Kecelakaan yang menimpa kedua orang tua Mala, membuat gadis itu menjadi rebutan para saudara yang ingin menjadi orang tua asuhnya. Apa lagi yang mereka incar selain harta Pak Subagja? Salah satunya Erina, saudara dari ayahnya yang akhirnya berhasil menjadi orang tua asuh gadis itu. Dibalik sikap lembutnya, Erina tentu punya rencana jahat untuk menguasai seluruh harta peninggalan orang tua Mala. Namun keputusannya untuk membawa Mala bersamanya adalah kesalahan besar. Dan pada akhirnya, ia sendiri yang kehilangan harta paling berharga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MENJADI BONEKA
Deru ombak menghantam karang dengan keras di pinggiran sebuah pulau terpencil yang tersembunyi di balik peta resmi. Pulau itu tidak bernama di atlas, tak ada sinyal seluler, dan hanya bisa diakses melalui jalur laut dengan kapal kecil khusus yang dijaga ketat. Di sanalah, dalam sebuah bangunan semi-beton dengan penjagaan ketat berseragam hitam, Yudha kini bersembunyi.
Ia duduk di dalam sebuah ruangan berpendingin udara, jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja panjang dari kayu jati. Sekilas, wajahnya terlihat santai, namun sorot matanya menyimpan ketakutan dan kegelisahan yang tak bisa ditutupi. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, meski suhu di ruangan cukup sejuk.
Pintu terbuka dengan suara mendesis.
Wanita itu masuk.
Angel-wanita bertubuh tinggi semampai dengan balutan busana serba hitam, kacamata hitam besar menutupi sebagian wajahnya, dan bibir merah menyala. Ia tak butuh senjata untuk ditakuti. Aura dinginnya sudah cukup membuat siapa pun membeku.
"Kamu datang juga akhirnya," ucap Angel sambil melepas kacamata, menatap Yudha dengan senyum miring.
Yudha berdiri dengan refleks. "Aku... aku tak punya tempat lain, Angel. Polisi-mereka hampir menangkapku di perbatasan."
Angel mendekat, langkahnya mantap. "Aku tahu. Karena itu aku kirim kapal untuk menjemputmu. Kau pikir aku bodoh membiarkanmu berkeliaran dan ditangkap? Kalau kau tertangkap, mulutmu pasti akan terbuka selebar-lebarnya."
Yudha tertunduk. "Aku tidak akan pernah mengkhianatimu."
Angel tertawa kecil. "Jangan bersumpah, Yud. Kau bahkan pernah bersumpah mencintai Erina, bukan?"
Tatapan Yudha berubah gelap. "Aku tidak pernah mencintai dia."
Angel mencengkeram dagu Yudha dengan satu tangan, keras. "Tentu saja tidak. Karena kau bonekaku. Dan boneka tak punya hati."
Yudha menahan diri agar tidak terpancing. Ia tahu benar, satu gerakan tak patuh dari dirinya bisa berujung kematian di tangan wanita kejam itu.
"Sudah kubilang sejak awal," lanjut Angel sambil melemparkan segepok uang ke atas meja, "Ini bagianmu.
Sedikit apresiasi untuk sandiwara sebagai pria
pengangguran yang begitu dicintai oleh wanita bodoh itu! Aku akui, kemampuanmu untuk menaklukkannya sangat hebat. Bisa-bisanya wanita itu membuang berlian hanya
demi laki-laki sepertimu!"
Kata-kata itu sebuah pujian tapi juga sebuah sindiran yang membuat hati Yudha panas. Namun pria itu tidak bisa berkutik selain menunduk.
Yudha menatap uang itu dengan tatapan yang tak lagi berga-irah. Ia tahu, dari miliaran transaksi, hanya secuil
Yang diberikan padanya. Ia bukan penguasa. Ia hanya kaki tangan, semua boneka dari wanita bernama Angeline.
Masih teringat dengan jelas perintah wanita itu beberapa bulan yang lalu.
"Aku mau kamu dekati Erina. Dekati dia dan hancurkan dia seperti dia menghancurkanku dulu. Buat dia bertekuk lutut padamu, Honey. Dan bersandiwaralah seolah kamu tidak punya uang supaya dia mau memberikan semua hartanya dan jatuh miskin lalu hancur secara perlahan! Dia sudah merebut orang yang aku suka! Ini balasannya karena dia mencoba main-main denganku."
Yudha menatap punggung Angel dengan rasa getir. Ia ingat betul momen saat wanita itu memberikan perintah tersebut. Saat itu mereka sedang berada di vila mewah, hanya berdua. Angel sedang memutar segelas wine, dan memandangi api unggun seolah sedang mengatur strategi perang.
