NovelToon NovelToon
TINI SUKETI

TINI SUKETI

Status: tamat
Genre:Romantis / Komedi / Cintamanis / Tamat
Popularitas:13.7M
Nilai: 5
Nama Author: juskelapa

Tidak cantik, tidak menarik, tidak berdandan apik, tidak dalam keadaan ekonomi yang cukup baik. Namun, hidupnya penuh polemik. Lantas, apa yang membuat kisah hidupnya cukup menarik untuk diulik?

Tini Suketi, seorang wanita yang dijuluki sebagai legenda Desa Cokro yang melarikan diri. Kabur setelah mengacaukan pesta pernikahan kekasih dan sahabatnya.

Didorong oleh rasa sakit hati, Tini berjanji tak akan menginjak kampungnya lagi sampai ia dipersunting oleh pria yang bisa memberinya sebuah bukit. Nyaris mirip legenda, tapi sayangnya bukan.

Bisakah Tini memenuhi janjinya setelah terlena dengan ritme kehidupan kota dan menemukan keluarga barunya?

Ikuti perjalanan Tini Suketi meraih mimpi.

***

Sebuah spin off dari Novel PENGAKUAN DIJAH. Yang kembali mengangkat tentang perjuangan seorang perempuan dalam menjalani hidup dengan cara pandang dan tingkah yang tidak biasa.

***

Originally Story by juskelapa
Instagram : @juskelapa_
Facebook : Anda Juskelapa
Contact : uwicuwi@gmail.com

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juskelapa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

30. Kunjungan Sahabat

“Eh, si Dijah datang!” seru Mak Robin. “Robin! Keluar kau maen-maen! Jangan hape aja kau pelototin. Buta nanti mata kau. Ada si Dul datang,” ujar Mak Robin menoleh ke dalam kamar.

Robin yang sedang menelungkup di atas ranjang seketika mencampakkan ponsel di tangannya. “Dul!” pekik Robin dari ambang pintu. Bocah itu seketika menghampiri Dul dan kembali menyeretnya ke dalam kamar.

“Mak! Kami nonton film sama-sama di hape Mamak. Kalo sama-sama pasti nggak buta,” tukas Robin dengan santainya.

“Suka ati kau la, Robin. Tau kau lagi ada tamu, jadi nggak mungkin kuhantam,” sahut Mak Robin tak kalah santainya.

“Tamunya belum duduk, kamu udah mau menghantam anakmu,” ujar Tini menyusun kursi plastik sebagai tempat duduk bagi Dijah dan Bara.

“Dari mana kelen?” tanya Mak Robin ikut duduk di salah satu kursi.

“Dari rumah Akung-nya Mima dan Dul. Kemarin nginep di sana. Ini mampir sebelum pulang ke rumah,” jawab Dijah.

Tini duduk menimang Mima. Bayi perempuan itu memakai bando merah jambu yang membuat rambut ikalnya rapi di bagian depan. Sedang bagian belakangnya masih mengembang.

“Hei, jenenge sopo? What is your name? (Siapa nama kamu?),” tanya Tini pada Mima.

“Bahasa Indonesia aja, nggak apa-apa. Mima pasti ngerti. Jangan sampe Mima bingung Budhe-nya orang apa,” ujar Bara.

“Wong Jarik! Jawa-Amrik!” sahut Tini tergelak. Mima yang tadi di pangkuannya langsung menggeliat.

“Astaga, kasian Mima denger ketawanya,” ujar Bara. Tangannya terulur mau mengambil bayi perempuannya dari tangan Tini.

“Bapaknya berisik. Baru anaknya dipegang sebentar aja. Aku masih kangen,” tukas Tini, mengangkat Mima dan menjauhkannya dari tangan Bara. Ia lalu membenamkan hidungnya di pipi Mima sampai bayi itu merengek menatap bapaknya.

“Ya, ampun, Jah. Anak Mas disiksa,” ujar Bara.

Dijah tertawa seraya meletakkan tangan di pipi Bara. “Sebentar aja. Biar Mima terbiasa mendengar suara-suara ganjil,” ujar Dijah. “Boy mana, Tin?” tanya Dijah melirik pintu kamar Boy yang tertutup.

“Boy pergi ke outlet rotinya. Perginya sama Dara. Itu anak baru yang nempatin bekas kamar kamu. Gayanya sombong minta ampun,” kata Tini dengan mulut mencibir.

“Halah Tini, itu-itu aja yang kau bilang. Baek si Dara itu. Karena kau belum kenal aja makanya kau bilang dia sombong.” Mak Robin mengomeli Tini dari kursinya.

