Seorang kultivator legendaris berjuluk pendekar suci, penguasa puncak dunia kultivasi, tewas di usia senja karena dikhianati oleh dunia yang dulu ia selamatkan. Di masa lalunya, ia menemukan Kitab Kuno Sembilan Surga, kitab tertinggi yang berisi teknik, jurus, dan sembilan artefak dewa yang mampu mengguncang dunia kultivasi.
Ketika ia dihabisi oleh gabungan para sekte dan klan besar, ia menghancurkan kitab itu agar tak jatuh ke tangan siapapun. Namun kesadarannya tidak lenyap ,ia terlahir kembali di tubuh bocah 16 tahun bernama Xiau Chen, yang cacat karena dantian dan akar rohnya dihancurkan oleh keluarganya sendiri..
Kini, Xiau Chen bukan hanya membawa seluruh ingatan dan teknik kehidupan sebelumnya, tapi juga rahasia Kitab Kuno Sembilan Surga yang kini terukir di dalam ingatannya..
Dunia telah berubah, sekte-sekte baru bangkit, dan rahasia masa lalunya mulai menguak satu per satu...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Junot Slengean Scd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB.12 GERBANG ROH TANPA AKHIR
Langit senja di atas Padang Tianlu terbakar warna ungu tua.
Awan seakan terbakar dari dalam, dan setiap desir angin membawa aroma kematian yang lembut.
Di tengah padang itu berdiri dua sosok — satu berjubah abu-abu dengan rambut perak yang berkilau di bawah cahaya redup, satu lagi masih muda, berwajah bersih, tapi dengan tatapan yang menyimpan kebimbangan mendalam.
Mereka adalah Xiau Chen dan Shi Lin.
Guru dan murid yang kini berdiri di ambang perbatasan antara kehidupan dan kematian.
Di hadapan mereka, terbentang Gerbang Roh Tanpa Akhir, sebuah celah raksasa di ruang dunia yang tampak seperti retakan langit.
Dari dalam celah itu keluar kabut pekat berwarna hitam keperakan — bukan asap, melainkan jiwa-jiwa yang tak pernah beristirahat.
Suara tangisan, bisikan, dan tawa menggema pelan dari dalam sana.
Seolah-olah gerbang itu bukan hanya pintu, melainkan kesadaran yang hidup dan lapar.
Shi Lin menatapnya dengan mata gemetar.
“Guru… apakah ini benar-benar jalan yang harus kita tempuh?”
Xiau Chen menatap kabut itu lama sebelum menjawab.
“Tidak ada jalan lain, Shi Lin.”
“Mo Tian telah membagi jiwanya menjadi lima pecahan. Tiga sudah tersegel kembali. Dua tersisa — dan salah satunya berada di balik gerbang ini.”
“Tapi…” Shi Lin menelan ludah. “Gerbang ini disebut Tanpa Akhir karena siapa pun yang masuk tak pernah kembali.”
Xiau Chen menatap muridnya, tatapannya lembut namun tak bisa dibantah.
“Mereka yang tak kembali adalah yang takut pada gelapnya diri sendiri.”
“Aku sudah mati sekali, Shi Lin. Apa lagi yang bisa kutakuti?”
Kalimat itu membuat angin di sekitar mereka terdiam sesaat.
Shi Lin menunduk, kemudian menghela napas panjang.
“Baiklah, Guru. Aku akan ikut.”
Xiau Chen tersenyum samar.
“Anak bodoh. Dunia ini terlalu luas untuk kau habiskan hanya dengan mengikuti langkahku. Tapi jika kau memaksa…”
Ia mengangkat tangannya, menepuk bahu Shi Lin ringan.
Seketika cahaya lembut menyelimuti tubuh pemuda itu.
“Aku takkan membiarkanmu hancur di dalam gerbang ini. Pegang erat jiwamu, dan jangan lepaskan pikiranku.”
Shi Lin menatap cahaya itu, lalu menunduk.
“Baik, Guru.”
Xiau Chen melangkah pertama.
Begitu kakinya menyentuh kabut hitam itu, dunia seolah berhenti.
Waktu, udara, bahkan detak jantung terasa menguap dari keberadaan.
Di dalam gerbang itu, tidak ada warna, tidak ada arah — hanya kehampaan yang terus berputar.
Namun bagi Xiau Chen, semua itu terasa akrab.
Di kehidupan sebelumnya, sebelum menjadi Pendekar Suci, ia pernah berlatih Meditasi Jiwa Langit, teknik kuno yang menembus antara hidup dan mati.
Sekarang, ia kembali berada di ruang yang sama.
Shi Lin berjalan di belakangnya, menatap punggung gurunya yang tegap, bagai mercusuar di tengah lautan jiwa.
“Guru… tempat ini terasa seperti…”
“Seperti berada di dalam ingatan dunia,” potong Xiau Chen.
“Semua roh yang mati membawa potongan ingatannya ke sini. Tempat ini adalah lautan memori — dan juga penjara.”
Mereka terus berjalan.
Setiap langkah membawa mereka ke bayangan-bayangan masa lalu yang muncul di kabut.
Satu saat mereka melihat kota terbakar, lain waktu mereka berjalan di padang salju di mana mayat-mayat para kultivator tertancap pedang.
Waktu tak memiliki arti di sini.
Lalu, kabut itu bergetar.
Suara lembut bergema dari segala arah — suara perempuan.
