"Loh, Mas, kok ada pemberitahuan dana keluar dari rekening aku tadi siang? Kamu ambil lagi, ya, Mas?!"
"Iya, Mai, tadi Panji WA, katanya butuh uang, ada keperluan mendadak. Bulan depan juga dikembalikan. Maaf, Mas belum sempat ngomong ke kamu. Tadi Mas sibuk banget di kantor."
"Tapi, Mas, bukannya yang dua juta belum dikembalikan?"
Raut wajah Pandu masih terlihat sama bahkan begitu tenang, meski sang istri, Maira, mulai meradang oleh sifatnya yang seolah selalu ada padahal masih membutuhkan sokongan dana darinya. Apa yang Pandu lakukan tentu bukan tanpa sebab. Ya, nyatanya memiliki istri selain Maira merupakan ujian berat bagi Pandu. Istri yang ia nikahi secara diam-diam tersebut mampu membuat Pandu kelimpungan terutama dalam segi finansial. Hal tersebut membuat Pandu terpaksa harus memutar otak, mencari cara agar semua tercukupi, bahkan ia terpaksa harus membohongi Maira agar pernikahan ke duanya tidak terendus oleh Maira dan membuat Maira, istri tercintanya sakit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
FAKTA BARU
Apa yang Panji katakan pagi tadi, nyatanya mampu membuatku diliputi rasa tak tenang bahkan hingga malam menjelang.
Malam ini aku menginap di rumah Bude, karena semua perabot sudah di pindahkan, rumah sudah dalam keadaan kosong, tanpa kasur atau pun sofa. Rumah Bude memang lebih besar dibandingkan rumah kami, ada gudang di bagian belakang yang mampu menampung isi perabot kami yang tak seberapa. Ya, dulu Pak De adalah mandor di pabrik tempat ayah dan bude bekerja. Sehingga kehidupannya lumayan tercukupi.
Pak De memang sudah pergi menghadap Illahi, tapi meninggalkan deposito yang cukup besar untuk Bude, sehingga meski janda, Bude tak mengalami kekurangan.
Sejak adzan isya berkumandang aku termenung di depan TV. Rumah ini tak sehening rumah kami yang tidak ada anak-anak di dalamnya. Namun, nyatanya rumah yang ramai oleh cuitan Zahra tak mampu membuat gundah yang ada di dalam hatiku mereda.
"Mai, ayo tidur. Udah malem." Bude berseru setelah menutup jendela sekaligus mengunci pintu. Sedangkan aku masih duduk tercenung di sofa bersama Zahra yang tak sengaja terlelap di pangkuan setelah melihat acara cartoon kegemaran.
"Oh, iya, Bude. Aku aja yang bawa Zahra." Segera
kuangkat tubuh mungil nan menggemaskan itu ke kamar Bude.
Bude hanya tinggal bersama Zahra seorang. Kamar di rumah ini ada beberapa. Akan tetapi, kami memilih untuk tidur bertiga saja.
Kuletakkan tubuh kecil itu perlahan, lalu menarik selimut menutupinya. Setelahnya, aku berbaring di sebelah kanan dan bude di sebelah kiri Zahra.
"Nduk, kamu itu kenapa to? Dari tadi bude perhatikan ngelamun terus? Ada masalah sama suamimu?" tanya Bude begitu kami sama-sama merebahkan badan.
"Masak, sih, Bude? Maira nggak papa tuh, perasaan Bude aja kali," jawabku menutupi. Kurasa Bude sudah banyak masalah, beban hidupnya sudah berat. Menjadi orang tua tunggal di usia yang tak lagi muda tentu menguras tenaga dan pikiran. Jadi, tak perlu menambah beban pikirannya dengan masalah yang kurasa bisa kuselesaikan sendiri.
"Nduk ... Nduk. Meskipun bude ini bukan ibumu. Tapi kamu itu sudah bude anggap seperti anak sendiri. Bude tau pasti saat kamu ada masalah, saat kamu sedang mikir, bahkan saat kamu lagi bahagia Bude pun tau, Nduk." Ia berucap dengan nada khas Jawa Timur yang medok. Ya, Bude dan ayah berasal dari Madiun kemudian merantau ke Jakarta, bekerja sebagai buruh pabrik untuk merubah nasib.
"Bude bisa aja. Cuma kangen ibu sama ayah aja kok. Sebentar lagi rumah direnovasi dan mereka nggak bisa lihat. Kan, Maira jadi ngerasa sedih Bude."
