Dulu, Kodasih adalah perempuan cantik yang hidup dalam kemewahan dan cinta. Namun segalanya telah lenyap. Kekasih meninggal, wajahnya hancur, dan seluruh harta peninggalan diambil alih oleh negara.
Dengan iklas hati Kodasih menerima kenyataan dan terus berusaha menjadi orang baik..
Namun waktu terus berjalan. Zaman berubah, dan orang orang yang dulu mengasihinya, setia menemani dalam suka dan duka, telah pergi.
Kini ia hidup dalam bayang bayang penderitaan, yang dipenuhi kenangan masa silam.
Kodasih menua dan terlupakan..
Sampai suatu malam...
“Mbah Ranti... aku akan ke rumah Mbah Ranti...” bisik lirih Kodasih dengan bibir gemetar..
Mbah Ranti adalah dukun tua dari masa silam, penjaga ilmu hitam yang mampu membangkitkan apa pun yang telah hilang: kecantikan, harta, cinta... bahkan kehidupan abadi.
Namun setiap keajaiban menuntut tumbal..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 35.
Sementara itu, di rumah kecil , Arjo, Bowo, Sarinah, dan Damar masih sibuk menolong pemuda korban yang selamat. Namun tiba-tiba… semua lilin padam secara bersamaan.
Bowo terlonjak. “Kenapa padam?!”
Damar mengambil korek, namun api koreknya mati sebelum menyala penuh.
Arjo merinding.
“Wes kelakon…”
(Sudah terjadi…)
“Ratu Peteng wis ngerti kito.”
(Ratu Gelap sudah tahu kita.)
Kediaman itu menjadi dingin. Lebih dingin dari udara malam biasa. Mau tidur pun rasanya mustahil; jantung mereka berdetak tidak beraturan.
Sarinah menoleh ke jendela.
Pandangannya membeku.
“Pak Arjo… ana sing ngadeg neng njaba…”
(Pak Arjo… ada yang berdiri di luar…)
Arjo melangkah perlahan mendekat, mengintip lewat celah papan. Dan...... apa yang ia lihat hampir membuat lututnya lemas:
Lima belas Watu Peteng berdiri diam di halaman. Mereka semua menghadap rumah kecil itu . Mata putih mereka memantulkan rembulan. Dan di barisan paling depan... Suryo .
Dengan tubuh tegap. Mata putih hampa. Dan bayangan hitam menjulur panjang seperti akar hitam yang ingin naik ke rumah.
Suryo berbisik, tapi bisikannya terdengar jelas seperti berada di dalam telinga Arjo:
“…Ratu nyuwun darahmu…”
(Ratu meminta darahmu…)
Arjo mundur, wajahnya pucat. Damar meraih keris kecil ber mantra. Bowo mengambil kayu besar. Sarinah memegang garam erat erat. Tak ada pilihan lagi. Mereka tak bisa lari. Tak bisa sembunyi. Mereka harus melawan. Sekarang....
Suara malam yang biasanya hanya berisi jangkrik kini terasa seperti ditelan sesuatu. Keheningan berubah menjadi tekanan. Tekanan yang membuat dada mereka terasa sesak.
Damar berbisik, “Pak Arjo… yen dheweke mlebu… piye?” (Pak Arjo… kalau mereka masuk… bagaimana?)
Arjo tidak langsung menjawab. Ia menutup mata sebentar, menarik napas panjang, lalu berkata lirih:
“Watu Peteng ra iso dicegah karo cahya biasa…
Nanging iso dicegah karo cahya seng kedinginan.”
(Batu Gelap tidak bisa dicegah dengan cahaya biasa. Tapi bisa dicegah dengan cahaya yang kedinginan)
Damar bingung. Bowo makin pucat. Sarinah menitikkan keringat dingin. Tapi mereka tak punya lagi waktu bertanya. Mereka bertiga hanya mengikuti Arjo..
Sementara itu di luar rumah kecik itu. Suryo melangkah maju satu langkah. Gerakannya lambat… NAMUN seribu kali lebih mengerikan daripada langkah manusia biasa.
Bayangan di belakangnya memanjang… memantul mantul di tanah seperti air hitam yang sedang marah.
“Bukak…” bisik Suryo saat sudah berada di depan pintu
(Buka…)
Seketika itu juga, pintu rumah Arjo meledak ke dalam seperti diseret oleh tangan tak terlihat.
Sarinah menjerit. Bowo terjatuh ke belakang. Kain merah dan sebagian garam berceceran di lantai.
Lima belas Watu Peteng melangkah masuk perlahan… Tanpa suara… Mata mereka hanya putih… kosong… tapi memperhatikan.
Suryo mengangkat tangannya. Dari lantai muncul bayangan berbentuk akar, merayap menuju kaki mereka.
Arjo berteriak: “Saiki! Sebar no uyah e neng lantai!”
(Sekarang! Taburkan garam ke lantai!)
Sarinah memutar tubuh, menaburkan garam melingkar secepat mungkin.
Akar akar bayangan itu mengerang, suara ganjil yang terdengar seperti besi bergesekan dengan tulang.
