Sebagai seorang istri Maysa adalah seorang istri yang pengertian. Dia tidak pernah menuntut pada sang suami karena wanita itu tahu jika sang suami hanya pegawai biasa.
Maysa selalu menerima apa pun yang diberi Rafka—suaminya. Hingga suatu hari dia mengetahui jika sang suami ternyata berbohong mengenai pekerjaannya yang seorang manager. Lebih menyakitkan lagi selama ini Rafka main gila dengan salah seorang temannya di kantor.
Akankah Maysa bertahan dan memperjuangkan suaminya? Atau melepaskan pria itu begitu saja?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon husna_az, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30. Mengunjungi Eira
Maysa baru sampai di rumah menjelang maghrib. Di halaman rumah, tampak sebuah mobil yang sangat dia kenal. Siapa lagi kalau bukan Rafka. Wanita itu menghela napas pendek.
Memang dia tidak membatasi pertemuan putrinya dengan mantan suami. Akan tetapi, tetap saja rasanya tidak nyaman jika bertemu lagi dengan pria itu. Apalagi kini statusnya berbeda. Mau tidak mau Maysa masuk ke dalam rumah. Semoga tidak ada masalah ke depannya karena kedatangan Rafka
"Assalamualaikum," ucap Maysa.
"Waalaikumsalam," jawab Rafka yang duduk di ruang tamu sambil bermain dengan Eira.
"Mama, lihat Papa beliin boneka!" seru Eira melihat kedatangan mamanya.
"Oh, iya, bonekanya cantik sekali. Sama seperti Eira yang cantik."
Sebenarnya itu boneka biasa saja, hanya saja Maysa tidak mungkin mengecewakan kebahagiaan putrinya. Eira begitu antusias dengan apa yang dibawa apanya. Maklum ini pertama kali Rafka membelikan mainan karena biasanya wanita itu yang membeli.
"Kamu baru pulang, May?" tanya Rafka.
"Iya, Mas. Ada beberapa pekerjaan yang harus aku selesaikan," jawab Maysa. "Aku masuk dulu. Mau bersih-bersih."
"Iya, silakan."
Maysa pun masuk ke dalam kamar dan merebahkan tubuh sambil menatap langit-langit. Dia terlalu malas berbasa-basi dengan mantan suaminya. Meski kata maaf sudah keluar dari bibirnya, tetapi tetap saja masih ada luka yang tersisa. Apalagi jika mengingat pernikahan kedua pria itu.
Sementara itu, di bawah Rafka masih saja bermain dengan Eira. Riri dan mamanya hanya menatap dari kejauhan.
"Pria itu kenapa nggak pulang-pulang? Sebentar lagi adzan maghrib, apa dia mau di sini juga?" gerutu Riri yang tidak suka dengan kedatangan Rafka. Dulu dia sangat menghormati kakak iparnya, tetapi sejak wanita itu tahu pengkhianatan Rafka, Riri jadi membencinya.
"Hus," desis Mama Rafiqah dengan meletakkan jari telunjuknya di bibir. "Kamu tidak boleh seperti itu. Bagaimanapun juga Rafka adalah tamu. Seharusnya kita memperlakukannya dengan baik."
"Tamu sih tamu, tapi harus tahu waktu juga saat datang."
"Sudah, sebaiknya kamu siap-siap shalat Maghrib sana."
Meski kesal, Riri tetap pergi ke kamarnya. Sebenarnya Mama Rafiqah juga tidak begitu suka dengan kedatangan Rafka. Mengingat bagaimana pria itu menyakiti hati putrinya, tetapi dia juga tidak bisa melarang seorang ayah bertemu dengan anaknya. Apalagi Eira juga terlihat sangat bahagia dengan kedatangan papanya. Mama Rafiqah pun mendekati dua manusia beda usia itu.
"Rafka, maaf ini sudah hampir petang. Bukan maksud ibu untuk mengusir kamu, tapi tidak baik kamu terlalu lama di sini. Kamu tahu 'kan status kamu sekarang berbeda dengan dulu. Mungkin dulu tidak ada batasan waktu kamu berada di sini. Bahkan kamu menginap pun tidak masalah, tapi sekarang status kamu tidak memungkinkan untuk berlama-lama di sini. Nanti akan timbul fitnah dan ibu tidak mau orang lain menghina putri Ibu," ucap Mama Rafiqah dengan pelan agar tidak menyakiti perasaan mantan menantunya itu.
Meski dalam hati ingin sekali wanita itu memukul kepala Rafka untuk menumpahkan kekesalannya. Dia pun menyebut dirinya Ibu di depan mantan menantumya walaupun pria itu masih memanggil Mama.
"Ah, iya, Ma. Maaf kalau kehadiranku membuat Mama tidak nyaman," ucap Rafka yang merasa tidak enak.
"Tidak apa-apa. Ibu juga tahu jika kamu masih punya kewajiban terhadap Eira."