Ia menghela napas. "Oalah, Nduk... ikhlaskan saja kepergian ibu dan ayahmu. Seperti ibu mengikhlaskan Mbakmu, Mia," ucapnya menatap langit-langit kamar seolah sedang membayangkan masa lalu.
Seketika dadaku berdetak. Demi menutupi masalahku, aku justru membuat Bude teringat akan anak semata wayangnya yang sudah tiada, bahkan di usia yang masih sangat muda.
Aku memiringkan tubuh ke arah Bude, kuraih tangan bude yang saling bertautan di atas selimut. "Ada Maira dan Zahra, kan, Bude. InsaAllah... Mbak Mia udah seneng di sana," ucapku menenangkan. Aku sangat mengerti, apa yang Bude rasakan saat ini. Patah hati yang paling dalam bagi orang tua adalah melihat anaknya berpulang terlebih dahulu.
"Zahra berhak bahagia, Mai setiap Bude melihat Zahra, rasanya banyak sekali goresan luka. Ayahnya bahkan tak pernah bertanya kabar. Bagaimana Bude ndak nelangsa, Mai? Bude sudah tua." Kali ini airmatanya mulia berjatuhan. Jemariku pun segera menghapusnya. Bisa kurasakan kepedihan itu begitu dalam mengoyak batin wanita bermata teduh itu. Di saat ia membutuhkan sandaran justru beban pikiran yang ia terima. Hati siapa yang tak akan terluka mempunyai menantu yang seolah lupa akan tanggung jawabnya.
"Ada Maira dan Mas Pandu yang siap kapan saja menemani Zahra, Bude jangan mikir macem-macem, dong."
"Tapi nanti kamu akan punya anak sendiri. Mana mungkin...."
"Mau punya anak sendiri atau enggak, Zahra tetap keluarga Maira. Darah kita sama, Bude," sergahku memotong kalimat yang sudah aku tau ke mana arahnya.
"Janji sama Bude, Mai. Jangan biarkan Zahra
kekurangan kasih sayang saat Bude sudah ndak ada nanti." Segera kuletakkan jari telunjukku ke bibir pucat tanpa polesan itu. Menghentikan kalimat yang terdengar menyayat kalbu. Kalimat haru yang seolah kepergiannya hanya menunggu waktu. Bukankah Bude masih terlihat bugar dan segar lalu kenapa harus berkata demikian?
"Ngomong apa Bude, lagian mana mungkin sih kayak gitu. Bude tau sendiri, Mas Pandu juga sangat menyayangi Zahra."
"Tapi, Pandu nggak mau menjadikan Zahra anaknya, kalau saja ada sedikit keinginan itu dari Pandu. Mungkin Bude akan lebih tenang."
"Bude, Mas Pandu bukannya nggak mau, dia hanya mau kami punya anak dulu," bujukku pada Bude yang terlihat patah hati.
Drrrt... drrrt.
Derit ponsel yang aku letakkan di atas nakas, membuat percakapanku dan Bude harus terhenti. Kuambil gawai dan kulihat siapa yang menghubungi.
Mas Pandu.
"Bude, Mas Pandu telepon, boleh Maira angkat dulu?" ujarku meminta ijin.
"Kenapa musti tanya Bude," jawabnya seraya mengusap air mata di pipi.
"Kan, Bude segalanya," hiburku pada wanita pengganti ibu. Ia tersenyum remeh. Dia tahu aku sedang menggodanya.
Gegas aku keluar kamar menuju teras.
"Halo, Mas, Assalamualaikum," ucapku seraya mendudukkan diri di kursi teras.
"Waalaikumsalam, Sayang."
Aku tersenyum kecut, mendengar suara Mas Pandu, ingatanku pada kata-kata Panji kembali merasuk ke dalam pikiran. Nyatanya lelaki yang terus mengeluarkan kata manis padaku itu bermain di belakangku. Membohongiku dengan begitu tega.
"Lagi ngapain? Belum tidur?" tanyanya dari seberang sana.
"Tadi mau tidur."
"Pasti nggak bisa tidur karena kangen Mas, ya?"
"Ngaco, kamu kali yang kangen, makanya telepon."
"Kok, tau? Oh, ya, Mai. Mungkin pekerja baru akan mulai bongkar rumah lusa. Nggak jadi besok."