Tini melengos. “Dia nggak ada sopannya sama aku. Aku penduduk lama. Harusnya sowan,” omel Tini lagi.

“Kau pigi kerja pas langit masih gelap. Pulang kerja jamnya sama dengan kuntilanak dinas. Cemana dia mau jumpa kau? Ini akhir minggu, kau bangun siang. Dia udah pigi sama si Boy. Lagi sensi aja kau sama dia. Benapas pun salah dia di mata kau,” tutur Mak Robin.

“Ya, ampun, Mak. Kasian keponakanku denger suara kamu. Mukanya sampe begini,” ujar Tini mengangkat Mima.

Mak Robin bangkit dari kursinya seraya menarik rambut Tini.

"Mau ke mana, Mak?" tanya Dijah karena melihat Mak Robin bangkit.

"Cakaplah kelen dulu melepas rindu. Aku gosok baju sekolah si Robin dulu. Sekalian nengok si Robin sama si Dul." Mak Robin kemudian menghilang ke dalam kamarnya.

“Sini—sini, sama Ayah.” Bara kembali mencondongkan tubuhnya mengambil Mima dari tangan Tini. Sebegitu tiba di pelukan Bara, Mima langsung melingkarkan tangan di sekeliling leher pria itu.

Melihat Bara sedang sibuk berkasih-kasihan dengan putrinya, Tini mencolek lengan Dijah yang sedang menumpu dagunya di lengan Bara, sambil merapikan rambut Mima.

“Piye? Isih ono cewek magang sek nglirik mas mu ora? (Gimana? Masih ada cewe magang yang ngelirik Mas-mu?)” Tini menurunkan suaranya menjadi setengah berbisik.

“Ojo omong Jowo, bapakke Mima mengko curiga. (Jangan ngomong bahasa Jawa, bapaknya Mima nanti curiga.)” Dijah menoleh ke arah Bara yang mulai melemparkan tatapan curiga kepada mereka.

“Lha, curigo opo? Ngrasani wong lanang? Opo ndek’e wedhi sek dirasani? (Curiga apa? Ngomongin laki-laki? Atau takut dia diomongi?)” Tini membalas tatapan Bara.

“Aku curiga,” gumam Bara menatap Tini.

“Ya, bagus. Artinya normal,” jawab Tini santai.

*“Raine wae bagus, lakune gagah, jebul ora pede karo bekas anak kandang ayam*. (Mukanya aja ganteng, gayanya gagah, ternyata masih insecure sama mantan anak kandang ayam.)” Tini mengatakan hal itu sambil memandang Bara.

“Jah—Jah, dari tatapannya pasti Tini ngomongin aku. Iya, kan?” Bara mengguncang pelan lengan Dijah.

“Siapa bilang? Ini masih ngomongin Boy,” tukas Tini. “Kon dol wae montore, ben ora koyo cah enom terus. (Suruh dia jual motornya, biar jangan kayak anak muda terus.)” Tini menyeringai jahat ke arah Bara.

“Jah—Jah! Mas nggak suka liat senyumnya Tini. Pasti dia ngomongin Mas. Itu ada kata montor-montor, pasti ngomongin motor Mas. Iya, kan?” Bara kembali mengguncang lengan Dijah yang sedang terkikik-kikik.

“Bojoku emang ijeh nom, Tin. Wong bagus kuwi angel nek ditutupi. (Suamiku memang masih muda Tin. Ganteng itu susah ditutupi.)” Dijah mencolek Tini seraya tertawa.

Tini melengos, “Wis duwe anak, iseh hot? (Udah punya anak, masih hot?)” Tini tergelak setelah mengatakan hal itu. Bara mengerucutkan mulut memandangnya.

“Ojo mbok kotori kupinge anakku, (Jangan nodai telinga anakku,)” tukas Dijah menutup telinga Mima.

“Udah—udah, bahasa Indonesia yang baik dan bener aja. Enggak sopan kalo ada orang yang nggak ngerti malah ngomong pake bahasa Jawa terus. Meski nggak ngomongin orang, pasti orang curiga.” Bara mencubit pelan pipi Dijah.

“Aku sungkan kalau Mas Bara denger omonganku ke Dijah,” tukas Tini.

“Aku nggak apa-apa. Santai aja,” sahut Bara.

“Yakin nggak apa-apa?” tanya Tini lagi.

