburu -buru.

"Roni mengernyitkan dahinya. Ia menatap heran. 'Loh, kok bisa? Mau ke mana dia?' tanyanya lagi, wajahnya terlihat penuh penasaran."

"Aduh bapak ini! Nanti sajalah lebih baik kejar tuh raisa,pamali pak. Ibu hamil kelayapan malam hari!" jawab nya kesal. Dengan terburu-buru roni dan irah bersama-sama mengejar raisa yang hampir saja keluar dari rumah.

Beruntung saat ingin membuka pintu,irah dan roni sudah sampai terlebih dahulu di sana.

"Jangan keluar malam nak,pamali." ucap roni,mencoba memperingati putri nya,yang hampir saja melangkah keluar.

Raisa menoleh,"Aduh pak,cuman kedepan aja kok. Mau ngasih ini buat bi asih!" ujar nya dengan memperlihatkan bingkisan yang ia pegang.

Roni dan Irah saling berpandangan. "Asih?" mereka bahkan kompak menyebut nama itu.

Raisa mengangguk yakin. Asih adalah perempuan paruh baya yang hidup sebatang kara. Raisa sering bermain ke rumahnya untuk memberikan uang dan makanan.

"Tapi, Sa, Bapak sudah kirim kok. Bahkan lebih banyak dari yang lainnya," jawabnya bingung. Roni beranggapan bahwa putrinya mengira keluarganya tidak ingat pada Bi Asih.

"Tenang saja, Bapak tidak akan lupa pada Bi Asih," sambungnya, berusaha meyakinkan.

"Aku tahu kok, Pak!" sela Raisa. "Bahkan aku tahu ini adalah bagian untuk mertuaku," sambungnya sambil mengangkat bingkisan ke udara.

Irah, yang memang sudah tahu sejak awal, melangkah mendekati putrinya. "Jangan begitu, Sayang. Kamu sedang mengandung. Jangan pernah mengotori hatimu sendiri," lirihnya pelan, sambil memeluk bahu sang putri.

Mendengar nasihat sang ibu,raisa mulai tersadar. Semenjak hamil,memang ia terlalu sensitif terhadap apapun.

"Tapi bu...kenapa harus ingat mereka sih? Lihat menantu nya mengadakan syukuran untuk cucu nya saja,mereka tidak datang bu!" jawab nya kesal,sedikit mengeluarkan unek-unek yang dari tadi ia pendam.

"Tapi, Sayang—"

Belum sempat Irah menyelesaikan kalimatnya, Raisa langsung menyela.

"Sudah, ah! Ibu terlalu baik. Memaklumi hal-hal yang sebenarnya tidak perlu dimaklumi!" rengeknya kesal.

Sebelum kembali masuk ke kamarnya, ia menyimpan kembali bingkisan yang sedari tadi dibawanya.

Pluk!

"Astaga, Raisa!" seru Irah kaget saat melihat Raisa melemparkan bingkisan berisi nasi dan lauk-pauk itu dengan sedikit kasar.

Saat irah ingin kembali mengejar putri nya,roni dengan cekatan menarik tangan sang istri.

"Sudah, Bu. Biarkan saja dulu," cegahnya dengan lembut.

"Tapi, Pak—"

Melihat Irah hendak membantah, Roni menggeleng pelan sambil menatapnya penuh harap.

Melihat itu, Irah menghela napas panjang, lalu mengangguk pasrah.

"Anak kita, Pak... sepertinya dia sudah lelah dengan mertuanya," bisiknya pelan. Wajahnya tampak sedih.

"Jelas lelah, Bu. Menantu mana yang bisa tahan dengan sikap mereka? Bapak juga sangat kecewa dengan Iwan. Dia tidak bisa jadi penengah!" balas Roni. Ia pun tampak sangat sedih, sedikit mengungkapkan ketidaksukaannya pada menantu mereka itu.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!