"Oh, iya, nggak papa."
"Ini bajumu buat besok." Terdengar suara seorang wanita yang tak begitu asing dari seberang sana. Diikuti gelak tawa beberapa lelaki dan wanita yang akhirnya menghilang tiba-tiba.
"Siapa, Mas? Kok, kayak kenal?!" tanyaku langsung.
"Oh, bukan siapa-siapa. Sekretaris bos aja ngasih seragam buat besok ketemu klien."
Hening. Ingin sekali percaya, tapi, hatiku mengatakan sebaliknya.
"Sayang, kamu masih di sana, kan?" Mas Pandu kembali bersuara, setelah beberapa saat kami saling terdiam.
"Iya, Mas," jawabku malas.
"Kenapa?"
"Enggak."
"Kamu nggak percaya kalau tadi itu sekretaris atasan Mas? Atau kamu mau ngomong."
"Wina, bisa ke sini, istri aku mau ngomong, nih. Dikira aku selingkuh," teriaknya membuatku terbelalak.
"Mas, enggak gitu, Mas." Aku berujar seraya memegang pipi yang menghangat, malu.
"Udah, mending kamu ngomong. Mas nggak mau kamu curiga."
"Nggak usah, Mas, nggak usah, aku ...."
"Halo, Mbak Maira, ada yang bisa dibantu?" Suara wanita terdengar menyapa bahkan sebelum aku menyelesaikan kalimatku. Mas Pandu benar-benar menyuruh temannya untuk berbicara, rasa malu pun semakin menjadi. Demi apa coba, Mas Pandu melakukan ini?
"Iya, maaf, mengganggu. Nggak ada, Mbak."
"Oh, Mbak Maira nggak usah khawatir sama Pak Pandu. Dia sangat setia, kok," ujarnya lalu tertawa kecil.
Dahiku mengerut, mendengar suara yang terdengar
berbeda dengan suara yang kudengar sebelumnya yaitu suara wanita yang kata Mas Pandu memberikan seragam padanya. Suara Wina ini terdengar masih sangat muda, sedangkan tadi?
Wina terus membahas Mas Pandu di seberang sana, sedangkan aku tak begitu fokus mendengar, pikiranku ke mana-mana, terus mencoba mengingat-ingat suara yang tak asing dan berbeda dengan suara Wina itu. Suara yang terdengar begitu mirip dengan dengan suara ibu mertua yang jelas sudah tak lagi muda. Ya, ibu mertuaku. Apakah pikiranku yang sedang tak enak dengan Mas Pandu perkara transfer saja atau memang benar itu Ibu?
***
Obrolan bersama Mas Pandu berakhir hingga tengah malam. Entah mengapa semakin ke sini sikap Mas Pandu justru seperti anak ABG yang sedang dimabuk cinta padaku.
Ditengah sikap Mas Pandu yang kurasa sedikit berlebihan itu, pikiranku justru seolah menolak untuk berhenti berpikir bahwa yang kudengar bukan suara ibu meski tak ada yang mencurigakan dari Mas Pandu dana Wina. Semua prasangka itu membuatku bahkan hampir telat masuk kantor pagi ini karena tak bisa tidur semalaman.
Setelah meminta kopi pada office girl aku pun segera menyalakan komputer dan mengerjakan laporan yang sudah menumpuk.
Ting.
Beberapa pesan masuk di beranda saat aku fokus pada layar komputer.
[Mbak, apa yang Mbak minta kemarin udah aku kirim ke kantor Mbak melalui kurir. Maaf nggak bisa nganter sendiri karena hari ini aku balik ke Jogja.]
[Di sana ada banyak transaksi tapi demi Allah Panji nggak tahu apa-apa, bahkan Panji nggak ambil sepeserpun karena memang ATM aku tinggal]
[Tadi aku mau hubungi ibu atau mas Pandu, untuk menanyakan hal itu. Tapi karena Mbak minta nggak boleh ada yang tahu jadi aku juga nggak bisa minta penjelasan ke siapa-siapa sebelum minta ijin sama Mbak.]
[Gimana, Mbak?]
Rentetan pesan dari Panji kubaca satu per satu dengan dada yang semakin kubaca semakin terasa sesak. Wajahku pun memanas. Amarahku memuncak. Permainan Mas Pandu semakin terlihat nyata dan rasanya aku sudah tak sabar melihat bukti mutasi rekening yang Panji berikan.