"Dia merebut segalanya dariku dulu, Yudha," ujar Angel lirih, namun penuh racun. "Harga diriku, cinta pertamaku, dan hidup tenangku. Kau tahu, aku bisa hidup biasa saat itu. Aku bisa jadi gadis normal. Aku tidak mau seperti Papi yang hidup dalam bisnis gelap ini. Tapi Erina... dia telah membangunkan singa betina yang dulu tertidur. Dia telah salah mencari lawan!"
Yudha hanya diam waktu itu.
"Sekarang, aku ingin dia merasa tak berharga. Kehilangan semuanya. Sama seperti aku dulu. Orang berambisi seperti dia, akan sangat mudah disesatkan," tambah Angel dengan suara penuh dendam. "Kau tahu yang harus dilakukan."
Dan Yudha melakukannya.
Ia mendekati Erina dengan segala siasat, menciptakan drama, menjadi pahlawan untuk wanita kesepian itu, lalu perlahan menggerogoti mentalnya. Ia membisikkan kebencian pada Erina. Ia buat wanita itu menghabisi sendiri keluarganya. Dan membuat Erina percaya hanya padanya. Dan ia berhasil.
Namun sekarang, di pulau sunyi itu, Yudha mulai merasakan kehampaan. Ia tak punya apa-apa. Bahkan harga dirinya pun telah dibeli Angel dengan uang haram dan tipu daya. Dan Yudha yang hanya dijadikan boneka itu, ternyata merasa kehilangan. Dia beneran jatuh cinta pada Erina.
"Bos," suara seorang bodyguard memasuki ruangan, membungkuk sedikit ke arah Angel. "Bagaimana dengan barang-barang di markas? Polisi menyita semuanya. Itu kerugian besar."
Angel menoleh pelan, lalu tersenyum sinis. "Yah, mungkin papi akan mengalami kerugian besar. Tapi itu gak masalah. Yang penting jangan sampai keberadaan kita terendus polisi. Paham?"
Anak buahnya mengangguk serentak.
Angel menatap satu per satu wajah mereka, sebelum kembali mengenakan kacamata hitamnya.
"Mulai hari ini, kita tidak akan kembali ke kota. Pulau ini akan jadi tempat kita sementara sampai keadaan reda. Tidak ada yang keluar tanpa perintahku. Dan Yudha..."
Pria itu menegakkan badan.
"Jika kau pernah sekalipun berniat mengkhianati
Aku, maka sebelum polisi menyentuhmu, peluruku akan lebih dulu menembus dadamu. Paham?"
Yudha menelan ludah. "Paham, Angel."
Angel mendekat, lalu membisikkan kalimat terakhir tepat di telinga Yudha, dengan nada lembut yang mengerikan.
"Karena aku tahu setiap orang punya harga. Dan harga dirimu sangat murah. Jangan lupa itu."
Wanita itu melangkah keluar, meninggalkan ruangan dengan aura berbahaya yang membekas di udara. Yudha terdiam, memandangi uang di atas meja. Tak satu pun ingin ia sentuh.
Di luar, ombak mengamuk lebih keras. Langit mulai gelap. Dan di dalam pulau yang tak tercatat itu, sebuah sandiwara baru sedang disiapkan oleh wanita paling kejam yang pernah Erina kenal: Angel.
Langit malam menggantung kelam di atas pulau sunyi itu, hanya suara laut yang terus menggeram dari kejauhan.
Vila mewah bergaya modern berdiri di puncak bukit pulau, berdinding kaca dan menyuguhkan panorama laut luas. Tapi bagi Yudha, tempat itu bukan surga, melainkan penjara tanpa jeruji.
Dalam diam, Yudha memikirkan Erina. Bagaimana nasib wanita itu? 'Erina, kamu gak bersalah. Meskipun kamu memang ingin menyingkirkan kakakmu, tapi kamu gak pernah berniat untuk menghabisinya. Aku yang telah membunuh mereka. Andaikan aku mampu, aku ingin keluar dari pulau ini dan membebaskannya dari penjara.
Kita sama-sama pergi jauh, gumam Yudha dalam hati.
Ia berdiri diam di tengah kamar utama. Pintu tertutup di belakangnya. Angel duduk di kursi malas yang terletak menghadap jendela lebar, membiarkan angin malam memainkan helaian rambutnya.
Gaun hitam tipis membalut tubuhnya,
memperlihatkan kulit pucat yang nyaris seperti porselen.
Wajahnya dingin. Matanya tajam, namun juga... lapar.
"Yudha," bisiknya tanpa menoleh, "kau tahu kenapa aku memanggilmu malam ini?"
Yudha tidak menjawab. Ia hanya menunduk, seperti budak yang sudah terlalu sering diperintah. Ia tahu maksud wanita itu. Sudah cukup banyak malam yang harus ia jalani seperti ini. Menyisihkan rasa, mengubur harga diri, dan menjadi apa pun yang Angel inginkan.