"Baiklah kalau begitu, saya permisi," ucap Rafka sambil melirik ke dalam rumah.
Mama Rafiqah tahu apa yang Rafka tunggu. Namun, dia pura-pura tidak tahu. Wanita itu tidak ingin putrinya semakin terluka. Biarlah Rafka tidak bertemu dengan Maysa agar tidak timbul fitnah karena pria itu sudah menikah.
"Iya, hati-hati di jalan. Terima kasih sudah mau datang untuk Eira."
"Iya, Bu. Assalamualaikum," pamit Rafka sambil mencium punggung tangan Mama Rafiqah.
Meski dia bukan lagi menantu di rumah ini, tetapi pria itu masih menghormati Mama Rafiqah karena selama menjadi menantunya, tidak sekalipun wanita paruh baya itu menyakiti hatinya. Justru beliau menganggap dirinya seperti anak sendiri.
"Waalaikumsalam."
Rafka meninggalkan rumah tersebut dengan perasaan sedih. Rumah yang dulu membuatnya sangat nyaman. Bahkan dia lebih senang di rumah mertuanya daripada di rumah orang tuanya sendiri, tapi kini pria itu tidak bisa sebebas dulu. Rafka akui semua ini karena kesalahannya.
Ada secuil perasaan menyesal karena sudah menghianati Maysa, tetapi dia segera menepisnya. Semua ini adalah keinginannya, pria itu tidak mau menyesali keputusan yang sudah dia ambil. Rafka pun pulang ke rumah orang tuanya. Di sana sudah ada Vida yang menunggu di teras rumah sambil berkacak pinggang.
"Kamu dari mana saja, sih, Mas? Aku telepon nggak diangkat, malah handphone kamu mati. Apa kamu memang sengaja melakukannya?" tanya Vida pada Rafka yang baru turun dari mobilnya.
"Kamu ini orang baru datang, bukannya disambut dengan salam, malah marah-marah," sahut Rafka dengan ketus.
"Aku 'kan cuma nanya. Emangnya salah kalau kamu menjawab teleponku? Aku juga tidak akan banyak bertanya jika panggilanku kamu angkat."
Rafka masuk ke dalam rumah tanpa menjawab pertanyaan dari Vida. Hal itu tentu saja membuat wanita itu semakin kesal karena merasa tidak dihargai. Dia sudah menunggu dari tadi, tapi sekarang dicueki begitu saja.
Sejak menikah Rafka memang berbeda. Tidak seperhatian dulu. Apa pun yang Diminta, pasti pria itu akan membelikannya, tetapi kini dia harus berusaha sendiri untuk bisa membelinya. Rafka selalu beralasan jika uangnya ditabung untuk beli rumah. Entah benar atau tidak.
"Mas, kenapa diam? Tadi kamu ke mana?" tanya Vida lagi.
"Tadi aku ke rumah Mama Rafiqah ingin bertemu dengan Eira. Sudah beberapa hari atau tidak melihatnya."
"Melihat Eira apa melihat Mamanya?"
"Melihat Eira, lah! Maysa 'kan sedang bekerja."
"Tapi kamu pulangnya malam, sedangkan wanita itu juga pasti sore sudah pulang. Pasti kalian habis bersenang-senang, kan?"
"Terserah padamu. Aku sudah menjelaskan semua. Percuma juga kalau kamu nggak akan percaya, jadi terserah saja. Aku mau mandi." Rafka berlalu menuju kamarnya.
Sementara itu, Vida duduk di ruang keluarga sambil menyalakan tv. Namun, hanya menekan tombol remote dan menggonta-ganti channel saja karena kesal.
"Kalau nggak niat nonton TV nggak usah dinyalain. Bikin rusak saja," tegur Mia yang baru datang. Dia berkunjung karena mendengar Mama Ishana yang sakit.
"Bukannya kamu nggak mau datang ke sini kalau ada aku di rumah? Kenapa sekarang ke sini? Apa kamu mau menjilat ludah kamu sendiri? Aku ke sini karena Mama sakit dan aku ingin mengunjunginya. Tidak ada hubungannya dengan kamu. Lagi pula ini rumah orang tuaku, bukan rumahmu atau rumah suamimu," ujar Mia yang kemudian berlalu menuju kamar mamanya. Pasti Mama Ishana ada di sana.
.
.
mknya muka nya familiar
sayang nya sama Eira tulis bgt
entah dia dari keluarga yg penuh tekanan,semua udah dia atur dia dia harus ngikutin semua aturan itu.
dan dia udah punya jodoh sendiri
kadang bingung ya..sama lelaki.
udah punya yg spek bidadari malah nyari yg kyk gelandang.
yah... begitu lah seni nya peselingkuhan.
lu makan aja tu pilihan lu
kadang bingung ya..sama lelaki.
udah punya yg spek bidadari malah nyari yg kyk gelandang.
yah... begitu lah seni nya peselingkuhan.
lu makan aja tu pilihan lu