“Aku udah bapak-bapak, Tin. Anakku dua. Ya, kan, Nak? Mima anak Ayah, kan?” tanya Bara mengangkat Mima ke depan wajahnya. Mima seketika menangkup kedua pipi Bara dan membuka mulutnya. Bara tertawa dan menciumi pipi putri kecilnya.

“Anak ayahnya banget, ya, Jah?” tanya Tini memandang Mima dengan sorot mata teduh. “Aku juga mau punya anak kayak Mima,” ucap Tini.

“Bisa Budhe—bisa, pasti bisa.” Bara memindahkan posisi Mima hingga duduk menghadap Tini. “Cari calonnya dulu,” ujar Bara.

“Nah, aku mau cerita. Pakai bahasa Indonesia biar nggak mencurigakan. Tapi Ayahnya Mima jangan protes. Cukup duduk diem aja,” pinta Tini.

Bara tak menjawab. Ia hanya mencibir memandang Tini yang membetulkan letak duduknya.

“Gini, Jah. Kamu tau, kan, Agus angsa, Agus soang belakangan ini doyan ngajak aku keluar—”

“Astaga ... baru tau nama panjangnya Mas Agus ternyata soang,” gumam Bara. “Andai dia tau. Ckckck,” sambung Bara lagi.

“Tadi katanya mau diem aja ....” Tini memandang tajam ke arah Bara.

“Iya—iya, maaf. Aku diem aja sekarang,” ujar Bara.

“Nah, lanjut, Jah. Hobinya, kan, ngajak aku makan. Makan terus pokoknya. Semua-semua dimakan. Abis makan, biasa nonton. Abis nonton, aku dianter pulang. Ya, udah. Gitu aja,” tukas Tini.

“Lalu, kamu mau apa?” tanya Dijah.

“Dia itu udah tua, Jah. Masa nggak ada pergerakan apa pun. Kadang-kadang aku ragu apa tiangnya bisa berdiri dengan sempurna—”

“Astaga ... ngomongin tiang Mas Agus,” potong Bara, mengangkat Mima dan mendekap bayinya. “Jah, jangan ngomongin tiang orang. Jangan dengerin Tini,” pinta Bara, menutup satu telinga istrinya.

To Be Continued

1
Jeong Nari
bagusss bgtt wajib bacaa semua karya author juskelapa, ⭐⭐⭐⭐⭐❤
Jeong Nari
kann jadi nangis/Cry/,
Jeong Nari
aaa jadi kangen ko Dean, udah baca 3x, jdi pengen balik lagi/Sob//Kiss/
JM_joe92
sukaaaa
🍀 chichi illa 🍒
sukaaa
Wandi Fajar Ekoprasetyo
mang Dayat ini baik sekali ya aslinya 🤭
Wandi Fajar Ekoprasetyo
astaghfirullah......dlm kepanikan msh bisa Tini bercanda
Wandi Fajar Ekoprasetyo
betul itu
Daanii Irsyad Aufa
/Facepalm//Facepalm/
Daanii Irsyad Aufa
haish " Astaga" itu jargonnya mas bara
Daanii Irsyad Aufa
itu mas bara dan mas Heru (bener ngga sih namanya)
Daanii Irsyad Aufa
nah cocok tuh omongan Dijah
Daanii Irsyad Aufa
sumpah berasa aq duduk d pojokan ngeliat Lastri d smackdown Dijah. di iringi backsound Tini yg lagi JD wasit
Daanii Irsyad Aufa
pokoknya nongki BRG MBK Tini itu d jamin agak mangkel ya boy. dan keluarlah pepatah sakti "Yang sabar y Boy"
Meilaningsih
udah ga kehitung berapa kali aku repeat baca si suketi...novel favorit ku njussss...
no 1 ga ada yg nmanya bosen..masih tetep ketawa, seperti pertama baca..
no 2, baru kang pirza
juskelapa: makasih ya Mba 😘😘😘
total 1 replies
Daanii Irsyad Aufa
tenang mamak Dul, bang bara lg ke bengkel buat benerin si merah.
Daanii Irsyad Aufa
hahah semangat MBK Tini, emg harus gitu. tegas dan membela diri penting biar ngga makin d injak orang
Daanii Irsyad Aufa
😄😄
Daanii Irsyad Aufa
aduh ko AQ terharu bgt baca ini. kaya masih ada orang yg saling perduli d kerasnya ibu kota. kos kosan kandang ayam akan selalu jd kenangan
Daanii Irsyad Aufa
aduh ini scene harusnya berlinang airmata tapi ko mlh bikin ngekek sih
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!