"Jangan diam," suara Angel kini berubah tajam. "Kau tahu tugasmu. Dan kau tahu apa yang akan terjadi jika kau mengecewakanku."
Yudha mengangkat wajahnya, tatapan kosong. Ia melangkah mendekat, seperti boneka yang dihidupkan dengan kata-kata. Di matanya tidak ada ga i rah, tidak ada cinta-hanya kewajiban.
Angel bangkit dari duduknya, melangkah pelan mendekat, lalu menyentuh dagu Yudha dengan satu jari.
"Bagus," gumamnya, "kau belajar tunduk. Tapi malam ini, aku tidak ingin pria. Aku ingin boneka. Mainanku. Seseorang yang tidak boleh menolak, bahkan ketika diminta menjatuhkan dirinya serendah mungkin."
Yudha menarik napas panjang. Hatinya seperti dikerat
Pisau tumpul. Ia bukan pria bodoh. Ia tahu Angel tidak pernah benar-benar mencintainya. Wanita itu hanya ingin menang. Membuktikan bahwa semua pria bisa ia kuasai, tak terkecuali dirinya.
Dan malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, ia kembali menjadi apa yang Angel mau.
Tak ada kein-timan. Hanya instruksi dingin yang harus dipatuhi. Angel memperlakukannya seperti wayang -digerakkan sesuai keinginannya. Ia mencengkeram, menarik, menuntut, mendominasi, bahkan mempermalukan Yudha dalam bentuk yang halus tapi menyakitkan.
Kata-kata Angel menggema di kepalanya sepanjang malam. "Kau pikir hanya wanita yang bisa disakiti dan dipermainkan? Lihat dirimu sekarang. Pria yang dulu membusungkan dada, kini seperti tikus yang mengendap-endap minta belas kasihanku. Kau harus puas dengan peran ini, Honey. Karena inilah nilai yang sebenarnya dari seorang pecundang."
Dan Yudha menuruti semuanya. Bukan karena mau, tapi karena takut. Angel bukan sekadar wanita manipulatif ia adalah bayangan sang ayah, gembong besar dunia hitam yang bisa melenyapkan siapa saja tanpa jejak.
Setiap rintihan Angel malam itu bukan lagi tentang kenikmatan, tapi tentang kuasa. Tentang penguasaan mutlak atas tubuh dan mental seseorang. Dan Yudha? Ia hanya alat. Perantara. Bahkan lebih hina dari seorang gi g ol o yang menjual di ri nya.
Malam itu berakhir tanpa pelukan. Angel
Membalikkan tubuh setelah puas, menyelimuti dirinya dan berkata lirih, "Keluar. Kau bau pengkhianat. Kau tidak meng gairahkan!"
Yudha tidak bereaksi. Ia memakai kembali pakaiannya yang tergeletak di lantai, dan melangkah pelan ke luar kamar. Di luar, angin laut menyambutnya, dingin menusuk tulang. Tapi lebih dingin lagi, kehampaan di hatinya.
Ia menatap langit, mendongak dengan wajah kaku.
Ia pernah bermimpi jadi orang besar. Tapi sekarang?
Ia hanya boneka yang bisa dimainkan kapan pun Angel mau.
*
Keesokan hari, di Jawa Barat.
Udara Sukabumi terasa lembap sore itu. Awan menggantung rendah, menutupi matahari yang seharusnya masih menyinari jalanan berbatu yang mereka lalui. Mobil yang dikemudikan Tama melaju perlahan, menuruni bukit menuju sebuah perkampungan terpencil tak jauh dari pantai selatan.
Di dalam mobil, suasana senyap.
Kemala duduk di kursi penumpang dengan tatapan kosong. Wajahnya pucat, tangan mengepal di pangkuannya. Dalam hatinya berkecamuk perasaan campur aduk: marah, kecewa, takut, dan hancur. Sejak video itu ditemukan beberapa hari yang lalu, sejak itulah Kemala merasa tertampar oleh kenyataan. Untuk kesekian kalinya, dunianya terasa runtuh.
Di layar kecil ponselnya, video berdurasi dua menit itu kini tersimpan. Video yang menampilkan seorang pria tua-ayahnya sendiri-dan seorang wanita muda yang tidak lain adalah Ningsih, sahabatnya. Sahabat sejak kecil. Sahabat yang pernah tidur di rumahnya, makan bersama keluarganya, bahkan menangis di bahunya saat patah hati.
Dan kini-video itu menjadi bukti pengkhianatan yang tak bisa dimaafkan.
