Dalam satu hari hidup Almira berubah drastis setelah menggantikan kakaknya menikah dengan King Alfindra. CEO yang kejam dan dingin.
Apakah Almira sanggup menghadapi Alfin, suami yang ternyata terobsesi pada kakaknya? Belum lagi mantan kekasih sang suami yang menjadi pengganggu diantara mereka.
Atau Almira akan menyerah setelah Salma kembali dan berusaha mengusik pernikahannya?
Yuk simak ceritanya, semoga suka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mimah e Gibran, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30. Dugaan kade erte
Almira pamit ke kamarnya setelah keluarga besar Wildan pulang. Tersisa Hana dan Wildan yang duduk di sofa tamu sementara Anton membereskan sisa-sisa jamuan.
Almira membasuh mukanya kemudian turun menyusul Anton.
"Aku bantuin, Pa! Harusnya acara kayak gini papa minta bantu siapa gitu kan nanti biar Almira yang kasih upahnya," seru Almira.
"Udah dibantuin juga ini, Mir. Cuma ya, masa mau bantu total kan gak mungkin. Huh, kalau bukan karena kakak kamu hamil mana mau dia dilamar!" keluh Anton yang semakin pusing memikirkan kelakuan anak sulungnya.
"Tapi sekarang kan udah mau, Pa!"
"Karena papa paksa! Wildan sampai mohon-mohon papa buat bujuk, kakakmu aja gak pernah keluar kamar sejak satu hari setelah kamu kesini itu. Acak-acakan!"
Almira mengangguk-ngangguk, "tapi Kak Hana beruntung karena calon keluarganya baik!" puji Almira yang bisa merasakan kehangatan keluarga Bang Wildan yang ramah tamah bahkan Mira sendiri sampai terharu!" aku Almira.
"Memang keluarga Alfindra gimana?"
Deg...
Almira terdiam, "baik kok, pa!"
Almira membuat beberapa es lemon untuk dibawa ke depan. Wildan masih disana bersama kakaknya yang terlihat ngambek manja.
"Minum kak, bang Will!" Almira meletakkan minuman di meja lalu duduk di sofa hadapan mereka dan mengambil satu gelas.
Hana menatapnya sambil berfikir. Setelah beberapa menit diam, Hana mendekat menyibak rambut Almira yang sengaja digerai.
"Almira? Suami kamu nggak ikut?" tanya Hana tiba-tiba.
Mendapat pertanyaan itu sontak Almira yang sedang minum pun tersedak.
Uhukk...
"Na, mungkin sibuk! Iya kan Mir? Abang merasa bersyukur banget kamu gantiin Hana, kalau enggak, mungkin hubungan kita gak akan sejauh ini," aku Wildan kemudian beralih menatap Hana dengan tatapan penuh cinta.
Almira tersenyum, ia tahu kalau laki-laki di hadapannya saat ini sangat mencintai kakaknya meski akhlak dan kelakuan kemarin-kemarin minus.
"Suami aku sibuk kak, dia tadi sempet titip salam buat kalian!"
"Oh!" Hana mengangguk lalu mendekat. Masih melirik tajam adiknya, memperhatikan wajah Almira dengan seksama.
"Apaan nih?" tiba-tiba Hana menyibak rambut Almira. Merasa tak percaya, Hana bahkan menyelipkan rambut Almira ke belakang telinga. Wildan yang ikut memperhatikan apa yang dilakukan Hana sama terkejutnya.
"Mir!" kompak keduanya meminta penjelasan.
Almira lupa, ia meraba wajahnya.
"Apaan sih kak?" tanya Almira kebingungan.
"Pipi kamu memar, itu bukan iritasi kosmetik kan? Kamu habis ditampar?" selidik Hana. Meski terbilang sebagai kakak yang minus akhlak dalam bicara, tapi Hana bisa melihat perubahan di diri Almira. Kerasnya pergaulan di luar sana membuat Hana bisa membedakan mana bekas tamparan, mana iritasi atau efek tak cocok kosmetik.
Anton baru saja menghempas tubuhnya bergabung. Meski awalnya tak menyukai Wildan, Anton cukup bisa menerima dengan sikap calon menantunya yang gentle man.
"Ada apa?" tanya Anton.
Semua diam, Wildan dan Hana saling sikut sementara Almira mengisyaratkan mereka agar tak memberitahu Anton. Almira juga mengisyaratkan akan menjelaskan semuanya, nanti.
"Kalau gitu sekarang aja," usul Hana. Ia tak sabar untuk mengintimidasi adiknya.
"Sekarang?" tanya Wildan.
"Mau kemana?" tanya Anton.
"Mau ngajak Almira jalan, Pa!" alibi Wildan.
"Sebagai ucapan terima kasih karena, sudah menggantikan Hana waktu itu!" sambungnya lagi membuat Anton mengangguk tak curiga.
Disinilah mereka bertiga, di salah satu caffe tongkrongan anak muda di dekat rumah.
Almira meringis tak enak saat Wildan dan Hana menatapnya lekat seolah meminta penjelasan.