“Xiau Chen…”
Shi Lin terkejut. “Itu… siapa?”
Namun wajah Xiau Chen berubah sedikit.
Matanya memancarkan kesedihan yang jarang terlihat.
“Suara itu… sudah seribu tahun tak kudengar.”
Kabut menipis, dan dari dalamnya muncul sosok perempuan berjubah putih.
Rambutnya panjang dan lembut, matanya bening seperti air mata dewa.
Ia melangkah mendekat, setiap langkahnya meninggalkan jejak cahaya.
“Chen-ge… akhirnya kau datang juga.”
Shi Lin menatap keheranan, tapi Xiau Chen berdiri kaku.
Nama yang diucapkan perempuan itu adalah nama panggilan lamanya — nama yang hanya digunakan oleh satu orang di masa lalu: Ling Yue, wanita yang dulu ia korbankan dalam perang suci seribu tahun lalu.
“Ling Yue…” suaranya serak. “Kau…”
“Jangan bicara,” potong wanita itu lembut.
“Aku tahu. Kau datang untuk membuka segel terakhir Mo Tian. Tapi tahukah kau… setiap segel yang kau buka, bagian dari jiwamu juga ikut terlepas?”
Shi Lin menatap terkejut. “Apa maksudnya?”
Ling Yue berbalik ke arah Shi Lin, tersenyum samar.
“Setiap segel dibuat dengan potongan jiwa Xiau Chen sendiri. Dulu, untuk menutup kekuatan Mo Tian, ia harus membagi jiwanya menjadi lima bagian juga.”
Ia menatap Xiau Chen lagi.
“Dan kini, tiga bagianmu telah hancur, dua tersisa. Jika kau membuka semuanya… kau akan lenyap, Chen-ge.”
Hening menyelimuti ruang.
Shi Lin menatap gurunya, bibirnya bergetar.
“Guru… apakah itu benar?”
Xiau Chen memejamkan mata, napasnya berat.
“Ya. Tapi dunia ini tak akan bertahan jika Mo Tian bebas. Satu kehidupan bukan harga yang mahal untuk keseimbangan semesta.”
Ling Yue menggeleng.
“Tidak. Dunia ini tidak butuh pengorbanan lagi. Ia butuh seseorang yang hidup.”
Ia mendekat, menyentuh wajah Xiau Chen dengan tangan lembut.
“Kau pernah berjanji padaku, Chen-ge… setelah semua ini berakhir, kau akan hidup seperti manusia biasa. Mengapa kau selalu melanggar janjimu?”
Air mata yang tak berwujud mengalir dari mata wanita itu — air mata jiwa.
Setiap tetesnya membakar udara seperti bara spiritual.
Xiau Chen hanya menatapnya lama, lalu menangkup tangannya.
“Aku akan menepati janji itu, Yue… Tapi bukan hari ini.”
Begitu ia mengucapkan kata-kata itu, tubuh Ling Yue mulai retak seperti kaca.
Kabut di sekitarnya bergetar kuat, lalu meledak menjadi ribuan cahaya putih.
Dari dalam cahaya itu, muncul simbol segel berbentuk lingkaran.
Simbol itu berputar pelan dan menempel di dada Xiau Chen.
“Itu…” Shi Lin menatap heran. “Itu segel keempat!”
Xiau Chen mengangguk pelan, tapi wajahnya pucat.
“Ya… dan seperti yang dikatakan Yue, separuh jiwaku ikut terbakar bersamanya.”
Shi Lin terkejut. “Guru!”
Namun Xiau Chen menatapnya dengan senyum lembut.
“Tidak apa-apa. Selama aku masih bisa berjalan, tugas ini belum selesai.”
Ia menatap ke depan — ke pusaran cahaya raksasa di tengah ruang hampa.
Dari sana, suara berat dan dalam bergema, seperti suara ribuan roh yang berbicara bersamaan.
“Kau datang… Pendekar Suci… Untuk membuka gerbang terakhir…”
Suara itu mengguncang seluruh ruang.
Shi Lin hampir kehilangan keseimbangan, tapi Xiau Chen mengangkat tangannya, menstabilkan medan spiritual.
“Ya,” katanya tenang.
“Aku datang untuk mengakhiri apa yang ku mulai seribu tahun lalu.”
Cahaya di pusaran itu semakin terang.
Satu jalan terbuka — jalan menuju Lembah Roh Mati, tempat pecahan keempat Mo Tian bersemayam.
Xiau Chen berbalik menatap Shi Lin.
“Setelah kita melewati jalan ini, tidak akan ada kembali. Jika aku gagal… bunuh aku sebelum Mo Tian bangkit.”
Shi Lin terdiam, wajahnya menegang.
Lalu ia menunduk dalam-dalam.
“Aku mengerti, Guru.”
Xiau Chen menatap gerbang cahaya itu sekali lagi, lalu melangkah masuk.
Kabut menelan tubuhnya, dan dunia berubah warna — dari abu menjadi gelap.
Shi Lin mengikutinya tanpa ragu.
Dan di belakang mereka, Gerbang Roh Tanpa Akhir perlahan menutup.
Suara jiwa-jiwa yang berbisik perlahan memudar, hanya menyisakan keheningan…
dan satu gema yang bergema di dalam ruang tanpa cahaya:
“Setiap langkah menuju kebenaran… adalah langkah meninggalkan diri sendiri.”