Tapi itu hanya memperlambat… bukan menghentikan.
Ketika Suryo hampir mencapai lingkar garam, Arjo berdiri paling depan sambil menahan napas. Ia mengangkat kaca pangilon kecil yang sejak tadi ia simpan.
“Wong sing wis ilang… ojo ndelok aku… ning ndeloken awakmu dhewe.”
(Orang yang sudah hilang… jangan lihat aku… tapi lihat dirimu sendiri.)
Ia mengarahkan kaca pangilon itu ke wajah Suryo.
Bayangan Suryo bergetar… tubuhnya tersentak…
Mata putihnya berdenyut seperti ada dua makhluk berebut di dalamnya.
Namun… bukan hanya Suryo yang bereaksi. Semua Watu Peteng ikut tersentak. Kepala mereka bergerak patah patah seperti burung hantu yang dipaksa mengangguk angguk.
Damar melihat kesempatan itu. Ia menghunus keris kecil berpijar merah.
“Pak Arjo… saiki?!”
(Sekarang?!)
“Saiki! Tancepno neng bayangane!”
(Sekarang! Tancapkan ke bayangannya!)
Damar menusuk lantai, tepat ke bayangan Suryo.
Ruangan diselimuti cahaya merah tua, seperti bara api yang meledak. Suryo berteriak. Teriakan manusia bercampur suara bayangan yang retak.
Beberapa Watu Peteng roboh, tubuh mereka bergetar keras.
Namun tidak semua.
Tiga Watu Peteng di belakang tetap berdiri stabil. Tiga makhluk yang lebih gelap, lebih tua, lebih dekat dengan Kodasih.
Mereka melangkah masuk melewati yang roboh… Tanpa peduli… Tanpa emosi.
Salah satu dari Watu Peteng tua itu merentangkan tangan. Dari telapak tangannya muncul bayangan tajam seperti bilah.
Ia mengayun.. Dinding terbelah seperti kertas.
Bowo nyaris kena tebasan itu.
“Astaghfirullah!!!”
Ia merunduk, mengelak sejengkal.
Sarinah mengambil kain merah dan membentangkannya.
“Tutup mripatmu!” teriak Arjo
(Tutup matamu!)
Begitu Watu Peteng mendekat, ia menempelkan kain merah itu ke wajahnya.
Makhluk itu mengerang.. ke luar suara baja dibakar. Namun ia mendorong Sarinah hingga terhempas ke dinding.
Walau bayangannya retak… Suryo masih hidup. Ia bangkit perlahan. Tubuhnya gemetar. Tapi suara yang keluar dari mulutnya bukan suara manusia:
“Ratu… teka…”
(Ratu… datang…)
Arjo membeku.
“Duh Gusti… ora… ora saiki…”
(Tidak… tidak sekarang…)
Di belakang Suryo…
BAYANGAN mengembang seperti tinta jatuh ke air. Retakan hitam terbuka pelan… Dan dari dalamnya, tangan putih pucat keluar, memegang sisi dunia nyata.
Itu tangan Kodasih.
Sarinah menjerit ketakutan. Bowo gemetar sambil memegang kayu yang sudah retak. Damar memeluk kerisnya erat. Arjo mencoba mundur namun kakinya lemas.
Tangan Kodasih keluar lebih jauh… membentuk lengan… lalu bahu… lalu wajah pucat dengan mata hitam seperti sumur tanpa dasar.
Ia belum sepenuhnya muncul, tapi suaranya menggema ke seluruh ruangan:
“Kowe kabeh sing wis nentang aku ..”
(Kamu semua yang sudah melawan aku …)
“Dino iki… kowe tak ajak melu aku .”
(Hari ini… kau kuminta ikut aku.)
Dan pada saat itu… semua lampu di seluruh kota padam. Angin berhenti. Bayangan menutup seluruh ruangan.
Pertempuran sejati… baru saja akan dimulai....
Ketika sosok Kodasih mulai keluar dari retakan bayangan, seluruh udara di ruangan seakan berhenti.
Tidak ada suara.
Tidak ada napas.
Hanya getaran gelap yang membuat dada sesak.
Bowo nyaris pingsan. Damar mundur sambil terus menggenggam kerisnya. Arjo mencoba berdiri, namun lututnya masih gemetar hebat.
Sementara itu… Sarinah memegang kain merahnya erat. Ia mencoba merapal mantera,, tetapi suaranya tak keluar.
Kodasih mengangkat wajahnya dari balik retakan. Mata hitamnya menyapu ruangan, lalu berhenti pada Sarinah.
“Kowe…”
(Kaulah…)
Suara Kodasih lembut… menatap Sarinah, namun setiap hurufnya seperti memotong syaraf.
Bayangan di lantai merayap ke arah kaki Sarinah.
Bowo berteriak: “SARINAH! METU O!”
(Sarinah! Keluar!!)
Tapi Sarinah justru berhenti. Ia menatap bayangan yang merambat itu… dan tubuhnya tidak bergerak.
Arjo menjerit: “OJOOOO! OJO MENENG NENG KONOOOO!!”
(JANGAN! JANGAN DIAM DI SITU!!)
Terlambat.