[Nggak perlu, Dek. Sepertinya itu hanya salah transfer aja. Makasih atas bantuannya. Kamu nggak perlu kasih tau siapa-siapa. Biar ini menjadi urusan Mbak.] Balasku pada Panji. Setidaknya, Panji sudah sangat membantu, tak perlu aku memberinya beban lebih berat dengan mengatakan bahwa kakaknya membohongiku selama ini. Selain harga diri yang harus kujunjung tinggi sebagai seorang istri yang seharusnya dihargai, menutupi aib keluarga sudah menjadi tanggung jawabku. Setidaknya sampai Mas Pandu menjelaskan dan berkata jujur padaku, baru lah akan kupikirkan langkah apa yang harus aku ambil selanjutnya.
"Mbak Maira, ada paket." Pak Dedi, office boy di
gedung kami datang padaku seraya meletakkan sebuah amplop coklat di meja kerjaku.
Aku pun segera menerimanya. Aku yakin itu adalah bukti mutasi rekening yang dikirim oleh Panji.
Ya, aku meminta Panji untuk mencetak transaksi yang terjadi di rekening yang sudah tak terpakai itu dengan alasan bahwa aku pernah beberapa kali salah mengirimkan sejumlah uang ke nomor tersebut tanpa sepengetahuan Mas Pandu beberapa bulan terakhir dan aku juga terang-terangan mengatakan bahwa Mas Pandu sering mengirimkan uang ke nomor tersebut.
Awalanya ia menolak dengan alasan takut pada Mas Pandu. Namun, aku terus meyakinkan bahwa tidak akan terjadi apa-apa.
Penolakan Panji yang terus ia lakukan terpaksa kusambut dengan segala tuduhan, termasuk mengatakan bahwa jika dia tak melakukan permintaanku berarti dia ikut menikmati uang itu. Tuduhanku pun akhirnya membuat Panji terdiam dan ia pun bersedia melakukan permintaanku. Ia tak mau nama baiknya hancur, mungkin.
Aku tahu, hati Panji lurus maka bukan hal sulit untuk memanfaatkan kejujuran Panji.
"Makasih, Pak," ucapku tersenyum ramah, lalu pria paruh baya itu segera pamit undur diri.
Gegas aku membuka map berwarna coklat tersebut.
Kubaca lembar demi lembar dan semakin kubaca darahku ini rasanya semakin mendidih, transaksi masuk begitu banyak dari rekening Mas Pandu, bahkan lebih dari yang aku ketahui, nominalnya pun jauh dari yang aku perhitungkan selama ini, dan yang membuat aku terperangah adalah setiap dana masuk langsung dikeluarkan kembali ke nomor rekening lain atas nama Miranti Sanjaya.
Miranti Sanjaya?
Aku berpikir lama, mengingat-ingat nama Miranti Sanjaya, nama itu tak asing bagiku, tapi aku benar-benar lupa di mana aku pernah mendengar nama tersebut.
Kenyataan ini benar-benar membuat sekujur tubuhku seolah terbakar oleh api amarah.
"Doorrr!" Suara mengejutkan dari arah belakang diikuti tepukan singkat sedikit keras di pundak membuatku terlonjak kaget. Seketika pikiranku akan nama Miranti Sanjaya itu buyar. Sejenak aku pun berbalik ke arah belakang.
Dengan cepat aku menyembunyikan amarah yang kini menguasai, setelah melihat siapa yang datang.
"Ya Allah, Arin?!" ucapku lembut begitu melihat wanita yang ada di hadapanku. Arin adalah sahabat sekaligus anak dari pemilik perusahaan garment tempatku bekerja saat ini.
Setelah hampir satu tahun kami tak berjumpa, rasa rindu tentu ada. Ya, pasalnya satu tahun yang lalu, Arin dipindah ke cabang yang ada di kota bersama Viona. Ia diberi kepercayaan oleh sang ayah mengelola cabang baru dan menduduki posisi sebagai kepala cabang di sana. Hebat.
Tangan Arin terbuka lebar, gegas aku bangkit lalu
memeluknya, erat. "Apa kabar, Arin?" tanyaku setelah mengurai pelukan Arin.
"Baik, kamu sendiri gimana? Tambah langsing dan cantik aja, sih? Padahal udah laku," godanya setiap kali bertemu denganku.
"Ish, Arin. Kamu aja yang suka pilih-pilih."