"Kalau kamu gak siap, nanti saja, Sayang," suara Tama memecah kesunyian. Satu tangan menggenggam tangan Kemala, hangat dan menenangkan, sementara mata suaminya tetap fokus ke jalanan yang mulai sempit dan berbatu.
Kemala menoleh sebentar, tersenyum tipis meski matanya masih kosong. "Siap tidak siap, aku harus menemuinya. Aku ingin tahu yang sebenarnya."
Tama mengangguk pelan. Ia tahu betapa rapuh hati istrinya saat ini, namun juga paham bahwa Kemala tidak bisa terus hidup dengan tanya yang tak terjawab.
Beberapa menit kemudian, mobil mereka berhenti di depan sebuah gubuk kayu panggung. Rumah kecil itu tampak sederhana, dengan tembok bilik dan halaman tanah yang bersih. Pepohonan kelapa mengelilingi sisi rumah, dan suara deburan ombak terdengar sayup-sayup dari kejauhan.
Seorang wanita tua muncul dari balik pintu depan, tubuhnya bungkuk, rambut putihnya digelung rapi. Ia mengenakan kebaya lusuh dan kain jarit sebagai rok.
"Neng Kemala nya?" sapa wanita itu dengan logat
Sunda yang lembut, senyum tulus menghias wajah keriputnya. "Wilujeng sumping. Mangga kalebet!"
"Assalamu'alaikum, Mak," sapa Kemala pelan, berusaha tetap sopan meski hatinya terasa sesak.
"Wa'alaikumussalam. Sok mangga, Neng, Aa. Jalanna tebih nya?," ujar wanita itu ramah, menyuguhkan teh hangat dan pisang rebus di atas nampan rotan.
Namun Kemala tidak bisa menikmati semua itu. Ia duduk hanya sebentar sebelum akhirnya bertanya, "Mak, Ningsih di mana sekarang?"
Wanita tua itu menunjuk ke arah luar pintu. "Biasana mah sore-sore Ningsih di pantai, Neng. Cakeut tidieu."
Kemala dan Tama saling berpandangan. Tanpa banyak bicara, keduanya berdiri dan pamit. "Kami ke pantai sebentar, Mak."
Langkah mereka pelan menuruni jalan setapak kecil yang dipenuhi dedaunan kering dan rerumputan liar. Suara deburan ombak semakin jelas, dan angin pantai menyambut dengan aroma asin yang khas.
Pantai itu sepi. Hanya pohon-pohon kelapa menjulang tinggi dan pasir putih yang membentang luas. Lautnya tenang. Awan senja membuat air laut berwarna perak kebiruan. Di kejauhan, seorang wanita berdiri memunggungi mereka, mengenakan daster cokelat bermotif bunga kecil. Rambutnya panjang, terurai acak. Bahunya tampak rapuh.
Kemala berhenti. Napasnya tercekat.
"Ningsih!" panggilnya pelan.
Wanita itu sontak membalikkan badan.
Waktu seakan berhenti. Hanya suara ombak yang tetap bergulung, seolah ikut menyaksikan pertemuan itu.
Wajah Ningsih terlihat sayu, matanya cekung, pipinya tirus. Tubuhnya jauh lebih kurus dari terakhir kali Kemala melihatnya 5 bulan yang lalu tepatnya satu bulan sebelum kecelakaan mobil itu terjadi. Namun satu hal yang paling mengejutkan Kemala: perut Ningsih menonjol.
Perut itu... hamil.
Kemala membeku di tempat. Matanya membelalak, dadanya terasa seperti diremukkan.
Astaga...
Dia hamil?
Bibir Kemala bergetar, tapi tak satu kata pun keluar.
Otaknya menolak menerima kenyataan, namun matanya tak bisa berbohong. Ningsih berdiri dalam diam, memegangi perutnya yang membesar. Wajahnya penuh luka, tapi juga pasrah.
Tama berdiri di samping Kemala, ikut terpaku. Ia tak menyangka pertemuan ini akan lebih mengejutkan dari yang mereka bayangkan.
"Ningsih..." lirih Kemala akhirnya, nyaris seperti bisikan.
Tak ada jawaban.
Ningsih hanya menatapnya. Tak berkedip. Tak membantah. Tak membela diri. Matanya basah. Namun mulutnya tetap terkatup.
Kemala melangkah mendekat. Satu... dua... tiga langkah, lalu berhenti.
Ia ingin memeluk. Tapi juga ingin menampar. Ingin bertanya, tapi juga ingin pergi. Perasaannya kacau.
Sahabatnya... wanita yang ia percaya... kini berdiri di depannya dengan membawa luka yang jauh lebih dalam dari yang ia bayangkan.
Dan di balik perut yang membuncit itu, Kemala bertanya-tanya. Apakah itu anak dari Juragan Subagja?
***