"Suami kamu KDRT? Nampar kamu?" cerca Hana dengan tatapan tajam.
"Maaf ya Mir, gara-gara kami." Wildan meraih jemari Hana akan tetapi dengan segera Hana menghindarinya.
"Malu ih!" decak Hana.
Almira terkikik geli, ia jadi teringat Alfindra yang ia tinggal dalam keadaan demam. Apakah suaminya itu nekad kerja atau tetap stay di apartemen istirahat?
"Udah jam segini, nanti suamiku marah, kak!"
Hana mencekal pergelangan tangan Almira, baru juga duduk bahkan minuman mereka masih utuh.
"Dia nggak akan bunuh kamu kan kalau telat pulang? Dia gak ngapa-ngapain kamu, nampar kamu atau ngurung kamu gitu?" pancing Hana. Entah kenapa, ini saatnya ia merubah sikap pada Almira. Apalagi hari-hari kemarin habis ditampar oleh kenyataan dan sudah seharusnya Hana bersyukur karena Wildan mau menikahinya.
"Enggak! Lagian mas Alfin sebenarnya baik kok!"
"Terus itu?" tunjuk Wildan di pipi.
"Baik darimana? Dari hong kong, kalau baik gak mungkin kdrt ke kamu sampai pipi memar gitu," dumel Hana.
"Laki mah kalau udah main tangan tinggalin aja, Mir! Di dunia ini ada dua kesalahan laki-laki yang tak termaafkan. Yang pertama, main tangan yang kedua main perempuan," jelas Wildan mendapat acungan jempol dari Hana.
"Tapi awas lu ya, Will. Kalau kaya begitu," sindir Hana dibalas gelengan jumawa Wildan.
"Nggak lah, pantang! Apalagi udah dapat perawan ting-ting bonus satu," ucapnya tanpa filter.
"Ish malu," desis Hana.
Almira menghela napas, memilih menyeruput minumnya.
"Bukan mas Alfin kok yang nampar aku, tapi cap tangan mertua!" aku Almira membuat Hana dan Wildan saling pandang. Pasalnya, mereka tak tahu menahu seperti apa keluarga King Alfindra.
"Kok bisa?" tanya mereka bersamaan.
"Panjang, next time aku cerita. Kak Wil, kak Hana aku pamit, Alfindra sakit soalnya tadi aku tinggal," seru Almira. Sebelum benar-benar pergi ia kembali menoleh, "jangan lupa bayarin minumanku."
"Ih soakkk...." dumel Hana, sejurus kemudian ia mendelik sinis ke arah Wildan.
"Kamu nyari-nyari kesempatan ya di depan Almira, udah ah aku mau pulang!"
"Siapa yang nyari sih, orang aku manusia paling tulus!" Wildan tak terima, ia menyamai langkah Hana membayar bill.
Namun, baru akan mengeluarkan uang. Dengan sigap Wildan menyerahkan atm-nya. Bukan atm berwarna hitam layaknya ceo-ceo, atm Wildan warnanya gold.
"Udah yuk," ajak Wildan membuat Hana melongo.
"Ngapain heran gitu, sama aku hidup kamu juga bakal terjamin. Gak bakal kekurangan beras apalagi minyak. Paling yang kurang jatah malemnya," seru Wildan dibalas delikan sinis Hana.
"Emangnya aku maniak, baru sekali aja udah jadi bibit gimana kalau tiap malam. Yang ada aku buka lahan pertanian," desis Hana.
Almira sampai di apartemen dengan selamat, sejauh ini tak ada hal yang mencurigakan layaknya di film-film. Mertua yang tega menjahati menantu karena cinta tak direstui, atau judulnya beda kasta.
"Fyuhhh, Mas Alfindra kerja gak ya?" gumamnya pelan sebelum menekan sandi apartemen kemudian masuk.
"Mas?" panggilnya. Tak mendapati jawaban Almira langsung ke kamar dan menemukan Alfindra duduk diatas ranjang dengan tangan memangku laptop.
"Udah baikan?" Tanya Almira.
"Udah kok, ini lagi meriksa laporan. Kayaknya, lusa aku sama Madel keluar kota." Alfindra menatap istrinya yang kebingungan bahkan mungkin tak mendengarnya dengan benar.
"Cari apa?"
"Astag, Mas. Kita kan gak bawa baju banyak kemarin itu, gimana dong?" tanyanya bingung.
Alfindra melihat jam di pergelangan tangannya, "udah sore, pasti Madel udah jalan pulang juga! Gak ada apa sama sekali?" tanya Alfindra.
Almira menggeleng.
"Yaudah pakai kemeja aku aja, gak kemana-mana kan?" Alfindra menaikkan alisnya.
"Kemeja? Kemeja hungkul?" protes Almira.
Alfindra mengangguk jail, "gimana lagi? Aku masih sakit lho! Masa kamu paksa ambil baju ke mansion?"
Almira menekuk wajahnya, "tadi katanya udah baikan!" dumel Almira. Dengan terpaksa ia masuk membawa serta kemeja Alfindra yang sudah pasti kebesaran di tubuhnya.