"Lagi nunggu orang, Mbak, bukan milih-milih."
"Alesan. Anak pemilik perusahaan besar, cantik, terpelajar. Masih aja nunggu yang nggak jelas," ejekku karena memang sejak dari dulu hingga sekarang, Arin selalu mengatakan bahwa ia sedang menunggu seorang pria yang sedang mengejar pendidikan S2. Namun, hingga kini tak pernah sekali saja ia memperkenalkan atau menggandengnya meski hanya sekali saja bahkan saat acara keluarga besar pun tak pernah terlihat Arin bersama lelaki tersebut.
Jangankan lelaki itu, lelaki lain pun tak pernah terlihat bersama Arin. Arin, sungguh beruntung sekali lelaki itu, dicintai begitu dalam oleh seorang Arina Adi Sasongko. Wanita yang rela mengorbankan masa mudanya hanya untuk satu orang lelaki, yang tak pernah memperlihatkan diri. Kisah cintanya seperti drama romantis yang sering aku lihat di layar televisi. Sangat romantis.
"Jangan sembarangan, aku rela nunggu bertahun-tahun kayak gini juga kan lihat-lihat yang ditunggu siapa. Udah ganteng, mapan, pinter lagi," ujarnya seraya tersenyum, wajahnya menengadah ke atas seolah sedang membayangkan sosok lelaki yang bahkan batang hidungnya pun tak pernah diperlihatkan kepada kami para sahabatnya sejak jaman SMA hingga kami sudah berumah tangga.
"Paling juga gantengan suamiku, Mas Pandu," godaku, dan seperti biasa, ia langsung menatapku seraya menautkan kedua alisnya diikuti dengan bibir yang dimajukan ke depan. Ia selalu tak terima setiap aku membandingkan lelaki itu dengan Mas Pandu.
"Jauh kali!" pungkasnya membuang muka.
"Jauh dari mananya. Mas Pandu jelas ada, nah, kamu?
Bayangannya aja nggak pernah tampak." Lagi, aku menggoda Arin. Entah mengapa menggoda Arin membuatku terhibur, mungkin karena dia tak pernah marah.
"Ye... lihat aja, sebentar lagi juga kamu bakalan mati berdiri kalau lihat orangnya. Lagian aku sembunyikan, tu, biar kalian nggak ngiler. Biar kalian semua tu pada nikah dulu, biar aman. Saingan terbesar itu teman sendiri tau, " ujarnya membela diri.
"Astaga jelek banget pikirannya."
"Iya, dong, lebih baik waspada daripada menyesal," ucapnya penuh percaya diri lalu detik selanjutnya tawa kami pun pecah dan aku kembali memeluknya.
Aku bekerja di perusahaan Garmen milik orang tua Arin setelah aku lulus sarjana. Aku ditempatkan di bagian design, sesuai latar belakang pendidikan S1-ku. Tak bisa dipungkiri, adanya aku di sini sedikit banyak juga karena ada campur tangan Arin sebagai anak pemilik perusahaan. Aku banyak berhutang budi padanya sehingga berpisah selama satu tahun ini rasanya hatiku begitu rindu pada gadis cantik berpenampilan modis tersebut.
"Eh, apa ini, Mai? Mutasi rekeningnya siapa?"
Pandangan Arin tiba-tiba beralih pada meja yang di atasnya masih tergeletak lembaran-lembaran kertas dari Panji, lalu dengan cekatan ia mengambilnya satu lembar.
Dengan cepat pula aku meraihnya kembali dari tangan Arin. "Bukan apa-apa, Rin. Cuma ada transaksi yang kelupaan aja," ucapku mencoba menutupi.
"Kok, banyak banget? Bohong, ya?"
"Udah lama soalnya."
Kurapikan dan kumasukkan kembali kertas-kertas mutasi rekening tersebut ke dalam map lalu kumasukkan dalam tas agar aman dan tidak ada yang melihatnya. Sedangkan Arin masih terlihat curiga dengan menatap setiap gerakan tanganku.
"Eh, iya, Rin. Viona apa kabar?" tanyaku mengalihkan pembicaraan agar Arin tak mengejarku dengan berbagai pertanyaan yang bisa saja membuatku sulit untuk menjawabnya. Ini masalah rumah tanggaku, akan lebih baik jika tak ada yang tahu.
"Viona? Viona udah nggak di garmen lagi. Pindah dia."